Di sebuah negeri yang dilupakan waktu, seorang jenderal perang legendaris bernama Kaelan dikutuk untuk tidur abadi di bawah reruntuhan kerajaannya. Kutukan itu adalah hukuman atas dosa-dosa yang dilakukannya selama perang berdarah yang menghancurkan negeri tersebut. Hanya seorang gadis dengan hati yang murni dan jiwa yang tak ternoda yang dapat membangkitkannya, tetapi kebangkitannya membawa konsekuensi yang belum pernah terbayangkan.
Rhea, seorang gadis desa yang sederhana, hidup tenang di pinggiran hutan hingga ia menemukan sebuah gua misterius saat mencari obat-obatan herbal. Tanpa sengaja, ia membangunkan roh Kaelan dengan darahnya yang murni.
Di antara mereka terjalin hubungan kompleks—antara rasa takut, rasa bersalah, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan. Rhea harus memutuskan apakah ia akan membantu atau tidak.
"Dalam perjuangan antara dosa dan penebusan, mungkinkah cinta menjadi penyelamat atau justru penghancur segalanya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wati Atmaja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Usaha Perbaikan Desa Elden
Pagi itu, matahari bersinar hangat di atas Desa Elden, tetapi suasana desa masih dipenuhi kekhawatiran. Klinik darurat di balai desa tetap dipadati pasien yang berbaring lemah, menanti giliran untuk diperiksa. Meski begitu, kedatangan Rea, Magnus, dan rombongan dari Rivendale telah membawa sedikit harapan bagi warga yang sebelumnya merasa putus asa.
Di dalam klinik, Rea bergerak cepat dari satu pasien ke pasien lainnya. Tangannya yang terampil memeriksa suhu tubuh, mengoleskan ramuan herbal ke luka, dan memberikan obat-obatan untuk meredakan gejala. Magnus, di sisi lain, sibuk meracik ramuan tambahan dari tanaman obat yang dibawa dari Rivendale.
Seorang ibu muda bernama Liana mendekati Rea dengan anak kecilnya yang demam tinggi. “Lady Rea,” katanya dengan suara gemetar, “tolong bantu anakku. Dia belum makan apa-apa sejak kemarin.”
Rea berlutut di depan anak itu, menyentuh dahinya yang panas. “Dia butuh cairan dan istirahat. Jangan khawatir, kami akan merawatnya.”
Dengan hati-hati, Rea memberikan ramuan herbal untuk menurunkan demam si anak. Setelah itu, ia meminta salah satu tabib untuk mengawasi kondisinya. Ketika Liana melihat anaknya mulai tenang dan napasnya stabil, air mata kebahagiaan mengalir di pipinya.
“Terima kasih, Lady Rea. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi tanpa kalian,” ujar Liana dengan suara serak.
Di luar klinik, prajurit dari Orde Bulan Biru yang dipimpin oleh Sir Gareth memimpin distribusi makanan. Dengan pengawalan ketat, mereka membagikan bahan makanan yang dibawa dari Rivendale kepada warga desa. Sir Gareth memastikan bahwa prioritas diberikan kepada keluarga dengan anak kecil dan mereka yang paling terdampak wabah.
“Kami tahu ini tidak banyak,” ujar Sir Gareth kepada seorang petani tua yang menerima sekarung kecil gandum, “tetapi kami sedang berusaha mendapatkan tambahan bantuan. Harap bersabar.”
Petani itu mengangguk dengan penuh rasa syukur. “Kami menghargai apa yang telah kalian lakukan. Desa ini akan bangkit kembali, aku yakin.”
Melihat upaya yang dilakukan Rea dan timnya, beberapa warga desa yang masih sehat mulai ikut terlibat. Mereka membantu membersihkan irigasi dari sisa-sisa tanaman yang terkontaminasi, mendistribusikan makanan, dan bahkan mencari tanaman herbal di hutan sekitar desa.
Seorang pemuda bernama Edrin, yang sebelumnya skeptis terhadap kedatangan tim dari Rivendale, kini berdiri di tengah ladang membantu prajurit membersihkan saluran air. “Aku pikir kami sudah tidak punya harapan lagi,” katanya kepada prajurit di sampingnya. “Tapi melihat mereka bekerja tanpa henti... aku merasa malu karena pernah meragukan mereka.”
Perbaikan Klinis dan Dukungan Emosional
Di klinik darurat, Magnus berhasil meramu obat baru dari kombinasi herbal yang ditemukan di hutan dan bahan yang dibawa dari Rivendale. Ramuan itu mulai menunjukkan hasil positif, mengurangi gejala yang dialami pasien.
Rea juga meluangkan waktu untuk berbicara dengan para pasien dan keluarga mereka, memberikan kata-kata penyemangat. “Kami di sini untuk membantu. Tidak ada yang akan ditinggalkan,” katanya kepada seorang pria tua yang terbaring lemah.
Kata-kata itu menyebar di antara warga, membawa harapan baru. Mereka yang sebelumnya takut dan putus asa mulai percaya bahwa desa mereka bisa selamat dari wabah ini.
