“Meski kita sudah menikah, aku tidak akan pernah menyentuhmu, Mbi. Haram bagiku menyentuh wanita yang tidak mampu menjaga kesuciannya seperti kamu!” Kalimat itu Ilham ucapkan dengan tampang yang begitu keji, di malam pertama mereka.
Selain Ilham yang meragukan kesucian Arimbi walau pria itu belum pernah menyentuhnya, Ilham juga berdalih, sebelum pulang dan menikahi Arimbi, pria itu baru saja menikahi Aisyah selaku putri dari pimpinan tertinggi sekaligus pemilik pondok pesantren, Ilham bernaung. Wanita yang Ilham anggap suci dan sudah selayaknya dijadikan istri.
Arimbi tak mau terluka makin dalam. Bertahun-tahun menjadi TKW di Singapura demi membiayai kuliah sekaligus mondok Ilham agar masa depan mereka setelah menikah menjadi lebih baik, nyatanya pria itu dengan begitu mudah membuangnya. Talak dan perpisahan menjadi satu-satunya cara agar Arimbi terbebas dari Ilham, walau akibat talak itu juga, Arimbi mengalami masa-masa sulit akibat fitnah yang telanjur menyebar.
(Merupakan kisah Mas Aidan, anak Arum di novel : Pembalasan Seorang Istri yang Dianggap Sebagai Parasit Rumah Tangga)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3 : Sidang Dan Fitnah Keji
Dengan satu kaki dan mengandalkan tongkat bantu jalan sebagai pengganti kaki kiri yang diamputasi tiga bulan lalu, ibu Warisem membuka pintu rumahnya lantaran seseorang menggedornya dengan pelan. Gedoran yang teramat tak berdaya hingga membuat ibu Warisem yang masih terjaga karena terlalu mengkhawatirkan sang putri dan memang kekhawatiran tanpa alasan, sengaja memastikan.
Benar saja, Arimbi yang sekitar lima puluh menit lalu pergi, memang pelakunya. Putrinya itu sungguh kembali, menunduk tak berdaya tanpa berani menatapnya. Tubuh Arimbi kuyup karena payung yang saat pergi digunakan untuk berlindung, malah dicengkeram erat.
“Mbi ...?” Panggil ibu Warisem pelan. Suaranya tertahan di tenggorokan karena melihat Arimbi sekacau sekarang, dadanya seolah ditikam oleh benda tajam dengan sangat kejam dan terus terulang. Rasanya sangat menyakitkan karena sebelumnya, ia belum pernah melihat Arimbi seterpuruk sekarang.
“Bu ....” Arimbi tahu, penyakit gula basah yang diderita sang ibu akan makin memburuk jika wanita renta itu banyak pikiran apalagi stres. Namun, Arimbi tidak mau ibunya berharap pada hal yang hanya bisa menyakiti, termasuk itu berharap kepada orang seperti Ilham yang sudah disilaukan oleh kemewahan duniawi.
“Enggak apa-apa, Mbi. Katakan saja. Ibu percaya ke kamu. Ibu percaya kamu selalu melakukan yang terbaik!” yakin ibu Warisem, apalagi sejauh ini memang tidak ada yang lebih baik dari Arimbi. Arimbi wanita kuat yang sangat bertanggung jawab. Kalaupun putrinya itu akan sangat emosional dan tak jarang akan bar-bar, ibu Warisem yakin kenyataan itu terjadi karena lawan Arimbi sudah sangat keterlaluan.
“Bu ....” Lagi, suara Arimbi tertahan di tenggorokan. Di hadapannya, sang mamak yang masih menunggu dan menatapnya saksama, mengangguk-angguk, masih dengan sabar menunggunya bercerita.
“Ternyata sebelum pulang, ... mas Ilham sudah menikahi putri dari pimpinan tertinggi sekaligus pemilik pesantren dia mengabdi.” di hadapan Arimbi, ibu Warisem sudah langsung berderai air mata.
