Seorang gadis yang tidak percaya cinta karena masa lalunya, tidak percaya dengan dirinya sendiri. Kemudian dihadapkan dengan seseorang yang serius melamarnya.
Jika dia akhirnya menerima uluran tangannya, akankah dia bisa lepas dari masa lalunya atau semakin takut ?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gama Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Yasmin
Naima duduk di depan Yasmin, menatap wajah gadis itu yang tetap cantik meski tanpa sentuhan make-up. Yasmin duduk dengan sikap yang acuh tak acuh, seolah tidak ada yang penting di dunia ini. Tubuhnya bersandar santai di kursi ruang kunjungan, menunggu Naima memulai percakapan. Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang menekan, dan Naima masih terdiam, memutar pikirannya, mencoba mencari kata-kata yang tepat.
Entah apa yang mendorong Naima untuk datang ke tempat ini. Apakah ini hanya untuk meredakan kecemasan dalam dirinya, atau mungkin untuk mencoba memahami apa yang sebenarnya ada di balik tindakan Yasmin? Hati Naima terombang-ambing antara kebingungan dan keinginan untuk mengetahui lebih jauh. Tetapi satu hal yang pasti—dia harus tahu motif di balik perbuatan Yasmin, jika itu yang bisa membuatnya sedikit tenang.
"Jadi, apa mau Lo?" Yasmin akhirnya berkata, suaranya datar, namun penuh sindiran, seakan sudah tahu apa yang akan datang.
Naima menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum akhirnya membuka mulut. "Kenapa kamu tabrak Sekar?"
Yasmin hanya mendengus pelan, tidak menunjukkan sedikit pun penyesalan di wajahnya. "Ck, bosen deh gue. Masa orang-orang yang datang ke sini cuma nanya beginian? Ayolah, gue tahu orang-orang macam lo. Sekalinya gue bilang nggak, lo bakal percaya?"
Naima menatapnya tajam, tak membiarkan dirinya terpengaruh oleh sikap dingin Yasmin. "Kenapa kamu ngelakuin itu?"
Yasmin mengetuk-ngetuk meja dengan jemarinya, wajahnya menunjukkan kebosanan yang semakin jelas. Tapi kemudian, senyum kecil muncul di sudut bibirnya, senyum yang Naima kenal sangat baik—senyum yang penuh sindiran, seperti yang sering dia lihat pada Yudha.
"Setelah gue inget-inget, gue tau Lo. Lo calon Yudha ‘kan? Ups, atau harus gue bilang mantan calon?" Yasmin berkata dengan nada yang menusuk, seperti sedang menikmati permainan ini.
Naima merasa darahnya mulai mendidih. Rasa marah dan malu bercampur, membuat hatinya bergejolak. Yasmin melanjutkan, "Setelah gue liat-liat sih, bagus juga Yudha jauhin Lo, ya. Secara, Lo cuma parasit."
Naima terkejut, kata-kata Yasmin seperti sengatan tajam yang langsung menembus hatinya. Namun, di balik rasa sakit itu, kemarahan Naima mulai muncul, membakar dalam dirinya.
“Setelah lo dengan seenaknya ngebatalin rencana pernikahan, gimana gilanya anak itu?” Yasmin menatap Naima dengan tatapan menusuk, nada suaranya sengaja diangkat. “Ah, ya... lo bahkan gak peduli sama dia. Kasian banget Yudha.”
Naima mengangkat wajahnya, mencoba tetap tenang meski dadanya bergemuruh. “Kamu gak tau apa-apa,” gumamnya, suaranya nyaris tenggelam.
Tapi Yasmin hanya terkekeh kecil, mengejek. “Kalau gue gak tau apa-apa, lo apa? Lo tau gak gimana dia meyakinkan ayah buat ketemu orang tua angkat lo?”
Naima tertegun, tapi Yasmin tak memberinya kesempatan untuk berbicara.
“Dia bahkan bikin perjanjian yang dia sendiri gak mau. Dia menuruti semua kehendak ayah, dengan kata lain menjadi kaki tangan Ayah” Yasmin mendekat, tatapannya tajam, penuh tekanan. “Dia gak punya pilihan buat memberontak, Naima. Lo ngerti apa artinya itu? Sekali ayah meminta, Yudha ga ada pilihan lain untuk patuh.”
“Dan ya satu hal, teman Lo itu, ga akan ada di rumah sakit kalo Lo ga mengambil tempatnya.”
Naima hanya bisa terpaku. Kata-kata Yasmin menusuk seperti belati, meninggalkan luka tak kasat mata di hatinya.
