Di tengah hujan deras yang mengguyur jalanan kota, Kinanti menemukan seorang anak kecil yang tersesat. Dengan tubuhnya yang menggigil kedinginan, anak itu tampak sangat membutuhkan bantuan. Tak lama kemudian, ayah dari anak itu muncul dan berterima kasih atas pertolongan yang ia berikan.
Meskipun pertemuan itu sederhana, tidak ada yang tahu bahwa itu adalah awal dari sebuah kisah yang akan mengubah hidup mereka berdua. Sebuah pertemuan yang membawa cinta dan harapan baru, yang muncul di tengah kesulitan yang mereka hadapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rhtlun_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 26
Setelah perdebatan kecil dengan ibunya, Julian merasa frustrasi dan tidak ingin tinggal di rumahnya lebih lama. Dia merasa sangat tertekan dengan tuntutan ibunya yang terus-menerus memaksanya untuk menikahi Hanah.
Julian tahu bahwa itu bukanlah keputusan yang bisa ia ambil dengan hati yang lapang. Semua perasaan cemas, marah, dan kecewa mengalir dalam dirinya, dan dia merasa perlu untuk menjauh dari segala konflik itu sejenak.
Julian mengirimkan pesan kepada Kinanti, meminta agar ia keluar dari pintu belakang rumah dengan segera. Pesan itu datang begitu cepat, seolah memberikan Julian sedikit ruang untuk melepaskan perasaannya yang selama ini terpendam.
“Kamu bisa keluar lewat pintu belakang? Aku sudah menunggumu di luar.” - Julian
Kinanti yang sudah melihat Kenzo tertidur lelap, dengan hati-hati menutup pintu kamar anak itu perlahan, mencoba untuk tidak membangunkannya. Ia merasa sedikit khawatir, namun sekaligus berdebar-debar. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Julian ingin ia keluar malam ini?
Dengan langkah yang hati-hati dan secepat mungkin, Kinanti mengendap-endap menuju pintu belakang, menahan langkahnya agar tidak terdengar oleh siapapun. Ketika sampai di sana, ia melihat Julian sudah menunggu dengan mobil yang terparkir di samping rumah. Tanpa berkata banyak, Julian segera menggandeng tangan Kinanti, dan mereka berdua berjalan menuju mobil.
"Kita akan kemana, Julian?" Tanya Kinanti dengan suara lembut, heran sekaligus penasaran.
Julian hanya diam untuk beberapa saat, lalu berkata dengan nada datar, "Nanti kamu akan tahu sendiri." Tidak ada penjelasan lebih lanjut, hanya kesunyian yang menemani perjalanan mereka.
Perjalanan itu terasa begitu hening. Kinanti memikirkan banyak hal dalam diam. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang sangat penting sedang terjadi, namun Julian tampaknya enggan untuk mengungkapkan lebih banyak.
Hati Kinanti berdebar, merasa ada yang luar biasa akan terjadi malam itu. Setelah beberapa lama, mobil itu berhenti di sebuah rumah yang tampaknya cukup besar. Kinanti tidak pernah melihat rumah ini sebelumnya, dan rasa penasaran semakin besar.
Julian membuka pintu mobil untuk Kinanti dan membimbingnya keluar. "Masuklah." Katanya singkat, lalu mereka berjalan menuju pintu rumah yang terbuka lebar. Kinanti masuk ke dalam rumah itu dengan sedikit ragu.
Tempat ini terasa asing, namun ada rasa hangat yang menyambut, seperti rumah yang penuh dengan kenangan, meski Kinanti tidak tahu apa yang membuatnya merasa begitu.
Mereka duduk di ruang tamu, yang terlihat cukup sederhana namun nyaman. Julian tampak berbeda dari biasanya, ia lebih tenang dan lebih terbuka, meski ada ketegangan yang masih jelas terlihat di wajahnya. Ia duduk di samping Kinanti dan menarik napas dalam-dalam sebelum mulai berbicara.
