Berawal dari hujan yang hadir membalut kisah cinta mereka. Tiga orang remaja yang mulai mencari apa arti cinta bagi mereka. Takdir terus mempertemukan mereka. Dari pertemuan tidak disengaja sampai menempati sekolah yang sama.
Aletta diam-diam menyimpan rasa cintanya untuk Alfariel. Namun, tanpa Aletta sadari Abyan telah mengutarakan perasaannya lewat hal-hal konyol yang tidak pernah Aletta pahami. Di sisi lain, Alfariel sama sekali tidak peduli dengan apa itu cinta. Alfariel dan Abyan selalu mengisi masa putih abu-abu Aletta dengan canda maupun tangis. Kebahagiaan Aletta terasa lengkap dengan kehadiran keduanya. Sayangnya, kisah mereka harus berakhir saat senja tiba.
#A Series
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Allamanda Cathartica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 20: Awal Cerita di SMA Global
Aletta melangkah pelan di sepanjang koridor kelas. Pandangannya tertuju pada lapangan basket di depannya yang penuh dengan kerumunan siswa-siswi SMA Global. Sorak-sorai dan tepukan riuh terdengar, menambah semarak suasana. Aletta mengangkat tubuhnya sedikit dengan berjinjit, mencoba melihat apa yang menjadi pusat perhatian di tengah-tengah lapangan. Namun, tubuhnya tidak cukup tinggi untuk melewati barisan orang di depannya.
Setelah beberapa kali mencoba dan tetap gagal, akhirnya Aletta menyerah. Dia mendesah pelan lalu memutuskan berbalik arah. Langkah kakinya membawanya menuju kantin. Tenggorokannya terasa kering akibat terlalu lama menjawab pertanyaan-pertanyaan berlebihan dari teman-temannya. Setibanya di kantin, dia membeli sebotol air mineral. Aletta menggenggam botol itu erat sambil berharap kesegarannya bisa sedikit mengurangi rasa lelah di tenggorokan dan pikirannya. Aletta berjalan kembali menuju kelas. Rutenya kali ini harus melewati lapangan basket yang tadi ramai dikerumuni. Sebelum sempat membuka tutup botolnya untuk meneguk air, sebuah benda keras mendadak menghantam kepalanya.
"Aduh! Sakit banget," keluh Aletta sambil memegangi kepalanya yang mulai berdenyut. "Siapa sih yang lempar ini?"
Aletta mendongak dan pandangannya langsung tertumbuk pada sosok familiar. Mata cokelat Aletta menangkap wajah itu—Alfariel. Laki-laki tampan yang menjadi idola banyak siswi di sekolah. Alfariel berlari kecil ke arahnya dan seketika hati Aletta menghangat.
‘Pasti dia mau nolongin gue,’ pikir Aletta. Harapan kecil muncul di benaknya.
Namun, harapannya hancur seketika. Alfariel tidak menghampirinya. Dia hanya berlari melewati Aletta tanpa sepatah kata pun. Aletta yang masih memegangi kepalanya menoleh ke belakang, bingung sekaligus kecewa. Ternyata, Alfariel lebih memilih mengambil bola basketnya yang tergeletak tidak jauh darinya. Parahnya lagi dia bahkan tidak melirik ke arah Aletta.
‘Seriusan? Gue yang kena lempar bola, tapi dia malah cuek begitu aja?’ batin Aletta dengan kening berkerut.
Aletta hanya bisa memandangi punggung Alfariel yang kembali berlari ke tengah lapangan, seolah-olah tidak ada yang terjadi. Kekecewaan menyelip di hati Aletta, tetapi dia tahu tidak ada gunanya mengeluh. Dia membuka tutup botol perlahan, kemudian meneguk isinya sambil menghela napas.
"Dasar nggak peka," gumam Aletta pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
"Guys, gue cabut duluan ya," ujar Alfariel sambil melempar bola basket di tangannya ke arah Fariz.
"Mau ke mana, Kapten?" tanya Fariz yang dengan sigap menangkap bola basket.
"Biasa," jawab Alfariel singkat sambil menunjuk dengan dagunya ke arah yang dimaksud.
