NovelToon NovelToon
Ketika Ustadz Meminang Wanita Bar-Bar : Cinta Tak Terduga

Ketika Ustadz Meminang Wanita Bar-Bar : Cinta Tak Terduga

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Beda Usia
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: adelita

Sabrina Alexandra, gadis bar-bar yang frontal dan minus akhlak, hidupnya mendadak jungkir balik. Pulang ke kampung halaman, tiba-tiba saja ia di nikahkan paksa oleh bapaknya, Abiyan Fauwaz, dengan seorang lelaki yang lebih tua 9 tahun darinya. Siapa lelaki itu? Gus Sulaiman Faisal Zahid-seorang ustaz dengan aura santun, tampilan alim, dan bahasa serba syariah. Masalahnya? Sabrina yang biasa bebas, santai, dan dikejar banyak pria, dipaksa menikah dengan lelaki yang mengatakan, "Saya melamar putri bapak, karena beliau sudah saya sentuh." WHAT?! Seorang Sabrina yang bahenol dan penuh pesona malah jadi rebutan ustadz tak dikenal?! "Bapak, apa-apaan sih? Aku gak kenal dia!" protes Sabrina sambil menjambak rambut sendiri. Tapi, bapaknya tak peduli. Demi menyelamatkan anaknya dari kehidupan yang sudah miring 180 derajat, Abiyan tetap bersikeras. Tapi Abiyan tak peduli. Dengan santai, ia menjawab, "Kalau kalian gak saling kenal, ngapain nak Aiman jauh-jauh buat lamar kamu? Pokoknya bapak tetap pada pendirian! Kamu harus menikah dengan dia!" "Bapak egois banget!!!" protes Sabrina. "Ini demi kebaikan kamu, agar gak terlalu tersesat ke jalan yang salah," jawab Abiyan tegas. Sabrina merasa dunia tak lagi adil. Tapi apa yang terjadi saat dua orang dengan dunia yang bertolak belakang ini dipaksa bersanding? Akankah Sabrina yang bar-bar ini berubah, atau justru Gus Sulaiman yang pusing tujuh keliling menghadapi Sabrina?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 12

Malam Hari di Kamar Aiman dan Haidar

Haidar merebahkan dirinya di atas kasur sambil memainkan ponselnya. Ia melirik Aiman yang sibuk melipat kain sorban dengan rapi. Melihat itu, Haidar mengangkat alis, lalu bertanya dengan nada penasaran.

"Kamu yakin mau ambil kain sorbanmu sama si cewek barbar itu?" tanyanya, memicingkan matanya curiga.

Aiman menghentikan gerakannya sejenak, lalu menatap Haidar sambil tersenyum tipis. "Si Sabrina maksudmu?"

"Iya, itu maksudnya. Kenapa gak suruh istrinya Pak RT aja? Kan lebih aman," balas Haidar, masih penasaran.

"Ya gak apa-apa lah, Dar. Niatnya mau silaturahmi juga sama warga desa sini. Gak ada salahnya dong," jawab Aiman santai sambil kembali merapikan kain sorbannya.

Haidar mendengus pelan, tapi ia tetap merasa ada yang aneh. Namun, setiap kali ia bertanya, Aiman selalu punya jawaban logis yang membuatnya tidak bisa membantah.

"Sudahlah, Dar. Aku mau ke depan dulu beli nasi goreng," ucap Aiman tiba-tiba, mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Belum kenyang kau tadi makan malam? Baru satu jam lalu kita makan malam," kata Haidar heran sambil melirik jam dinding di kamar mereka.

"Ya gak apa-apa lah. Jarang-jarang aku makan banyak, mumpung masih lapar. Tadi makan sedikit aja. Mau ikut gak?" tawar Aiman, berdiri dari duduknya.

"Gak deh, kau aja. Mau makan di sana kah kau?" tanya Haidar, kini kembali fokus pada ponselnya.

"Iya, sekali-kali makan di warung lah. Jarang aku makan di warung semenjak pindah ke pondok," jawab Aiman sambil bersiap keluar.

"Ya udah, aku mau VC sama istriku dulu. Jangan ganggu aku!" balas Haidar santai, langsung mencari posisi nyaman untuk menghubungi istrinya.

Keluar Rumah Pak RT

Aiman melangkah keluar rumah Pak RT dengan santai. Udara malam terasa sejuk, tapi suasana sepi. Baru beberapa langkah dari pagar, matanya tidak sengaja tertuju pada seorang wanita yang berjalan keluar dari sebuah gang kecil yang gelap. Tidak ada penerangan sama sekali di sekitar gang itu, hanya bayangan samar tubuh perempuan tersebut yang terlihat jelas di bawah cahaya bulan.

