Dosa Dibalik Kebangkitan

Dosa Dibalik Kebangkitan

Anak Yang Malang

Rea adalah seorang gadis sederhana yang tinggal di tepi hutan lebat di desa Rivendale. Hidupnya dipenuhi kerja keras, mengumpulkan tumbuhan obat dan kayu bakar untuk dijual di pasar. Dengan rumah kayu kecil yang ia tinggali bersama ibunya, Amelia, mereka menjalani hari-hari yang penuh tantangan, meski hutan di sekitar mereka menyimpan legenda yang mencekam.

Pagi itu, embun masih menetes di daun-daun ketika Rea melangkah masuk ke hutan. Dengan keranjang anyaman di punggung, ia memetik daun-daun tanaman herbal yang tumbuh liar di antara semak-semak.

"Semoga ini cukup untuk dijual besok," gumamnya, mengusap keringat di dahi. Matahari belum tinggi, tetapi tubuhnya sudah terasa lelah.

Ketika Rea kembali ke rumah, ia melihat ibunya sedang menjemur pakaian di halaman. Rumah mereka, yang terbuat dari kayu cokelat tua, tampak sederhana tetapi kokoh. Jendela kecil di dinding depan dihiasi kotak bunga lavender yang menyebarkan aroma menenangkan. Di sebelah rumah, sebuah sumur tua berdiri tegak, menjadi saksi bisu perjalanan hidup mereka.

“Ibu, aku pulang!” seru Rea sambil menurunkan keranjang penuh tanaman dan kayu bakar.

Amelia menoleh dan tersenyum lelah. “Kau cepat hari ini. Cepatlah masuk dan makan. Ibu sudah menyiapkan roti lapis.”

Rea mengangguk dan berjalan menuju dapur. Setelah menyimpan hasil panennya di gudang kecil di belakang rumah, ia duduk di meja kayu yang penuh goresan. Roti lapis sederhana itu terasa seperti hidangan mewah setelah pagi yang berat.

“Ibu, besok kita akan ke pasar, kan?” tanya Rea di sela-sela gigitan.

“Iya, kita perlu menjual ini semua sebelum layu. Lagipula, persediaan tepung kita sudah hampir habis,” jawab Amelia sambil merapikan rambutnya yang mulai beruban.

Malam itu, setelah makan malam sederhana, Rea berbaring di tempat tidurnya. Ia menatap langit-langit kayu, pikirannya melayang ke berbagai hal. Hidup di desa memang tenang, tetapi terkadang terasa sunyi. Ia merindukan sosok ayahnya, Darian, yang hanya ia kenal melalui cerita ibunya.

Desa Rivendale, tempat Rea tinggal, bukanlah desa biasa. Di dalam hutan yang mengelilingi desa, terdapat sebuah legenda yang sudah berumur ratusan tahun. Konon, seorang jenderal hebat yang setia pada kerajaan dikuburkan di sana. Ia tidak benar-benar mati, melainkan tertidur, menunggu darah seorang pemberani untuk membangkitkannya kembali.

Legenda itu sering diceritakan oleh penduduk desa, tetapi Rea menganggapnya hanya sebagai dongeng belaka. Namun, setiap kali ia melangkah lebih dalam ke hutan untuk mencari tanaman obat, ia merasa ada sesuatu yang mengawasinya—seperti bayangan yang bergerak di antara pepohonan.

Amelia sering menceritakan kisah masa lalunya kepada Rea, terutama di malam-malam dingin ketika mereka duduk di dekat perapian. Biasanya, ia akan menatap api yang menari-nari, suaranya tenang, tetapi penuh emosi yang dalam.

“Ibumu ini pernah menjadi wanita yang sangat bahagia, kau tahu?” katanya suatu malam, sembari menyesap teh hangat. “Ayahmu, Darian, adalah pedagang kaya yang terkenal di Ashbourne. Saat ia melamarku, aku merasa seperti wanita paling beruntung di dunia. Kami jatuh cinta pada pandangan pertama, dan segalanya tampak seperti mimpi yang indah.”

Rea duduk di lantai, menyandarkan punggungnya ke kaki ibunya, mendengarkan dengan saksama seperti anak kecil yang mendengar dongeng.

“Tapi, kebahagiaan itu tidak bertahan lama,” lanjut Amelia, suaranya merendah. “Keluarga ayahmu tidak pernah benar-benar menerima kehadiranku. Aku hanya bangsawan tingkat rendah, sedangkan mereka adalah keluarga terpandang. Bagiku, cinta sudah cukup. Tapi, mereka memandangku sebagai noda dalam darah mereka.”

Amelia menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Ketika kau lahir, semuanya berubah. Ayahmu yang dulu penuh cinta mulai menjauh. Ia lebih sering berada di luar rumah, meninggalkan kita. Pada akhirnya, keluarganya memutuskan bahwa aku harus pergi. Mereka memalsukan kematianku agar Darian bisa menikah lagi tanpa melanggar hukum Vordania.”

Rea menggigit bibirnya, menahan perasaan marah yang mulai timbul dalam dirinya. Ia tahu ibunya selalu mencoba terlihat kuat, tetapi luka itu jelas masih membekas dalam hatinya.