Mata Fariz mengikuti arah yang ditunjuk Alfariel lalu menyeringai. "Kantin lagi ya? Kerjanya cuma nongkrong di sana. Sekali-kali traktir kita dong, Al," ucap Fariz sambil menunjukkan tampang melas. "Iya, nggak, Bro?" tanyanya kepada teman-temannya.
"Yoi, Riz. Setuju banget," sahut Gibran dengan semangat.
Alfariel hanya menggeleng kecil sambil tersenyum. "Enak aja kalian. Gue yang bangkrut dong. Lagi tanggal tua, nih. Pengertian dikitlah."
"Yee .... alasan banget," ejek Gibran sambil tertawa kecil. "Paling juga gaya-gayaan di depan Aletta," lanjutnya dengan nada menggoda, senyum jahilnya terpampang jelas.
Aletta yang kebetulan berada tak jauh dari mereka merasa bingung. 'Kenapa nama gue tiba-tiba dibawa-bawa? Apa hubungannya gue sama obrolan mereka?' pikirnya. Dia bahkan tidak mengerti arah pembicaraan mereka.
Sementara itu, Alfariel memilih mengacuhkan semua ocehan mereka. Dia tahu semakin ditanggapi, ledekan mereka hanya akan semakin menjadi. Lebih baik dia pergi daripada berdiri di situ mendengar canda berlebihan anak-anak gengnya.
"Wih, si Kapten main cabut aja," komentar Zidan yang sejak tadi hanya diam kini mulai ikut bersuara.
"Kapten malu digodain begitu, Zi," ujar Fariz sambil terkekeh, tatapannya melirik nakal ke arah Alfariel yang sudah berjalan menjauh. Nada suaranya penuh godaan seperti biasa.
Alfariel hanya mengangkat tangan tanpa menoleh, seolah memberi isyarat bahwa ia tidak peduli dengan ledekan itu.
"Tungguin gue, Al!" seru Fariz tiba-tiba sambil berlari kecil mengejar Alfariel.
Alfariel tetap berjalan dengan tenang, tanpa memperlambat langkah atau sekadar menoleh. "Kalau mau ikut, ya cepet, Riz. Gue nggak bakal nungguin orang lambat," sahutnya dengan nada datar.
Alfariel terus berjalan menuju kantin. Di tengah perjalanan, matanya menangkap sosok Aletta yang sedang berdiri tidak jauh dari lapangan. Sekilas, dia melemparkan tatapan datar ke arahnya. Namun, alih-alih menyapa, Alfariel hanya tersenyum tipis. Senyum sinis yang sulit diterjemahkan.
Aletta yang diperlakukan seperti itu hanya bisa terpaku. Dia berusaha memahami arti tatapan dingin khas Alfariel. Semakin ia mencoba mengerti, semakin sulit rasanya memahami sikap lelaki itu. 'Kadang dia manis banget, tapi kadang bisa berubah jadi orang yang dingin dan nggak jelas. Maunya apa sih?' pikir Aletta sambil menghela napas lelah.
Sikap Alfariel yang tidak terduga itu selalu berhasil membuat Aletta bingung.
***
Di kantin sekolah.
Fariz menyenggol lengan Alfariel. "Wih, Bro, kelihatannya bakso lo enak tuh," tunjuk Fariz dengan memajukan kepalanya.
"Mau?" tanya Alfariel yang menyendokkan bakso lengkap dengan kuah pedas.
Fariz menatap sesendok bakso yang ada di tangan Alfariel dengan mata berbinar. Fariz membuka mulutnya lebar-lebar.
Alfariel mengerlingkan mata nakal. Dia mengarahkan sendok ke mulut Fariz lalu dibaliknya kembali ke arahnya. "Am nyam nyam, enak nggak, Riz? Ada pedes-pedesnya gitu, iya, kan?"
"Dasar laki-laki bertopeng es! Gue belum ngerasa. Main makan aja. PHP lo!" Fariz melempar tisu ke wajah Alfariel.
