" Kamu adalah alasan kenapa aku mengubah diriku, Gus. Dan sekarang, kamu malah mau meninggalkan aku sendirian?" ujar Raya, matanya penuh dengan rasa kecewa dan emosi yang sulit disembunyikan.
Gus Bilal menatapnya dengan lembut, tapi tegas. "Raya, hijrah itu bukan soal aku atau orang lain," ucapnya dengan suara dalam. "Jangan hijrah karena ciptaan-Nya, tetapi hijrahlah karena Pencipta-Nya."
Raya terdiam, tetapi air matanya mulai mengalir. "Tapi kamu yang memotivasi aku, Gus. Tanpa kamu..."
"Ingatlah, Raya," Bilal memotong ucapannya dengan lembut, "Jika hijrahmu hanya karena ciptaan-Nya, suatu saat kau akan goyah. Ketika alasan itu lenyap, kau pun bisa kehilangan arah."
Raya mengusap air matanya, berusaha memahami. "Jadi, aku harus kuat... walau tanpa kamu?"
Gus Bilal tersenyum tipis. "Hijrah itu perjalanan pribadi, Raya. Aku hanya perantara. Tapi tujuanmu harus lebih besar dari sekadar manusia. Tujuanmu harus selalu kembali kepada-Nya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sha whimsy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mirip
Di pagi berikutnya, Blaze berdiri di bawah cahaya matahari, merasakan embun pagi dan udara segar yang menerpa wajahnya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa hidup kembali.
Dia melihat kakek Eldrin Aljazair sedang bebenahan barang-barang. " Saya ada urusan sebentar, kamu jangan kemana-mana dulu. Nanti ada cucu saya datang ke sini antar makanan, " Katanya.
Blaze mengangguk pelan, matanya mengikuti setiap gerakan Eldrin yang telaten menata barang-barang ke dalam tas anyaman sederhana. Ada ketenangan dalam cara kakek itu bergerak, seolah setiap tindakan memiliki makna tersendiri. Meski penasaran dengan urusan yang akan dijalani Eldrin, Blaze menahan diri untuk tidak bertanya. Selama masa pemulihannya, ia belajar menghargai cara Eldrin menyimpan hal-hal tertentu tanpa perlu penjelasan berlebihan.
"Baik, Kakek Eldrin. Saya akan menunggu di sini," jawab Blaze dengan suara yang masih sedikit serak, namun penuh ketulusan.
Eldrin tersenyum, matanya berbinar sejenak. "Kau orang yang bijak, Blaze. Aku akan segera kembali. Jangan cemas, cucuku anak yang baik dan tenang, mungkin dia akan bisa membantumu mengenal desa ini lebih jauh."
Sebelum Eldrin pergi, Blaze memperhatikan gurat kebijaksanaan dan ketenangan di wajah pria tua itu, sesuatu yang selama ini menguatkannya. Setelah Eldrin menghilang di balik pepohonan, Blaze kembali duduk di depan pondok, merasakan sepoi angin yang lembut, sambil mengamati keindahan alam yang ada di sekelilingnya.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara langkah kaki mendekat. Blaze menoleh dan mendapati seorang laki-laki seusia nya berdiri di ambang pintu pondok. Wajahnya bersih dan penuh senyum hangat, dengan baju koko berwarna putih dan mata yang memancarkan keramahan. Di tangannya, ia membawa sebuah keranjang penuh makanan.
" Saya Bilal cucunya kakek Eldrin, " Kata pemuda tampan itu.
" Blaze, " Kata Blaze.
" Ya saya sudah tau, " Kata Bilal.
Blaze tersenyum kecil, sedikit canggung namun tertarik pada keramahan Bilal. Ada sesuatu dalam cara pemuda itu berbicara—hangat dan tenang, mirip dengan aura kakek Eldrin, tetapi dalam versi yang lebih energik.
Bilal meletakkan keranjang makanan di atas meja kayu di depan Blaze. "Kakek bilang kau baru saja pulih dari luka-lukamu. Dia ingin kau makan dengan baik, jadi aku bawakan beberapa makanan yang beliau siapkan."
Blaze melihat isi keranjang itu—ada roti segar, buah-buahan, dan beberapa bungkusan makanan hangat yang tampak lezat. "Terima kasih, Bilal," katanya, tulus. "Saya nggak nyangka bisa bertemu orang-orang baik seperti kalian di sini."
Bilal tersenyum, menatap Blaze dengan pandangan lembut. "Takdir punya cara yang unik, ya, membawa kita ke tempat yang tak pernah kita duga. Kakek sering bilang, di mana pun kita berada, selalu ada pelajaran dan alasan di baliknya."
Mendengar itu, Blaze terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Bilal. Dalam hidupnya yang penuh gejolak dan bahaya, jarang ada yang berbicara padanya dengan kebijaksanaan seperti itu. Sosok Bilal dan Eldrin, bagi Blaze, seperti secercah harapan yang memberi makna baru.
