Luna merupakan anak pertama Raihan Wicaksono yang berusia 23 tahun, dia bekerja pada di kantor swasta sebagai kepala divisi penjualan. Meskipun ayahnya adalah seorang Ahli Bioteknologi dia sama sekali tidak mewarisi bidang pekerjaan ayahnya.
Luna berkhayal bahwa dia ingin mempunyai suami yang di dapat dari rekanan ayahnya seperti kebanyakan film yang dia tonton, sampai pada akhirnya dia ikut ayahnya bekerja dan bertemulah Luna dengan Renzo anak dari rekan bisnis ayahnya. Usia mereka terpaut lebih dari 10 tahun, Luna langsung jatuh hati begitu melihat Renzo. Tapi tidak pada Renzo, dia sama sekali tidak tertarik pada Luna.
"Itu peringatan terakhirku, jika setelah ini kamu tetap keras kepala mendekatiku maka aku tidak akan menghentikannya. Aku akan membawa kamu masuk ke dalam hidupku dan kamu tidak akan bisa keluar lagi," ancaman dari Renzo.
Cegil satu ini nggak bisa di lawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YPS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8
Luna dan Renzo duduk di bangku kayu yang menghadap taman kecil di halaman belakang. Angin sore menyapu lembut rambut panjang Luna, membuat beberapa helai jatuh ke wajahnya. Renzo, dengan rokok di tangan, mengamati gerakan halus itu, dengan terus menatap pujaan hatinya.
"Apa tempat ini selalu jadi tempat favoritmu?" tanya Luna memecah keheningan, suaranya lembut.
Renzo menghela napas pelan. "Ya, menurutku tempat ini seperti pelarian bagiku. Di sini aku bisa... berpiki, membayangkan segalanya,."
Namun sebelum pembicaraan mereka berlanjut, langkah cepat terdengar dari arah dalam rumah. Maharani muncul dengan wajah panik, ekspresinya tegang saat matanya langsung tertuju pada Renzo.
"Renzo," panggil Maharani, suaranya bergetar.
Renzo menoleh lalu beranjak dari kursinya perlahan dan menghampiri Maharani.
"Apa kamu yakin akan menceritakan semuanya pada Luna? Apa kamu sudah siap kalau dia memilih meninggalkanmu setelah tahu?"
Luna hanya terdiam saat mereka berbicara dengan suara sangat lirih, tatapannya berpindah antara Renzo dan Maharani. Ia merasa ada sesuatu yang berat di balik percakapan itu, sesuatu yang belum dia tahu.
Renzo menghela napasnya berat, menatap wajah mamanya dengan pandangan penuh kasih sayang. Dia sangat mengerti kekhawatiran yang di rasakan Maharani.
"Mama, sepertinya Luna berhak tahu sebagian dari apa yang terjadi. Tapi aku nggak akan menceritakan semuanya. Bukan karena aku nggak percaya padanya, tapi perlahan... perlahan aku akan menceritakan semuanya."
Maharani melipat kedua tangannya, raut khawatirnya tidak berkurang sedikit pun. "Renzo, kamu tahu risikonya. Luna bukan orang sembarangan. Kalau dia tahu terlalu banyak, dan memilih untuk pergi... kamu bisa kehilangan dia selamanya."
Renzo menoleh ke Luna, yang masih duduk di kursi dengan wajah bingung. "Aku tahu apa yang aku lakukan, Ma. Aku nggak akan membiarkan dia pergi. Dan sepertinya benar kata Mama kalau dia yang akan membuatku hidup."
Renzo berbalik, mendekat ke arah Luna dan mengusap lembut rambutnya.
"Ehh, ada Tante Maharani. Malu lho aku.... " ucap Luna dengan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Renzo hanya tersenyum.
Renzo kembali menatap mamanya, memberi isyarat agar Maharani meninggalkan mereka. Dengan berat hati, Maharani menghela napas dan melangkah kembali ke dalam rumah, meninggalkan Renzo dan Luna di bawah langit sore indah dan udara yang sejuk.
"Ada apa?" tanya Luna.
"Ada kekhawatiran dari hati seorang ibu melihat anaknya akan menceritakan sesuatu ke pacarnya yang baru saja jadian," jawab Renzo dengan nada sedikit menggoda Luna.
Luna terkekeh kecil. "Tidak apa-apa, aku siap menunggu kok. Seribu tahun lagi juga aman."
"Kalau begitu, biarkan aku menceritakan sedikit. Tapi janji, jangan terlalu banyak bertanya sekarang."
Luna mengangguk pelan, hatinya berdebar menunggu apa yang akan Renzo ungkapkan. Tangannya meraih jemari Renzo yang ada di atas meja, menggenggamnya dengan erat. Seolah meyakinkan bahwa Luna siap dengan segala yang akan dia dengar nanti.
.
.