Langkah Aiman terhenti sejenak. Ia mengamati sosok wanita itu dari jarak beberapa meter.

"Ap gak takut tuh orang, keluar malam-malam. Udah jam 9 pula," gumamnya pelan.

Tanpa mengetahui siapa wanita itu, Aiman tetap melanjutkan langkahnya, meskipun rasa herannya belum hilang. Posisi mereka tetap terjaga, dengan Aiman berjalan beberapa meter di belakang perempuan tersebut.

Saat Aiman mendekati warung nasi goreng yang terlihat cukup ramai, pandangannya tidak sengaja tertuju pada sosok perempuan itu yang berjalan searah dengannya. Perasaan bingung mulai menyelimuti Aiman ketika ia memperhatikan lebih dekat.

Aiman berhenti beberapa langkah dari tempat itu, cukup dekat untuk mendengar pembicaraan dari rombongan di depan warung. Perempuan itu berdiri di antara meja-meja yang penuh dengan pelanggan, berbicara akrab dengan seorang penjual nasi goreng yang dikenal sebagai Mang Pian. Suara perempuan itu terdengar jelas di telinga Aiman, dan begitu familiar.

Mang, nasi goreng pedasnya satu porsi ya, makan di sini dua porsi, tapi yang bungkus tanpa cabai." kata perempuan itu, dengan nada santai dan penuh percaya diri.

Aiman berhenti di belakang beberapa meter, berusaha mendengarkan lebih jelas apa yang sedang terjadi. Suara itu... sangat familiar, tetapi belum jelas siapa pemiliknya. Aiman mulai mengerutkan keningnya, mencoba mengenali siapa wanita ini, tetapi belum berhasil mengingat dengan pasti.

" Aman, neng. Udah lama gak keliatan, kemana aja atuh neng?" tanya Mang Pian, penjual nasi goreng yang akrab dengan pelanggan itu.

" Kerja di luar kota, mang. Makanya baru pulang sekarang," jawab perempuan itu dengan santai sambil tersenyum ramah.

Aiman masih memperhatikan dari kejauhan, matanya terfokus pada interaksi yang terjadi di depan warung. Dia bisa merasakan ada sesuatu yang tidak biasa dari sosok perempuan itu.

" Pantas gak keliatan, biasanya langganan nongkrong di sini tiap minggu," komentar Mang Pian dengan senyum khasnya.

Perempuan itu tertawa kecil, pura-pura menggoda. " Kenapa emangnya, mang? Kangen sama aku, ya?"

Mang Pian tertawa, pura-pura berpikir. " Bukan saya atuh neng, tapi anak saya hahahah."

" Si Gilang itu ya, Mang? Gimana kabarnya? Masih ngejar-ngejar aku kah, mang? Yang bahenol ini hahahah," canda perempuan itu penuh tawa.

" Masih atuh neng, baru minggu lalu si Gilang cari-cari si Neng. Eh, keburu anak saya merantau ke kota," kata Mang Pian dengan nada bercanda.

" Kalau boleh minta nomornya aja, siapa tahu jodoh atuh, mang." perempuan itu kembali bercanda dengan nada menggoda.

" Boleh-boleh atuh neng, tapi biar mang selesaikan masak nasi dulu ya hahahah." Mang Pian tertawa lepas.

" Aman mang, sebutin aja berap—" Belum sempat selesai perempuan itu berbicara, tiba-tiba terdengar suara deheman dari belakangnya.

Tiba-tiba, tanpa diduga, Aiman mengeluarkan suara deheman yang cukup terdengar.

"Eh ustadz, silakan hehehe," ucap Sabrina dengan basa-basi, tersentak kaget mendengar suara itu. Ia menggeser tubuhnya pelan ke samping, memberi ruang bagi Aiman untuk lewat.

Aiman tetap berdiri di dekatnya, menatapnya dengan sikap tenang namun penuh perhatian. "Mang, satu porsi gak pedas ya," kata Aiman dengan suara lembut tetapi tegas, sambil tetap memperhatikan Sabrina dari dekat.

"Oke ustadz, ditunggu ya," jawab Mang Pian, sambil kembali fokus pada pesanan.

Baru saja Aiman selesai berbicara, Sabrina kembali berkata dengan nada yang sedikit santai, "Mang, aku duduk dulu ya disana."