"Apa maksud lo tadi?" tanya Alfariel. "Lo kira gue laki-laki yang sok cool di film menye-menye? Ih, ogah. Mending jadi playboy lebih untung."
Fariz lagi-lagi melempar tisu ke arah Alfariel. "Right, lo untung banyak. Sekalian aja borong tuh cewek-cewek." Fariz menunjuk segerombolan cheerleader yang asik mengobrol di meja belakang Alfariel.
"Oke, lihat aja nanti. Satu dari mereka, bakal gue taklukan." Alfariel tersenyum miring, dia memukul dadanya menyombongkan diri.
"HAAA ... "
GEDEBUM!
Dentuman keras terdengar, siswa-siswi Global yang ada di kantin menoleh ke arah datangnya suara seperti bom yang meledak di siang bolong kayak gini. Tidak lain, mereka bedua, Abyan dan Zidan tersungkur jatuh. Abyan di bawah, sedangkan Zidan di atas menindih Abyan. Alfariel pun yang duduk dengan tenang juga ikut terjatuh. Saat Abyan ingin memegang tangan Alfariel, dia malah terpeleset jatuh, alhasil Alfariel tertarik Abyan.
"Sakit, Zidan! Bangun lo!" Abyan mendorong-dorong tubuh Zidan. "Ih, Zidan. Bangun nggak? Gue siram pakai es teh, nih. Mau lo?" Abyan meraih es teh milik Alfariel.
Ngomong-ngomong soal Alfariel, dia selonjoran sambil mengelus dada pasrah. "Astaghfirullah, cobaan apalagi yang kau berikan pada hambamu ini?" Alfariel menepuk-nepuk celananya yang kotor.
"Tumben lo nyebut? Salut gue," ucap Fariz sambil mengacungkan kedua jempolnya.
"Brengsek-brengsek gini, gue udah tobat kali. Daripada lo, salat aja sering lupa." Alfariel menoyor kepala Fariz.
Fariz berdecak. "Gue rajin salat kok," ucap Fariz membela dirinya sendiri.
"Iya, cuma salat Jumat doang," sahut Alfariel meremehkan.
"Aduh, badan gue sakit semua." Abyan merenggangkan tubuhnya yang terasa sakit. Dia berjalan tertatih sambil memegangi pinggangnya.
Abyan duduk di sebelah Alfariel, meminum es teh milik Alfariel yang masih penuh. "Gila! Pengalaman jatuh yang kelewat ekstrem."
Fariz yang mendengar itu langsung tertawa. "Berarti lo harus nulis di buku pengalaman lo, By. Judulnya Hari ini gue jatuh tertimpa buto ijo. Pengalaman jatuh paling ekstrem*!*" canda Fariz\, menirukan gaya bicara Abyan.
Abyan tertawa keras dan menepuk pundak Fariz. "Bener juga tuh. Jarang-jarang jatuh kayak gitu, romantis tau. Ingetin gue ya, Riz." Mereka berdua bertos ria, menambah kekonyolan suasana.
Zidan yang sedari tadi diam akhirnya ikut bicara. "Romantis pala lo! Tangan gue memar semua nih." keluhnya sambil menunjukkan tangannya yang sedikit lebam.
"Nggak nanya," jawab Abyan, Fariz, dan Alfariel serempak tanpa melihat ke arah Zidan.
Zidan hanya bisa memutar bola matanya, mencoba memaklumi tingkah teman-temannya yang memang selalu nyleneh. 'Sebelas dua belas sama orang gila. Masih jauh sih, cuma hampir mendekati aja,' batinnya kesal.
Sambil mendesah, Zidan menggeleng pelan. 'Salah gue apa sih, punya teman-teman ajaib begini?'
"By the way, personil kita kurang satu. Gibran mana?" tanya Alfariel setelah menyadari kalau si kutu buku belum nongol-nongol juga.
BRAK!
Abyan dan Zidan menggebrak meja bersamaan. Fariz hampir saja terjungkal kebelakang karena kaget.
"ITU DIA!" tunjuk mereka berdua pada Alfariel.