Renzo terdiam, tangannya yang semula hangat berubah menjadi dingin dan berkeringat. Tapi tidak sedikit pun Luna melepaskan genggamannya.
Potongan ingatan mulai berputar di kepalanya, semua ingatan buruk itu kembali muncul. Rasa marah, sakit, kebencian memenuhi dirinya sebelum ia sanggup membuka mulut untuk menceritakan pada Luna.
Luna yang duduk di sampingnya memperhatikan perubahan ekspresi Renzo—sorot dingin yang selalu ia kenakan mulai retak, menunjukkan luka tersembunyi yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Ingatan itu datang tanpa permisi, menyeret Renzo kembali ke masa kecilnya, ke malam yang menghancurkan segala harapan yang ia miliki tentang sebuah keluarga bahagia.
.
Rumah besar itu sunyi, tetapi tidak damai. Renzo, yang kala itu baru berusia lima belas tahun, berdiri gemetar di ambang pintu kamarnya. Suara teriakan keras terdengar dari lantai bawah, disusul bunyi benda pecah yang memekakkan telinga.
"RENZO! MASUK KE KAMAR!" teriakan mamanya, Maharani, terdengar dari kejauhan.
Namun Renzo terlalu penasaran dan terlalu takut untuk tetap berdiam diri. Dengan langkah kecil dan hati-hati, ia menyelinap ke arah tangga, mengintip ke ruang tengah di bawah.
Di sana, ia melihat pemandangan yang tak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya.
Adrian, papanya, berdiri di tengah ruangan dengan wajah merah padam dan tangan terangkat tinggi. Maharani terduduk di lantai dengan pipi memerah dan darah mengalir dari sudut bibirnya. Mata Renzo membelalak saat melihat mamanya terbatuk pelan, darah menetes ke lantai marmer yang dingin.
"Apa susahnya kamu menuruti keinginanku, bahkan kamu bisa menikmati segala fasilitas ini dari mana kalau bukan dari hasil kerja kerasku!!" bentak Adrian, suaranya menggelegar, membuat tubuh kecil Renzo menggigil.
Maharani, meski terluka, menatap Adrian dengan tatapan penuh kebencian. "Tapi bukan seperti ini caranya!"
Renzo membekap mulutnya agar tidak mengeluarkan suara. Ia tahu, jika papanya tahu ia melihat ini, konsekuensinya akan fatal.
Adrian mendekat ke arah Maharani, tangannya terangkat lagi seolah akan menghantam wanita itu sekali lagi. Namun, kali ini, Maharani menangkisnya, meskipun tenaganya jauh lebih lemah.
"Kalau kau menyentuhku lagi... aku akan pergi membawa Renzo. Dia tidak akan tumbuh menjadi monster sepertimu," bisik Maharani, meski suaranya gemetar.
Adrian tertawa dingin, membungkuk hingga wajahnya sejajar dengan Maharani. "Pergi? Ke mana? Semua yang kau punya, semua yang kita punya, adalah milikku. Kau tak akan ke mana-mana."
Tubuh Adrian yang masih kuat menyeret Maharani hingga istrinya itu benar-benar kesakitan. Renzo yang tidak tahan melihat sikap papanya seketika timbul rasa keberanian. Dia mengambil vas bunga besar yang tak jauh dari pinggir anak tangga.
Melangkah turun perlahan dan....
Prang!!
Renzo memukulkannya ke kepala Adrian, saat itu juga Adrian tidak sadarkan diri dengan banyak darah yang mengalir di marmer putih rumahnya. Tubuh Renzo menggigil ketakutan, seperti tidak sadar atas apa yang sudah dia lakukan.
Maharani memeluknya dan berteriak memanggil penjaga.
.
"Hey, are you okay?" suara Luna memecah bayangan mencekam itu dari pikiran Renzo.
"Yaa," jawabnya singkat.
"Dulu papaku pernah menjadi seseorang yang mengerikan, dia pernah berbuat salah pada mamaku. Pernah menyiksanya hingga aku yakin saat itu pasti mama bertahan karena ada aku. Emosionalku sangat tidak stabil pada umur itu mengakibatkan aku juga melakukan sesuatu yang mengerikan untuk membalas papaku," terang Renzo kemudian.
Luna mendengarkan dengan ekspresi sangat serius.
"Aku memukul kepala papaku dengan vas besar dan berat, dia tidak sadarkan diri cukup lama. Aku ketakutan sampai hal itu mengganggu mentalku. But, everything it's oke for now,"
"Adalagi?"
Renzo menggeleng. "Cukup itu yang kamu tahu."
"Rupanya aku terlalu egois berpikir bahwa di sini aku yang sangat membutuhkanmu untuk melengkapi hidupku. Nyatanya, justru kamu yang lebih membutuhkanku." ucap Luna seraya memberikan pelukan hangat pada Renzo.
.