Agnes tak pernah menyangka, sebuah foto yang disalahartikan memaksanya menikah dengan Fajar—dosen pembimbing terkenal galak dan tak kenal kompromi. Pernikahan dadakan itu menjadi mimpi buruk bagi Agnes yang masih muda dan tak siap menghadapi label "ibu rumah tangga."
Berbekal rasa takut dan ketidaksukaan, Agnes sengaja mencari masalah demi mendengar kata "talak" dari suaminya. Namun, rencananya tak berjalan mulus. Fajar, yang ia kira akan keras, justru perlahan menunjukkan sisi lembut dan penuh perhatian.
Bagaimana kelanjutan hubungan mereka? Apakah cinta bisa tumbuh di tengah pernikahan yang diawali paksaan? Temukan jawabannya di cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Pernikahan, bagi sebagian wanita yang belum siap, terasa seperti belenggu. Mereka harus menghadapi kenyataan meninggalkan keluarga yang telah merawat dan membesarkan mereka hingga dewasa. Pindah ke tempat baru yang terasa asing, menghadapi budaya dan kebiasaan yang berbeda, hingga kewajiban melayani seorang pria yang kini disebut suami, sering kali menjadi beban yang berat.
Hal ini pula yang dirasakan Agnes. Meski ibunya sudah memberikan banyak nasihat, pikirannya tetap tertutup. Baginya, menikah adalah musibah yang seharusnya bisa dihindari. Namun, sepertinya Tuhan punya rencana lain untuknya.
"Pak, putar balik aja, yuk. Kita tinggal di rumah orang tuaku," ucap Agnes dengan nada setengah merajuk. Ia duduk di kursi penumpang depan, kakinya dinaikkan ke bangku, seolah mencari posisi ternyaman.
Pagi tadi, setelah sarapan, Fajar meminta izin kepada orang tua Agnes untuk membawanya pindah ke rumah miliknya sendiri, tempat ia tinggal bersama nenek Grace. Rahmat dan Fatwa, tanpa banyak pikir, langsung menyetujui. Tapi, bagi Agnes, keputusan itu terasa seperti vonis yang tak bisa ia tolak.
Fajar, yang sedang fokus mengemudi, menoleh sekilas ke arah Agnes. Melihat wajah istrinya yang penuh tekanan, ia akhirnya bertanya dengan nada tenang, "Beri aku satu alasan kenapa kita harus tinggal di sana."
"Karena aku nyaman di sana, Pak. Aku sudah dua puluh dua tahun tinggal di rumah itu. Kalau pindah, rasanya nggak enak. Aku juga bukan orang yang gampang menyesuaikan diri. Ayolah, tinggal di sana aja," rengek Agnes seperti anak kecil, mencoba membujuk Fajar.
Namun, alasan sebenarnya jauh lebih rumit. Agnes tahu betul seperti apa Fajar. Lelaki itu tegas, galak, sulit diajak kompromi—semua sifat yang menurutnya adalah "minus." Bayangan kejadian semalam masih menghantui pikirannya, saat ia membuat Fajar tidur di lantai. Kalau lelaki itu ingin membalas dendam, apa ia harus tidur di lantai seumur hidup? Belum lagi, kalau Fajar marah, siapa yang akan membelanya?
Hah? Seumur hidup? Agnes langsung mengoreksi pikirannya sendiri. Tidak, ia tidak mau seumur hidup bersama Fajar. Ia harus segera mencari cara agar lelaki itu memberinya talak.
"Pak, kenapa diam? Apa alasanku kurang cukup?" desaknya lagi, mencoba memancing jawaban.
Lampu lalu lintas berubah merah. Fajar menghentikan mobilnya, lalu menatap Agnes. Matanya terlihat tenang, tapi tegas.
"Agnes," katanya pelan, namun penuh penekanan, "kamu sekarang adalah tanggung jawabku. Kamu nggak bisa terus-terusan jadi bayi orang tuamu, meskipun aku tahu, kamu memang bayinya."
"Pak, Bapak belum apa-apa udah ngatur. Ini yang bikin aku nggak mau cepat-cepat nikah. Aku tuh masih mau bebas jalan-jalan, main, kerja, semua yang belum pernah aku lakukan selama dua puluh dua tahun ini pengin aku puas-puasin dulu. Tapi... arghhh... kenapa aku sial sekali!"
"Jadi ini alasannya? Agnes, kenapa kamu pikir aku akan melarangmu melakukan hal-hal itu?"
Agnes melirik Fajar tanpa menjawab.
"Kamu tenang saja. Aku akan mewujudkan apa yang kamu inginkan. Kita bisa melakukan hal-hal itu bersama, kan?" ucap Fajar lagi.
"Hah, Bapak?" Agens menelisik Fajar lebih intens lalu melanjutkan, "Yang bener aja, Pak? Bapak itu sama kayak Ayah, pikirannya kolot dan udah berumur. Mana bisa diajak ke jalan anak muda," ucap Agnes tanpa menyaring kata-katanya, meski ia sempat berpikir dosa nggak sih bikin suami insecure?