"Kau berasal dari tempat yang jauh, ya?" tanya Bilal, nada suaranya pelan namun penuh pengertian.
Blaze mengangguk. "Iya. Aku… mungkin berasal dari dunia yang sangat berbeda dari sini." Ia menundukkan kepala, merasa sedikit ragu untuk bercerita lebih banyak.
Namun, Bilal hanya tersenyum dan menepuk pundaknya. "Nggak masalah. Di sini, kau nggak perlu jadi siapa-siapa yang kau bukan. Kau hanya perlu menjadi dirimu sendiri."
Kata-kata sederhana itu membuat Blaze merasa lebih ringan. Seolah beban yang selama ini dipikulnya sedikit terangkat. Mungkin, pikir Blaze, desa ini bukan hanya tempat untuk sembuh secara fisik, tapi juga untuk menemukan kembali dirinya yang hilang.
Bilal lalu duduk di sampingnya, dan mereka mulai berbincang tentang kehidupan desa, kisah-kisah yang Bilal alami bersama kakeknya, hingga cerita-cerita lucu tentang keseharian di desa. Obrolan yang ringan dan hangat, mengalir seperti aliran sungai yang tenang. Blaze merasa, untuk pertama kalinya, dirinya diterima tanpa syarat.
" Gue islam di atas kertas, sejauh ini gue sering melanggar aturan tentang ibadah, dan gue bahkan gak percaya sama keyakinan itu atas segalanya yang udah menimpa gue, " Kata Blaze terkekeh sendiri.
Bilal terdiam mendengar pengakuan Blaze, tetapi senyumannya tetap lembut. Ia menatap Blaze dengan penuh pengertian, tanpa menghakimi, lalu berkata, “Mungkin itu memang berat, ya. Aku gak bisa sepenuhnya ngerti apa yang udah kamu lalui, tapi aku bisa dengerin, kalau kamu mau cerita.”
Blaze menghela napas, kemudian mengangkat bahu. “Gue gak yakin ada gunanya. Hidup gue… yah, mungkin berantakan itu udah jadi nasib gue. Gue udah terlalu sering kecewa, ditinggal, dihianatin… Sampai rasanya, apa gunanya berdoa atau percaya? Gak ada yang berubah. Semuanya tetap sama.”
Bilal mendengarkan dengan seksama, tak sekalipun memotong kata-kata Blaze. Setelah beberapa saat, ia berkata pelan, “Aku juga pernah merasakan kecewa, pernah ada masa di mana aku mempertanyakan segalanya. Kadang, justru di saat-saat gelap itu kita merasa seolah-olah ditinggalkan. Tapi mungkin itu karena kita juga belum benar-benar terbuka buat menerima.”
Blaze mendengus, mengalihkan pandangan. “Bilangnya mudah. Tapi gue rasa lo nggak pernah ngerasain apa yang gue alamin.”
Bilal mengangguk pelan, lalu berkata, “Mungkin benar. Aku nggak tahu pasti perasaanmu. Tapi, menurutku, kadang kita harus memulai dengan hal-hal kecil. Mungkin nggak langsung percaya atau berubah dalam semalam, tapi sekadar membuka hati buat sesuatu yang berbeda.”
Blaze terdiam, merenung sesaat. “Gue gak tau apa bisa. Rasa kecewa gue udah kayak tembok yang gak bisa ditembus.”
Bilal tersenyum lagi. “Kalau nggak bisa ditembus, mungkin kita cari jalan lain buat memahami diri kita sendiri dulu. Mulai aja dari yang sederhana, mungkin bukan tentang agama atau ibadah langsung. Tapi sekadar mengenal dirimu lebih dalam. Mungkin dari situ, suatu hari nanti, kamu akan mulai paham.”
Blaze menatap Bilal dengan ragu. “Gue nggak janji, tapi mungkin gue bisa coba.”
Bilal mengangguk penuh keyakinan. “Coba aja dulu, pelan-pelan. Terkadang perubahan itu nggak harus besar. Cukup mulai dengan sedikit harapan di tengah kegelapan, dan siapa tahu, jalan itu bakal terbuka pelan-pelan.”
Obrolan itu terhenti sejenak, tetapi Blaze merasa sedikit lebih ringan. Ada sesuatu dalam kata-kata Bilal yang mengendap, memberikan rasa yang belum pernah ia alami sebelumnya—seberkas harapan, meski kecil, di tengah segala kebimbangan yang ia rasakan.
Tak terasa, matahari telah mencapai puncaknya, menandakan siang yang terik. Kedua pemuda tampan itu duduk di depan pondok, terdiam dalam kebosanan. Blaze menatap hamparan pepohonan di sekitar mereka, lalu menghela napas panjang.
