Rosa kembali ke Bandung setelah enam tahun menghindari Papa dan Rama, Kakaknya. Selain kembali beradaptasi dengan sekolah baru dan menguatkan hatinya untuk bertemu Rama, Rosa yang kaku juga dikejutkan dengan kedatangan Angkasa. Kakak kelasnya yang adalah anggota geng motor.
Perasaannya dibuat campur aduk. Cinta pertamanya, kebenciannya pada Rama dan Papa, juga rasa kehilangan yang harus kembali dia rasakan.
Bagaimana Rosa yang sulit berekspresi menghadapi semuanya?
Apakah Rosa bisa melaluinya? Apakah Rosa bisa mengembalikan perasaan damainya?
Update setiap hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noey Ismii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Yang Tidak Tergantikan
Saat Rosa membuka mata, dia merasakan sebuah tangan menepuk-nepuk punggung tangannya. Tangan kananya sendiri menggenggam sebuah tangan. Tangan yang dingin.
Sisa air mata menetes dari sudut matanya. Dia menarik napas. Menelan ludahnya untuk membasahi tenggorokannya yang kering.
“Sa, mau minum?” suara yang Rosa kenal.
Suara Rama.
Rosa mengerjapkan mata sebelum mengangguk. Dia merasakan tangan yang tadi digenggamnya melepaskan diri. Sesaat kemudian Rama membantunya duduk. Menyerahkan gelas air putih untuknya. Rosa meneguknya beberapa kali lalu menyerahkannya kembali.
Tangan Rama membawa beberapa lembar tisu untuk mengelap keringat di pelipis Rosa. Kemudian membereskan rambut Rosa yang berantakan.
“Aku ...”
“Gak apa-apa. Gak ada yang denger. Semua orang udah tidur,” Rama menjelaskan.
Papa tidur di kamar yang dipakai Rama. Dan nenek tidur di kamar Rosa. Rama sedang membereskan obat Rosa saat gadis itu kembali berteriak dalam tidurnya.
Rosa mengangguk.
“Kamu mau cerita?” tanya Rama.
Mata Rosa menatap kakaknya itu. “Apa lagi yang perlu di ceritain?” tanyanya. Suaranya serak.
“Mimpi kamu?” tanya Rama. Matanya menatap Rosa yang masih terlihat kacau.
“Seperti yang kamu tau,” jawab Rosa, tidak mau memperpanjang urusannya. Sudah terlalu banyak Rama tahu tentang mimpi buruknya ini.
Dia mengalihkan pandangan. “Aku mau tidur lagi,” katanya kemudian.
Rama mengangguk. Tidak mau memaksa.
“Tapi,” Rosa memotong.
Rama tidak jadi membantu Rosa kembali berbaring.
“Aku mau tidur sama Nenek,” lanjutnya.
Rama mengangguk, “Ayo, aku anter,” katanya.
Tangan Rosa mencengkram tangan Rama, menyangga berat tubuhnya di tangan. Rama menahan agar Rosa tidak terjatuh.
“Maaf aku ngerepotin,” bisik Rosa.
“Enggak, gak repot. Aku seneng direpotin kamu,” Rama tersenyum. Dia membawa Rosa yang tertatih kembali ke kamarnya.
Nenek tersenyum saat Rosa berbaring di sampingnya. Kemudian memeluk cucu gadisnya itu.
Rama berbalik. Menutup pintu kemudian duduk di sofa. Dia mengkhawatirkan semua hal. Rosa yang sejak siang mengurung diri dan tidak mau ikut dalam acara berdoa untuk Mama.
Rama tidak bisa mengingat dengan jelas apa yang dulu terjadi. Hanya bekas luka di pundak kirinya yang menjadi tanda. Bahwa kejadian itu memang terjadi.
Apakah karena dulu dia terlalu lama di rumah sakit?
Rama juga mengkhawatirkan nenek. Meskipun terlihat baik-baik saja, tapi Rama tetap merasa ada yang berbeda dari nenek. Nenek yang cepat lelah. Nenek yang sudah tidak kuat untuk berjalan. Mungkin efek samping dari jatuh waktu itu. Jadi sekarang hanya bisa duduk di kursi roda.
Dia sendiri tidak bisa membayangkan, bagaimana Rosa jika terjadi sesuatu lagi pada nenek. Rama yakin dia bisa bertahan, tapi Rosa. Rosa adalah kekhawatiran terbesarnya.
Dia memang tidak bisa mengingat dengan jelas apa yang terjadi dulu. Tapi Rosa menyaksikan semuanya. Rosa melihat apa yang terjadi padanya. Dan pada mama.
Rama dan Rosa memang sudah pernah terapi. Rama yang tinggal di Bandung bisa menyelesaikan sesi terapinya. Tetapi Rosa tidak sampai selesai. Papa mengira Rosa sudah kembali seperti biasa saat dia sudah mau kembali sekolah. Tapi ternyata tidak. Rosa lebih parah.
Rama menghela napas. Dia harus jadi kakak yang lebih baik lagi.