"Oke neng cantik," jawab Mang Pian dengan senyum ramah.

Saat Sabrina mengambil tempat duduk yang masih kosong, bokongnya baru saja menyentuh kursi, tiba-tiba seseorang menduduki kursi tepat di depannya. Pandangan Sabrina melebar, terkejut melihat sosok itu. Aiman.

"Nih om, om ngapain duduk depan gue segala," batin Sabrina, menahan kesal sambil mengerutkan keningnya. Namun, Aiman tetap terlihat tenang, seperti tidak terpengaruh, bahkan dengan senyumnya yang masih tipis, ia berbicara.

"Saya duduk di sini ya, soalnya tempat yang lain penuh." Aiman duduk langsung tanpa menunggu izin dari Sabrina.

Sabrina mendengus kesal. "Om ustadz kan sudah duduk, ngapain lagi ganggu-ganggu sama gue, dih." Suaranya sengaja diucapkan dengan nada sinis, menunjukkan ketidaksukaannya pada lelaki yang menurutnya terlalu islami itu.

Sabrina memang bukan tipe orang yang ramah pada lelaki seperti Aiman. Pengalaman buruk dengan seseorang yang memiliki karakteristik mirip seperti Aiman—seorang pria yang terlalu alim—membuatnya cenderung bersikap sinis setiap kali berhadapan dengan sosok seperti ini.

Tanpa menanggapi langsung ucapan Sabrina, Aiman hanya tersenyum tipis, seolah mengabaikan. Sabrina pun tetap acuh, sibuk memainkan gadgetnya. Namun, tiba-tiba ada benda hangat yang menempel di kedua bahunya. Pandangannya beralih, dan matanya membelalak terkejut melihat sorban yang dikenakan Aiman.

"Kenapa? Gue nggak kedinginan kok," kata Sabrina dengan sedikit geram, berusaha melepaskan sorban tersebut dari bahunya, tapi Aiman dengan tenang menahannya sambil menggeleng.

"Pakaianmu terlalu terbuka, saya tidak suka," ucap Aiman datar, namun dengan nada tegas.

"Apa urusannya sama lo, om? Perasaan kita nggak ada hubungan apa-apa deh," balas Sabrina ketus, merasa tidak nyaman.

"Saya hanya tidak suka, melihat apa yang jadi milik saya dilihat oleh lelaki lain yang menampakkan hasratnya terang-terangan di depan kamu," jawab Aiman sambil melirik tajam ke sekeliling mereka.

"Ihh!! Situ kege-er banget, deh, om. Kita nggak pernah kenal ya, emang gue barang apa bisa dimiliki seenaknya lo." Sabrina membalas dengan sinis, sambil berusaha melepaskan diri dari genggaman sorban yang menempel di bahunya.

Aiman tetap tenang, sedikit menahan sorban yang masih ada di bahu Sabrina. "Kamu lupa? Sejak malam itu kamu sudah jadi milik saya. Saya berniat mendatangi kamu ke rumah meminta izin kepada orang tuamu," ucap Aiman dengan tegas dan serius.

Sabrina langsung menatap tajam ke arah Aiman, tiba-tiba ia menutup mulut pria itu dengan jemari lentiknya yang dihiasi kuku berwarna-warni dengan Nail Art yang khas.

"Shutttt.... Bisa nggak sih, lo nggak usah bahas begituan di tengah orang banyak! Nanti citra om luntur, loh." Ucap Sabrina dengan geram, tangannya masih menutupi mulut Aiman.

Aiman melirik jemari Sabrina, tangannya yang halus tertutupi dengan sapu tangan yang ia keluarkan dari sakunya, menurunkan jemari Sabrina secara perlahan. "Kamu yang akan membuat orang salah paham nanti. Saya sih nggak masalah, saya memang berniat menikahi kamu." kata Aiman dengan nada yang lembut tetapi serius.

Sabrina mengerutkan keningnya, lalu menjauhkan tangannya dengan cepat, sambil meminta maaf dengan wajah yang sedikit canggung.

"Kenapa sih, lo, om, ngebet banget mau nikahin gue? Kenal aja nggak, kok tiba-tiba main lamar anak orang? Nanti lo nyesel kalau nikah sama gue." Sabrina memandang Aiman dengan penuh rasa curiga dan ketidakpahaman.

Aiman tetap menatapnya dengan tenang, membuat Sabrina semakin kesal karena sikap pria ini yang seolah tidak peduli dengan penolakan yang ia berikan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!