"Gu-gue?" Alfariel terbata-bata, dia shock, telunjuknya mengarah ke dirinya sendiri.
"Bukan, Al. Si Gibran." Abyan meminum seteguk es teh. "Gibran lagi ketemu temennya."
Alfariel manggut-manggut. "Ya sudah, biarin aja. So, ada masalah apa kalian berdua?"
"Lo kok kagak peka sih? Si Gendhis, lo inget dia siapa?" Zidan bertanya dengan wajah serius.
"Bukannya Gibran sudah terbiasa berduaan sama Gendhis di perpus ya?" Alfariel menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dia tidak memahami ucapan Zidan.
"Beda, Al. Tadi nih ya, waktu gue datang sama Abyan mau nyamperin Gibran. Eh, Gendhis malah ketawa cekikikan. Lo tahu kan betapa seremnya suara ketawa setan kayak gitu?" Zidan menarik napas dalam-dalam lalu dihembuskan dengan tergesa. Dia berceloteh lagi. "Gue sama Abyan langsung lari. Pak Dastan bilang, 'kayak dikejar setan'. Gue jawab, 'bukan dikejar, tapi kita yang ngejar'. Soalnya uang gue lima puluh ribu diambil Gendhis."
"HAHAHA ... "
Tawa pecah seketika. Alfariel sampai memegangi perutnya karena geli, sementara Abyan dan Fariz ikut tertawa terpingkal-pingkal.
Satu hal yang diketahui tentang Gibran, dia memiliki kemampuan unik untuk melihat hal-hal yang tak kasat mata. Dan soal Gendhis, dia adalah teman spesial Gibran—sosok hantu perempuan legendaris yang terkenal suka nongkrong di atas pohon dan mengerjai orang-orang.
"Kasihan ... " celetuk Fariz. "Enak dikerjain Gendhis? Makanya jangan usil sama Gendhis. Baru tahu rasa, kan?"
Alfariel menghentikan tawanya. Dia merasa ada yang ganjil di sini. "Bentar-bentar, emang lo bisa lihat hantu?" tanya Alfariel sambil menggaruk kepalanya yang tak terasa gatal.
"Ya enggak lah. Gue ngejar Gibran, di mana ada Gibran, di situ ada Gendhis," jawab Zidan sambil memijit pelipis.
Suasana tiba-tiba hening, sampai akhirnya suara familiar terdengar.
“Jangan ngambek lagi dong, Dhis,” ujar Gibran terlihat sedang bermonolog.
Mereka semua langsung menoleh. Gibran berjalan santai sambil membawa dua es krim di tangannya. Zidan menatapnya dengan ngeri, dia yakin salah satu es krim itu untuk Gendhis.
“Hantu bisa ngambek juga ternyata,” gumam Zidan.
Tanpa menunggu lama, Zidan langsung menepuk pundak Fariz. “Kabur, Guys! Sebelum Gendhis mulai bertindak, mending kita pergi!” serunya panik.
“Gue nggak ada masalah sama Gendhis. Santai aja,” balas Alfariel sambil mengangkat sebelah alis.
“Lo lupa, ya? Kalau dia marah, siapa aja bisa jadi pelampiasannya,” ujar Zidan sambil berdiri, bersiap melarikan diri.
“Anjir! Gue lupa! Ayo, ayo pergi!” seru Alfariel langsung berlari lebih dulu.
Fariz, Zidan, dan Abyan mengikuti, meninggalkan Gibran yang hanya bisa menatap mereka dengan bingung.
“Guys? Serius kalian ninggalin gue?” sapanya dengan nada datar, mencoba memanggil mereka, tetapi sia-sia.
Apalah nasib Gibran sekarang ini. Duduk seorang diri, ditemani dengan sampah-sampah plastik, tidak lupa semangkuk bakso dan segelas es teh yang isinya raib tak tersisa. Oh, Gibran lupa. Bukannya ada Gendhis di sini? Nah, Gibran tidak jadi kesepian.
"Dhis, traktir dong. Pakai uang yang lo ambil dari Zidan tadi." Gibran berbisik. "Iya, gue nggak marah lagi."
***
Bersambung ....