"Aku membawamu ke sini untuk menemaniku menenangkan diri, Kinanti." Katanya dengan suara berat.
"Aku baru saja berdebat dengan ibuku lagi. Aku sangat kesal karena dia terus memaksaku menikahi Hanah. Aku lelah dengan semua ini. Dia tidak pernah mengerti apa yang aku inginkan."
Kinanti mendengarkan dengan penuh perhatian, hatinya terasa semakin berat mendengar Julian begitu terbuka. Ia tahu betapa sulitnya bagi Julian untuk menghadapi ibu yang sangat berambisi, yang selalu ingin mengatur hidupnya. Kinanti ingin menghibur Julian, meski hatinya juga penuh dengan kecemasan.
"Julian..." Kinanti berkata dengan lembut, kemudian ia mengulurkan tangan dan menepuk bahunya.
"Terkadang, orang tua memang tidak mengerti apa yang kita rasakan, tapi yang terpenting adalah kita tidak kehilangan jati diri kita. Kamu punya hak untuk memilih jalan hidupmu sendiri."
Julian menatap Kinanti dengan mata yang sedikit berkaca. Ia terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menarik Kinanti lebih dekat, memeluknya dengan erat dan meletakkan kepalanya di pundaknya.
Kinanti merasa hangat dengan pelukan itu dan membalasnya, mengelus kepala Julian dengan lembut, memberikan kenyamanan yang ia butuhkan.
"Aku hanya mencintaimu, Kinanti." Ujar Julian dengan suara pelan, hampir seperti bisikan. "Tidak ada orang lain yang aku cintai selain kamu."
Kata-kata itu membuat hati Kinanti terasa begitu hangat. Sebuah perasaan yang sulit dijelaskan melanda dirinya, seolah-olah semua kegelisahan dan kecemasan dalam hatinya menguap begitu saja. Kinanti memejamkan matanya, menikmati momen tersebut, namun sekaligus terharu dengan perasaan yang baru saja diungkapkan oleh Julian.
Julian memegang kepala Kinanti dengan lembut, mendekatkan wajahnya hingga jarak mereka sangat dekat. "Kamu adalah perempuan yang bisa meruntuhkan tembok yang kubangun untuk tidak mencintai siapa pun lagi. Tapi sekarang, aku sudah jatuh cinta padamu, Kinanti."
Kinanti merasa jantungnya berdegup kencang. Ia menatap mata Julian yang begitu dalam, dan dalam sekejap, ia merasakan betapa besar cinta yang diberikan Julian padanya. Ia merasa seperti dunia ini milik mereka berdua, meskipun kenyataan mungkin tidak sesederhana itu.
"Apa kamu mau berjanji untuk melalui semua ini bersama denganku?" Tanya Julian, matanya memancarkan harapan. "Aku tidak ingin melakukannya sendirian."
Kinanti menatap Julian dengan penuh perasaan, hati yang penuh kebingungannya akhirnya menemukan kedamaian. Ia mengangguk, tanpa ragu. "Aku berjanji, Julian. Aku akan melaluinya bersama kamu."
Julian tersenyum, lalu dengan lembut ia menarik Kinanti lebih dekat, mengecup bibirnya dengan penuh rasa cinta. Ciuman itu terasa begitu hangat, penuh dengan emosi yang tak terkatakan. Julian, yang tidak bisa menahan perasaan cintanya, meneteskan air mata yang sulit ia tahan. Kinanti pun ikut terharu, merasa bahwa ini adalah momen yang tak akan pernah terlupakan dalam hidupnya.
Setelah melepaskan ciuman mereka, Julian menatap Kinanti dengan tatapan penuh kelembutan. Kinanti merasa sangat malu, pipinya memerah karena ciuman itu, dan Julian yang melihatnya langsung menggoda dengan senyuman nakal.