***
Kata-kata Yasmin terus berputar di kepala Naima, seperti gema yang menolak sirna. Pikirannya bercampur aduk, tidak nyaman, seolah sebuah pintu yang selama ini ia tutup rapat-rapat perlahan terbuka kembali.
Ya, ia memang membatalkan pernikahan dengan Yudha, dan alasannya? Sederhana, tapi tak mudah diterima. Ia tak sanggup menghadapi tatapan itu—tatapan Yudha yang dipenuhi belas kasih. Tatapan yang sama seperti yang sering ia lihat dari orang-orang di masa lalu. Tatapan yang membuatnya merasa kecil, seolah ia hanya beban, seolah dirinya tidak lebih dari potongan kisah sedih yang orang lain coba selamatkan.
Apakah itu salah? Naima bertanya-tanya dalam hati. Ia hanya ingin melangkah keluar dari lingkaran gelap yang selalu membayanginya. Ia ingin membebaskan hati, menghirup udara masa depan tanpa bayangan luka. Namun, selama ia masih terjebak dalam pandangan penuh simpati itu, ia tahu dirinya takkan pernah bisa sepenuhnya melepaskan masa lalu. Luka yang tertoreh itu tak akan pernah benar-benar menghilang.
Lalu Sekar? Dia tidak pernah ingin mengambil tempatnya, tidak, dia tidak pernah berpikir melakukannya.
Naima menarik napas panjang, matanya menerawang jauh. Masa lalu mungkin telah meninggalkan bekas, tapi ia ingin percaya bahwa masa depan punya ruang untuk penyembuhan. Tapi bagaimana caranya, jika setiap langkah maju hanya membawa rasa takut baru?
Jalanan kota surabaya padat oleh kendaraan yang berlalu lalang, suara klakson mobil memburu waktu, meneriaki kendaraan lain yang menghalangi jalan. Asap kendaraan memangkas udara, menciptakan sesak yang menyiksa.
Langkah Naima menapak perlahan, pandangannya kosong. Matahari diatas kepalanya tidak dihiraukan. Sesaat langkahnya terhenti. Jilbab yang dikenakannya tertarik ke belakang.
“Woi, siapa nih?” ucap Naima tidak terima. Gadis itu melirik kebelakang dan mendapati pemuda yang mengisi pikirannya tersenyum lebar, hingga memamerkan deretan giginya yang rajin di poles pasta gigi. “Hm… Oh.”
Kaki Naima melangkah, mengabaikan Yudha yang terpaku di belakang. “Ups, kamu lagi sedih?” Yudha bergumam, mencoba menggoda.
Naima tidak menjawab, hanya bungkam dan melanjutkan langkahnya, terputus oleh perasaan yang sulit dijelaskan. Yudha, dengan langkah santainya, mengikuti di belakang, matanya melirik wajah Naima yang terlihat masam.
“Kamu kenapa?” tanya Yudha, nada suaranya lebih serius.
“Muka jelek makin jelek kalau manyun gitu.” Yudha mengejek sambil tersenyum, mencoba meringankan suasana.
“Ah, kami mau seblak ya… tapi standnya tutup. Padahal udah jalan jauh,” tebaknya.
“Atau… eh…” Yudha berusaha mencari-cari topik, dia melirik sekeliling, tantapannha masih santai seolah kediaman Naima biasa baginya.
“Yud?” Naima tiba-tiba berhenti, berbalik menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak.
“Ya sayang, eh…” Yudha terkikik, sedikit panik karena ucapannya salah. Dengan cepat dia menutup mulutnya, tersenyum nakal.
Naima melangkah mendekat, matanya menyipit. Tanpa peringatan, dia meninju perut Yudha dengan keras. Pemuda itu terhuyung, mengerang kesakitan, tapi tidak bisa menahan tawa.
“Aduh, Nai, itu sakit banget, loh. Kenapa sih?”
Yudha menatap Naima yang menunduk, ekspresinya dipenuhi kebingungan dan khawatir. Setetes air mata jatuh dari matanya, mengalir ke lantai, membuat Yudha tersentak. Tanpa pikir panjang, dia melepas topinya dan dengan lembut memakaikan topi itu ke kepala Naima, melindungi gadis itu dari pandangan orang-orang di sekitar.
^^^...Hening, tak ada kata-kata yang terucap. Naima terus menunduk, tidak sanggup berbicara. Yudha menatapnya, bingung dan tak tahu harus berkata apa. Dengan hati-hati, dia menggenggam ujung lengan baju Naima, menariknya menuju tempat yang lebih sepi. Di sana, Naima bisa meluapkan semua perasaannya, tanpa ada yang mengganggu....^^^
Jangan lupa mampir juga di novel terbaru aku "Bertahan Luka"
Ditunggu ya kak