“Terus kamu gimana? Kamu mau lanjut apa udah? Semuanya kembali ke kamu yang menjalani, Mbi.” ibu Warisem mengelus lengan kiri sang putri yang langsung menggeleng.
“Enggak, Bu ....” Berderai air mata bahkan terisak pilu, Arimbi menceritakan semuanya. Benar-benar semuanya termasuk itu Ilham yang sampai memfitnahnya kepada Agung, hingga ia nekat memukuli Ilham menggunakan payung.
“Yang aku enggak habis pikir, kenapa dia sampai fitnah aku sekeji itu, dia bersikeras bilang aku sudah terbiasa dipakai bos, aku hamil, dan uang yang aku kasih buat biaya dia, dia kata uang haram, Bu.”
Ibu Warisem tahu, Arimbi sudah berusaha tegar tanpa mau membuatnya ikut merasakan beban yang tengah dipikul. Namun tidak bisa ibu Warisem pungkiri, pengaruh Ilham karena status pria itu sangatlah kuat. Memang seperti yang Arimbi katakan, kini Arimbi ibarat semut yang berusaha melawan gajah.
“Enggak apa-apa, enggak usah takut, Mbi. Kamu enggak salah, kamu harus maju. Walau mungkin akan sangat sakit, nantinya kebenaran pasti akan menang, Mbi. Ingat, harga dari sebuah kebenaran sekaligus kebahagiaan, memang sangat mahal. Maka dari itu, orang sekelas Ilham sampai rela berbuat hina hanya untuk kebenaran sekaligus kebahagiaan versinya.” Sepanjang dini hari hingga subuh menyapa, ibu Warisem terus meyakinkan sang putri yang meringkuk di pangkuannya. Ia belai penuh sayang kepala Arimbi yang awalnya basah dan perlahan mulai kering akibat hujan yang sempat mengguyur. Bisa ibu Warisem pastikan, luka yang Arimbi dapat dari pengkhianatan Ilham, benar-benar dalam.
“Kamu pasti bisa, Mbi. Kamu bisa lewati semua ini dan kamu wajib kuat. Karena melalui cobaan ini, Alloh tengah berusaha mengangkat derajat kamu!”
“Aku udah enggak mau minum obat gatalnya lagi, meski kakiku memang gatel parah. Jadi gendut begini dan sampai difitnah hamil.”
“Ya sudah, nanti cari obat lain. Sekarang kit salat, kit serahkan semua keputusan ke Alloh. Kita cukup ikhtiar, kita cukup lakukan yang terbaik!” yakin ibu Warisem.
Setelah sama-sama tidak tidur, mereka bergegas mengambil air wudu, kemudian berakhir salat subuh berjamaah. Selanjutnya, yang mereka lakukan adalah memasak perlengkapan pecel yang sudah menjadi sumber rezeki mereka. Ibu Warisem sudah menekuni pekerjaan tersebut, sejak ia masih muda hingg kini. Arimbi yang walau harus jadi ART di salah satu rumah orang kaya yang ada di desa mereka, juga ikut membantu. Biasanya Arimbi akan keliling pagi-pagi sebelum pergi ke rumah majikannya. Namun hari ini, tampaknya kenyataan itu tak akan terjadi karena paginya, Arimbi akan menghadiri sidang kasusnya di kediaman orang tua Ilham.
***
Sekitar pukul tujuh pagi, Arimbi sudah mendatangi rumah orang tua Ilham. Kali ini ia tak datang sendiri. Karena setelah dari rumah ditemani ibu Warisem yang sampai ia gendong lantaran jalanan yang becek dan tidak memungkinkan, hadirnya Agung kakak laki-laki Arimbi, membuat mereka menjadi bertiga.
“Kalau mereka masih berbelit-belit menuduh tanpa bukti, cukup paksa mereka balikin uang yang selama ini Ilham pakai, Mas,” ucap Arimbi berbisik-bisik kepada sang kakak yang langsung mengangguk-angguk paham.