-o0o-
Waktu dua minggu berjalan dengan sangat cepat. Tapi dengan kaki bengkak dan sulit berjalan, Rosa merasa waktunya pulang semakin berat. Air matanya sudah berhenti sejak mereka berangkat pagi tadi. Tapi hidung Rosa masih terlihat merah. Dia menangis sambil memeluk nenek. Nenek yang menengkan juga ikut menangis. Papa dan Rama hanya bisa menunggu.
Mobil mereka penuh dengan oleh-oleh dari Nenek, Uwa, dan Tiara. Ada juga sayuran dari Pa RT, Rama benar-benar menjadi artis dadakan di desa. Dia sampai dikenal oleh Pak RT dan semua warga. Karena setiap pagi akan mendorong Nenek sambil jalan-jalan. Atau siang-siang ikut nongkrong di kebun-kebun warga. Atau malam kadang datang ke pos ronda.
Rama si kelebihan energi, kata Tiara sambil berbisik pada Rosa satu malam saat Tiara menemani Rosa menginap di rumah nenek. Rosa hanya mengangguk mengiyakan.
Papa juga menjadi incaran para ibu-ibu. Mereka mencoba membuat Papa menjadi menantu mereka. Nenek segera membubarkan, untuk kemudian mendapat ucapan terima kasih dari Papa.
Rosa juga bisa mendengar pertanyaan Nenek selanjutnya.
“Kenapa gak menikah lagi?”
Papa menggeleng, kemudian tersenyum. “Gak bisa, Ma, Raina yang anaknya mama udah gak ada lagi. Saya gak akan bisa kalau gak sama Raina,” jawabnya.
Rosa merasakan sensasi tertusuk saat mendengar jawaban Papa. Mama benar-benar tidak bisa digantikan siapapun, bagi siapapun.
Baginya, bagi Papa, juga mungkin buat Rama juga.
Jadi Rosa menangis tadi karena semuanya yang menumpuk. Dipicu dengan kepulangannya, ditambah sakit kakinya, dan perasaannya yang terasa pilu.
Dia juga tidak ingat kapan dia mulai tertidur, karena saat membuka mata, mereka sedang masuk garasi. Rosa mengucek matanya yang masih berat. Dia menguap, kemudian matanya menemukan Rama yang sedang berbalik melihatnya.
“Udah nyampe. Nyenyak tidurnya?” tanyanya sambil tersenyum.
“Hm,” jawab Rosa kemudian memalingkan wajah.
Papa hanya tersenyum. Kedua anaknya sudah lebih dekat. Tapi juga masih saling bertolak belakang. Rama masih dengan usilnya. Rosa masih judes. Tapi meskipun begitu Papa tersenyum dengan bahagia.
“Mau papa bantu ke kamar, Sa?” tanya Papa setelah selesai memarkirkan mobil.
“Aku mau coba jalan aja, Pa, udah seminggu lebih kok. Udah lebih baik,” jawabnya.
Rama mendengar juga, dia mengangguk. Memberi Rosa keberaniannya untuk mencoba. Tapi pagi tadi saat mengoleskan salep pereda nyerinya, kaki Rosa masih terlihat memar.
Bu Asih bergegas menghampiri mobil. Rama tersenyum memamerkan bawaanya.
“Ya ampun, Aa, ini mah bukan oleh-oleh. Kayak udah borong panen se desa,” komentar Bu Asih.
Papa tersenyum. Membukakan pintu untuk Rosa, membantunya turun. Rosa meringis saat kaki kanannya menyentuh lantai.
“Neng atuh digendong Bapak aja,” Bu Asih sudah berlutut dekat kaki Rosa. “Nanti sama Bu Asih dibikinin kompresan ya,” katanya lagi.
Rosa tersenyum, “Iya, Bu, makasih. Aku mau latihan, besok udah masuk sekolah, jadi harus bisa jalan sendiri.” Dia menarik napas panjang sebelum mulai melangkah. Tapi serbuan nyeri berdenyut-denyut langsung terasa.
Tangan Papa menahan Rosa. “Papa bantu sedikit, ya?” katanya meminta persetujuan.
Rosa yang ragu sejenak kemudian mengangguk setuju, tangannya mencengkeram lengan Papa. Selangkah demi selangkah. Rosa bergerak pelan sambil mengatur napasnya. Rasanya masih berdenyut-denyut sakit.
Papa menggenggam tangannya dengan erat. Membiarkan Rosa berpegangan dan belajar kembali menggunakan kakinya. Senyumnya mengembang melihat anak gadisnya sudah mau menerima bantuannya.
Rosa bernapas lega saat sampai di tempat tidurnya. Tangannya melepaskan pegangannya di tangan Papa. “Makasih, Pah,” ucap Rosa sambil berusaha tersenyum.
“Panggil Papa atau Rama kalau ada apa-apa, ya,” pinta Papa sebelum keluar kamar.
Rosa hanya mengangguk. Lalu berbalik dan pura-pura sibuk dengan tasnya. Dia baru bernapas lega setelah Papa meninggalkannya dan menutup kembali pintu kamarnya. Rosa mengempaskan dirinya di atas kasur, lalu ingat kalau dia harus mengabari nenek.
Dia baru akan mengeluarkan ponselnya untuk memberi kabar pada nenek, saat pintu kamarnya kembali diketuk.
-o0o-