Fajar terdiam. Dalam hati ia bertanya-tanya, apa iya aku setua itu?
Lampu merah berganti hijau. Fajar kembali melajukan mobil, tetapi ia menjawab untuk menenangkan istrinya. "Kamu tenang saja, Agnes. Apa yang kamu inginkan, aku akan berusaha sebisaku."
Agnes terdiam mendengar kalimat itu. Padahal ia berekspektasi Fajar akan marah padanya, seperti di film-film, mungkin ia diturunkan di tengah jalan. Tapi ini? Lelaki itu malah lebih sabar dari yang ia duga.
Tak terasa perjalanan panjang itu berakhir. Agnes kembali ke rumah yang beberapa hari lalu sempat ia kunjungi. Tidak ada yang berubah, tapi kenapa rasanya sekarang semuanya terasa asing?
"Cucu menantuku sudah datang!" Nenek Grace menyambut dengan senyum lebar yang hampir memancar dari wajahnya. Terlihat jelas kebahagiaan yang terpancar.
Agnes langsung dipeluk oleh Nenek Grace yang kemudian menggiringnya masuk ke dalam rumah. "Apa kamu capek?" tanya nenek itu penuh perhatian.
Agnes, meskipun sering ceroboh dan ceplas-ceplos, tahu cara bersikap dengan orang yang lebih tua. Bahkan kalau soal itu, dia lebih berhati-hati. Kecuali kalau sudah berhadapan dengan Fajar, tentu saja. Fajar sudah masuk dalam daftar orang yang tidak perlu dihormati. Kalau bisa, ia ingin membuat lelaki itu kesal setengah mati, supaya Fajar secepatnya memberi talak padanya.
"Agnes," panggil Nenek Grace saat melihat Agnes melamun.
"Eh... iya, Nek. Gak capek-capek banget kok," jawab Agnes buru-buru, menghindari tatapan Nenek Grace.
"Kalau gitu Nenek mau tunjukin kamar Fajar yang sekarang juga bisa jadi kamarmu. Biar kamu bisa istirahat," kata Nenek Grace dengan senyum yang masih tersisa.
Kata-kata itu membuat jantung Agnes berdetak kencang. Kamar Fajar? Kamarnya Fajar yang juga bakal jadi kamarku?
Agnes tidak pernah membayangkan dirinya akan tidur di kamar seorang pria, apalagi seorang pria seperti Fajar. Fajar itu... tegas, kaku, dan kalau dia marah, rasanya seperti bisa membekukan seluruh ruangan.
"Nes, kok malah bengong? Apa Nenek bikin kamu takut?" tanya Nenek Grace dengan ekspresi khawatir.
Agnes langsung tersentak, berusaha menutupi ketegangan di wajahnya. "Hah? Enggak kok, Nek! Cuma mikir aja."
"Yuk, masuk," ajak Nenek Grace lagi, menggenggam tangan Agnes dengan lembut.
Setelah beberapa detik ragu, Agnes akhirnya melangkah masuk ke kamar itu. Kamarnya Fajar. Kamar ini tidak sebesar yang ia bayangkan tapi dua kali lipat dari kamarnya, suasananya terasa tenang. Ada beberapa buku di rak, meja kerja yang tertata rapi, dan... tempat tidur besar yang terlihat sangat nyaman.
Apa aku benar-benar bakal tidur di sini? Dengan Fajar? pikir Agnes, sedikit panik.
"Bagaimana menurutmu? Rapikan?" tanya Nenek Grace, menyadarkan lamunan Agnes.
Agnes mengangguk, dan Nenek Grace langsung berkata, "Kalau gitu, Nenek tinggal dulu, kamu istirahat."
"Terimakasih, Nek."
Setelah Nenek Grace meninggalkannya dengan senyum kebahagiaan, Agnes berjalan ke tengah kamar, tangannya menyentuh sisi tempat tidur, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. Tak lama kemudian, Fajar muncul dari pintu kamar, meletakkan koper mereka di pojok.
Agnes yang masih fokus pada ranjang dibuat terkejut, jantungnya semakin berdebar. Apalagi saat ini Fajar dengan sejuta pesonanya melangkah lebih dekat ke arahnya.
"Pak, Bapak mau apa?"
Bukannya menjawab, Fajar malah semakin mendekat, seolah memberikan tekanan pada Agnes. Tentu saja, hal itu semakin membuat perasaan Agnes tak menentu. Refleks, Agnes melangkah mundur, dan sialnya, kakinya menabrak sisi ranjang.
Tubuh Agnes yang tak seimbang membuatnya terjatuh, dan Agnes mencari pegangan dengan menarik tangan Fajar. Alhasil, keduanya kini terjatuh di atas ranjang, dengan posisi Fajar menindih tubuh Agnes, dan bibir keduanya saling bersentuhan.