"Siang-siang begini, nggak ada aktivitas yang seru ya?" gumam Blaze, melirik Bilal yang tampak santai di sampingnya.
Bilal terkekeh pelan. "Kalau bosan, biasanya aku jalan-jalan di sekitar desa, menikmati suasana. Kadang, ada hal-hal kecil yang bisa bikin kita merasa lebih hidup, meskipun cuma hal sederhana."
Blaze mengangkat alisnya, sedikit penasaran. "Kayak apa contohnya?"
Bilal berpikir sejenak, lalu menjawab, "Ada air terjun kecil di dekat sini. Tempatnya nggak terlalu jauh, dan biasanya cukup sepi. Kalau kamu mau, kita bisa ke sana. Tempatnya cukup tenang, cocok buat menenangkan diri."
Blaze mempertimbangkan sejenak, lalu mengangguk. "Boleh juga. Siapa tahu bisa menghilangkan rasa suntuk."
Keduanya pun beranjak dari tempat duduk mereka dan mulai menyusuri jalan setapak menuju air terjun. Suara dedaunan yang bergesekan dan kicauan burung mengiringi langkah mereka. Di desa ini berbeda sekali dengan di kota, Blaze merasakan kedamaian yang belum pernah ia alami sebelumnya; seolah tempat ini mengajaknya untuk merenung dan merasakan kembali kehidupan yang sempat hilang dari jiwanya.
Setelah beberapa menit berjalan, suara gemericik air mulai terdengar. Di depan mereka, sebuah air terjun kecil mengalir deras, membentuk kolam yang jernih di bawahnya. Cahaya matahari yang menembus dedaunan membuat permukaan air tampak berkilauan.
"Indah, kan?" kata Bilal sambil tersenyum, menikmati pemandangan.
Blaze hanya mengangguk, terdiam sejenak. Tanpa sadar, rasa damai perlahan menyelimuti hatinya. Tempat ini begitu tenang, jauh dari keramaian dan hiruk-pikuk yang biasa ia hadapi.
Mereka berdua duduk di pinggir kolam, membiarkan kaki mereka terendam air yang dingin. Bilal sesekali melemparkan batu kecil ke dalam air, menciptakan riak-riak yang menyebar. Setelah beberapa saat, Blaze menoleh ke arah Bilal dan berkata, "Gue belum pernah merasa setenang ini sebelumnya. Mungkin… mungkin gue butuh waktu buat memahami apa yang sebenarnya gue cari."
Bilal tersenyum hangat. "Terkadang, kita nggak perlu buru-buru mencari jawaban. Kadang, jawaban itu akan datang sendiri saat kita siap menerimanya."
Blaze terdiam, merenungkan kata-kata itu sambil menatap riak-riak air yang perlahan menghilang. Di tempat itu, bersama Bilal, ia merasakan sesuatu yang baru—sebuah harapan yang muncul dari ketenangan, yang selama ini tak pernah ia temui di dalam kehidupannya yang penuh kekacauan.
Tiba-tiba, suara getaran ponsel memecah keheningan."Saya angkat telepon sebentar, " Kata Bilal membawa hpnya terus bergetar.
"Oke, " balas Blaze, mengangguk.
Sambil menunggu, Blaze kembali mengarahkan pandangannya ke sungai yang jernih. Namun, sesuatu di kejauhan menarik perhatiannya—sesosok gadis yang berdiri di tepi sungai, mengenakan jilbab segitiga berwarna merah muda dan piyama bermotif Doraemon. Sosoknya tampak familier, seperti seseorang yang pernah ia temui lama sekali.
Blaze menatap gadis itu lekat-lekat, merasa ada yang berputar di ingatannya. "Mirip banget... iya, mirip," gumamnya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. Seketika, pikirannya kembali ke sebelas tahun lalu, saat ia menemukan seorang gadis kecil berambut ikal yang berdiri sendirian. Kenangan itu terasa begitu nyata, memanggilnya untuk mendekat.
Tanpa sadar, Blaze sudah melangkah perlahan menuju gadis itu. Ia merasa hatinya berdebar, berharap namun sekaligus ragu. "Reshaa, " Kata Blaze membuat gadis itu langsung menoleh ke arah Blaze.
Gadis itu menoleh, matanya yang bening bertemu dengan tatapan Blaze. Dari dekat, Blaze memperhatikan wajahnya lebih jelas—bibir kecil, mata yang sama cerah, dan bulu mata lentik yang tak berubah. Rasanya seperti melihat bayangan masa lalu yang hidup kembali di depan matanya.
Namun, sebuah keraguan tetap menyelinap di benaknya. Apakah gadis ini benar-benar Resha yang sama yang pernah ia temui, atau hanya seseorang yang kebetulan mirip? Blaze tetap diam, menanti respons dari gadis itu, sambil mencoba memahami perasaan yang mengalir di hatinya.