Menjelang sore, suasana di desa mulai berubah. Warga yang sebelumnya hanya menonton dari kejauhan kini mulai bergabung dalam berbagai upaya pemulihan. Anak-anak yang sudah mulai pulih terlihat bermain di dekat balai desa, tertawa kecil untuk pertama kalinya setelah berminggu-minggu penuh ketakutan.
Rea berdiri di depan klinik, melihat pemandangan itu dengan senyum kecil di wajahnya. Magnus mendekat, membawa laporan tentang pasien yang mulai membaik.
“Kita membuat kemajuan,” kata Magnus sambil menyerahkan laporan itu. “Tapi masih ada banyak yang harus dilakukan.”
Rea mengangguk. “Benar, tapi aku percaya desa ini akan pulih. Dengan kerja sama seperti ini, kita bisa melewati semua ini.”
Malam itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, Desa Elden merasakan kelegaan. Meskipun wabah belum sepenuhnya berakhir, harapan kini kembali menyala di hati setiap warganya.
Beberapa hari berlalu. Keadaan desa mulai teratasi. Desa Elden mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Akan tetapi masalah baru muncul yang membuat situasi semakin tidak terkendali. Stok bahan makanan dan obat-obatan yang dibawa dari Rivendale mulai menipis, sementara jumlah pasien yang membutuhkan terus bertambah. Para tabib bekerja tanpa henti, tetapi kelelahan mulai tampak jelas di wajah mereka.
Di dapur umum desa, tumpukan karung gandum dan bahan makanan yang sebelumnya terlihat melimpah kini hampir habis. Seorang koki desa, Marta, berdiri dengan cemas di depan rak penyimpanan yang kosong. Ia berbicara kepada salah satu prajurit yang membantu di dapur.
“Kita hanya punya cukup makanan untuk dua hari lagi,” kata Marta dengan nada putus asa. “Setelah itu, aku tidak tahu apa yang bisa kita masak.”
Prajurit itu mengerutkan dahi. “Apakah ada ladang yang masih bisa dipanen?”
Marta menggeleng. “Semua gandum terkontaminasi. Kami tidak bisa mengambil risiko menggunakan bahan itu.”
Di sisi lain desa, beberapa warga mulai memprotes. Seorang petani tua bernama Garren berdiri di depan balai desa, berbicara dengan nada kesal. “Kami sudah tidak punya cukup makanan untuk keluarga kami! Apa yang harus kami lakukan? Haruskah kami pergi dari desa ini?”
Kerumunan kecil mulai berkumpul di sekitarnya, sebagian mengangguk setuju, sementara yang lain tampak bingung.
Di tengah krisis ini, ketegangan di antara warga desa semakin meningkat. Beberapa keluarga yang memiliki sisa makanan mulai menyembunyikannya, takut harus berbagi dengan yang lain. Di sisi lain, beberapa warga yang lebih muda mulai berdebat tentang apakah mereka harus meninggalkan desa untuk mencari bantuan di kota lain.
“Kita tidak bisa hanya duduk diam di sini menunggu bantuan yang mungkin tidak pernah datang!” teriak seorang pemuda bernama Edrin di depan kerumunan warga. “Jika kita tetap di sini, kita akan mati kelaparan!”
Seorang wanita tua bernama Liana menjawab dengan nada marah. “Dan ke mana kau akan pergi? Jalan ke Rivendale panjang dan berbahaya. Kau pikir kita bisa meninggalkan keluarga kita di sini begitu saja?”
Kerumunan mulai berdebat, dan situasi hampir berubah menjadi perkelahian sebelum prajurit dari Orde Bulan Biru turun tangan untuk menenangkan mereka.
Di dalam klinik darurat, Magnus dan Rea duduk di depan meja kecil yang dipenuhi botol-botol kosong. Mereka memeriksa persediaan obat yang tersisa, tetapi kenyataan pahit tidak bisa dihindari.
“Magnus,” kata Rea dengan suara rendah, “kita hanya punya cukup ramuan untuk beberapa hari ke depan. Setelah itu, aku tidak tahu bagaimana kita bisa mengatasi pasien yang terus berdatangan.”
Magnus menghela napas dalam. “Aku tahu. Tapi tanaman herbal yang kita bawa dari Rivendale hampir habis. Kita perlu mencari sumber lokal, atau kita tidak akan bisa merawat semua orang.”
Seorang tabib muda masuk ke ruangan, wajahnya penuh keprihatinan. “Lady Rea, ada dua pasien baru di luar. Gejala mereka cukup parah. Apa yang harus kita lakukan?”
Rea berdiri, mengatur napasnya agar tetap tenang. “Kita harus memprioritaskan pasien yang gejalanya paling berat. Tapi pastikan semua orang mendapatkan perhatian, meskipun hanya dengan ramuan sederhana.”
semangat terus yaa berkarya
oh iya jangan lupa dukung karya aku di novel istri kecil tuan mafia yaa makasih