"Jangan terlalu malu-malu, Kinanti." Godanya dengan suara pelan. "Aku tahu kamu juga merasa seperti ini."
Kinanti, yang merasa gugup dan malu, hanya bisa menunduk dan tertawa pelan. "Jangan menggodaku seperti itu." Jawabnya, berusaha menyembunyikan rasa malunya.
Kemudian, Kinanti mengambil kesempatan untuk bertanya hal lain yang sudah sejak tadi menggelayuti pikirannya. "Julian..." Katanya dengan suara lembut, "Apakah aku boleh membawa Kenzo besok untuk mengunjungi keluargaku?"
Julian mengangguk tanpa ragu, "Tentu, Kinanti. Kamu dan Kenzo bisa pergi kapan saja. Aku akan selalu mendukungmu."
Kinanti tersenyum mendengar kata-kata Julian. Ia merasa sangat bersyukur memiliki pria sebaik Julian di sisinya. Meskipun banyak hal yang masih harus mereka hadapi, Kinanti tahu bahwa bersama Julian, ia bisa melewati semuanya.
Setelah beberapa saat berlalu, Julian akhirnya merasa tenang. Pikiran yang semula dipenuhi dengan kecemasan dan amarah kini mulai mereda, berkat percakapan yang mendalam dengan Kinanti.
Meski situasi di rumahnya masih penuh dengan ketegangan, malam itu, ia merasakan sedikit ketenangan berkat hadirat Kinanti di sisinya. Kini, dengan perasaan lebih ringan, mereka memutuskan untuk pulang ke rumah.
Dengan hati-hati, mereka berdua berjalan kembali menuju pintu belakang, berusaha untuk tidak menimbulkan kecurigaan. Setiap langkah mereka terhitung pelan, menghindari suara yang mungkin bisa membangunkan orang lain di rumah. Ketika mereka akhirnya berhasil masuk ke dalam rumah, suasana terasa sedikit lebih tenang, meskipun perasaan di hati masing-masing masih dipenuhi dengan perasaan yang tidak mudah diungkapkan.
Sebelum Kinanti masuk ke kamarnya, Julian berhenti sejenak dan menatapnya dengan penuh perhatian. "Selamat malam, Kinanti." Ucapnya dengan lembut, suaranya penuh dengan kehangatan dan kelembutan.
"Terima kasih telah berada di sampingku, membuatku merasa lebih baik malam ini."
Kinanti tersenyum mendengar kata-kata Julian. Ada kehangatan yang begitu terasa dalam setiap kata yang diucapkannya. Senyuman itu pun tak bisa ia sembunyikan, karena perasaan bahagia dan penuh cinta mengalir begitu saja. "Selamat malam, Julian." Jawab Kinanti dengan lembut. "Aku senang bisa berada di sini, bersama kamu."
Dengan senyum yang masih terukir di wajahnya, Kinanti melangkah menuju kamarnya. Setelah pintu kamar tertutup, ia duduk di tempat tidur, membiarkan dirinya tenggelam dalam perasaan yang luar biasa. Ia tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya malam itu.
Julian, pria yang selama ini ia kagumi, ternyata juga memiliki perasaan yang sama terhadap dirinya. Kinanti merasa sangat beruntung bisa dicintai oleh pria sebaik Julian. Hatinya terasa begitu hangat, dan ia tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa kehadiran pria itu.
Ia menghela napas perlahan, menyadari bahwa ia benar-benar beruntung. Semua yang terjadi dari awal pertemuan mereka hingga saat ini terasa begitu indah. Kinanti merasa bahwa ini adalah awal dari perjalanan yang penuh dengan kebahagiaan, meskipun ia tahu bahwa ada banyak tantangan yang akan mereka hadapi bersama.
Namun, satu hal yang pasti, bersama Julian, ia merasa aman dan dicintai. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Kinanti merasa bahwa ia telah menemukan seseorang yang mampu memahami dan menerima dirinya sepenuhnya.