Yang membuat Arimbi kesal, Ilham belum memanggil pak RT sekaligus saksi lainnya. “Padahal ino sudah pukul tujuh, loh, Mas. Padahal kamu juga yang kemarin malam bilang, potong lidah kamu jika pukul tujuh, kamu belum beresin urusan kita. Ngeri!” singgung Arimbi yang memang sampai bergidik. Ia dan ibu maupun sang Kakak, masih berdiri di teras rumah Ilham layaknya rentenir yang sedang menagih.
Suasana rumah orang tua Ilham masih sangat berantakan karena biasanya, memang Arimbi yang membereskan semuanya. Walau selepas subuh sudah keliling jualan pecel lontong dan gorengan, dan sekitar pukul sembilan harus ke rumah sang majikan, Arimbi masih sempat mengurus orang tua Ilham sebagai wujud baktinya. Sudah seperti itu bahkan urusan makan orang tua Ilham saja, Arimbi yang urus, Arimbi masih difitnah.
Ilham yang sesekali masih mengelus tengkuk sekaligus punggung, hanya menghela napas pelan dan tak mungkin meledak-ledak layaknya ketika sedang hanya berdua dengan Arimbi. Tentu pria itu tidak mungkin melakukannya karena sengaja menjaga image.
Setelah hampir dua jam menunggu, akhirnya sidang dimulai. Ilham dengan penampilan alim dan sampai memakai sorban, menjalani sumpah di bawah alquran layaknya yang lebih dulu mereka lakukan kepada Arimbi. Dalam hati, Arimbi sampai bertanya-tanya, bukti sekuat apa yang Ilham punya hingga pria itu berani menjalani sumpah di bawah alquran.
“Kalau memang tidak terbukti hamil, berarti sudah digugurkan. Astagfirullah,” lirih Ilham ketika Arimbi mengambil test pack yang sudah disediakan guna membuktikan kecurigaan, bahwa Arimbi hamil.
“Bisa-bisanya kamu bilang gitu, Mas. Dikiranya sarjana sama gus muda, kebal dosa? Ya Alloh, ya Alloh. Panjangkan umur jelmaan manusia yang kejinya begini agar dia memiliki kesempatan buat bertobat,” cibir Arimbi yang kemudian pergi dari sana untuk melakukan cek kehamilan menggunakan test pack dan tentu saja tidak terbukti. Hanya saja, mulut Ilham sudah berdalih andai pun tidak terbukti, berarti Arimbi sudah sampai menggugurkannya.
“Sudah begini, harusnya saya bisa menuntut, kan? Ini namanya pencemaran nama baik. Apalagi fitnah lebih kejam dari pembunuhan.” Arimbi tidak peduli walau di sana ada bapak mertuanya Ilham yang panggilannya saja sampai bikin wanita itu tidak berani mengucapkan.
“Sudah tidak terbukti hamil, saya juga dituding aborsi. Sekarang begini saja, jika memang tidak bisa membuktikan, tolong bersihkan nama baik saya sekeluarga. Dan tolong juga, kembalikan semua uang yang sudah kamu pakai! Kamu yah, Mas, kamu enggak usah bawa-bawa pendidikan sama agama kamu. Jangan lupa, tanpa aku yang jadi pembantu tiap hari gosok wc dan beresin ini itu, kamu enggak mungkin bisa seperti sekarang.” Arimbi berbicara panjang lebar.
“Urusan kita dengan agama, biar jadi urusan masing-masing saja. Namun urusan kamu sama aku, cepat dibereskan! Harusnya kalau kamu manusia yang mengaku berpendidikan sekaligus beragama, harusnya kamu malu! Pohon pisang yang walau punya jantung tapi enggak punya hati saja tahu diri, masa kamu yang minta dihormati mau cuci tangan?!” lanjut Arimbi yang masih berdiri di hadapan para peserta sidang.