“Aku tidak ingin kau mengulang kesalahan yang sama, Rea,” kata Amelia, menatap putrinya dengan mata yang penuh kasih. “Cinta memang indah, tapi kau harus berhati-hati. Jangan pernah menyerahkan dirimu kepada seseorang hanya karena janji manis. Lihatlah apa yang terjadi pada ibumu ini. Aku kehilangan segalanya hanya karena aku terlalu percaya.”

Rea menatap ibunya dengan serius. “Aku mengerti, Bu. Aku tidak akan mudah percaya kepada siapa pun. Aku janji.”

“Bagus, sayang. Ingat, seorang wanita harus menjaga kehormatannya. Jangan pernah biarkan dirimu hamil di luar nikah. Kau tahu betapa sulitnya hidup sebagai ibu tunggal. Dunia ini tidak adil bagi wanita seperti kita. Kita harus melindungi diri kita sendiri.”

Rea mengangguk, menyimpan setiap kata ibunya dalam hati. Pesan itu bukan hanya peringatan, tetapi juga pelajaran berharga dari seorang wanita yang telah berjuang melalui kesulitan hidup. Baginya, ibunya adalah simbol kekuatan, meski di balik semua itu tersimpan luka yang dalam.

 Meski hidup mereka sederhana, Amelia selalu menekankan pentingnya pendidikan dan kerja keras. Ia ingin Rea tumbuh menjadi wanita yang mandiri dan kuat, tidak seperti dirinya yang harus bergantung pada orang lain.

“Rea, ingatlah ini,” katanya suatu pagi ketika mereka sedang mengemas hasil panen untuk dibawa ke pasar. “Jangan pernah menyerahkan seluruh hidupmu pada seseorang, bahkan jika kau mencintainya. Kau harus selalu memiliki sesuatu untuk dirimu sendiri.”

Rea mengangguk. Ia tahu ibunya berkata demikian karena pengalamannya sendiri, tetapi di dalam hatinya, ia masih menyimpan harapan untuk menemukan cinta sejati—cinta yang tidak hanya memberi, tetapi juga menerima.

Pasar di desa Rivendale selalu ramai pada hari pasar. Para pedagang dari berbagai daerah datang membawa barang dagangan mereka. Rea dan Amelia menjual tanaman obat dan kayu bakar di salah satu sudut pasar.

“Daun ini bagus untuk menyembuhkan luka,” kata Rea kepada seorang pelanggan, seorang pria paruh baya yang tampak seperti petualang.

“Berapa harganya?” tanyanya.

Rea menyebutkan harga, dan pria itu membelinya tanpa tawar-menawar. Setelah itu, ia berbincang sebentar dengan Rea tentang hutan di sekitar Rivendale.

“Kau tahu, aku pernah mendengar cerita tentang jenderal yang tertidur di hutan ini. Apa kau percaya itu?” tanyanya sambil tersenyum.

Rea hanya menggeleng. “Itu hanya cerita lama. Tidak ada yang benar-benar percaya.”

Dalam mimpinya, ia melangkah di tengah hutan yang gelap, hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang samar menembus dedaunan. Udara di sekitarnya terasa dingin dan lembap. Langkahnya terhenti ketika ia melihat mulut sebuah gua yang tampak mencurigakan. Mulut gua itu dihiasi akar-akar besar yang menggantung, seolah menantangnya untuk masuk.

Dengan ragu, Rea melangkah ke dalam gua. Suara langkah kakinya bergema di dinding batu yang basah. Semakin dalam ia melangkah, udara semakin berat, namun anehnya, ia merasa ada sesuatu yang menuntunnya.

Setelah beberapa saat berjalan, Rea tiba di sebuah ruangan besar di dalam gua. Di tengah ruangan itu berdiri sebuah pohon besar yang aneh. Pohon itu bercahaya keemasan, tetapi auranya terasa dingin dan misterius. Daun-daunnya tidak seperti daun biasa; mereka berkilauan seperti kristal, dan akar-akarnya menjalar ke seluruh lantai gua, seolah menyatu dengan tempat itu.

Rea mendekati pohon itu dengan hati-hati. Ia merasa pohon itu memancarkan kekuatan yang luar biasa. Saat tangannya hampir menyentuh batang pohon, tiba-tiba, dari balik pohon itu, muncul seorang laki-laki.

Wajah laki-laki itu tidak jelas. Seolah-olah kabut mengelilingi wajahnya, menyembunyikan identitasnya. Namun, tubuhnya tinggi dan tegap. Rambutnya panjang dan berkilau seperti benang perak yang memantulkan cahaya dari pohon. Ia mengenakan pakaian kuno dengan jubah yang berkibar meskipun tidak ada angin.

Laki-laki itu tersenyum lembut, tetapi senyumnya menyiratkan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan—antara kehangatan dan bahaya.

“Kau datang,” katanya dengan suara dalam yang menggema di seluruh gua. “Aku sudah menunggumu.”

Rea tertegun, tidak tahu harus berkata apa. Ia mencoba melangkah mundur, tetapi akar pohon itu tiba-tiba merayap dan melingkari kakinya, memaksanya tetap di tempat.

“Siapa... siapa kau?” suara Rea bergetar.

Laki-laki itu tidak langsung menjawab. Ia hanya mengulurkan tangannya ke arah Rea, seolah mengundangnya untuk mendekat.

“Bukan aku yang penting, Rea,” katanya pelan.

Seketika, ruangan gua itu berubah. Cahaya dari pohon semakin terang hingga hampir menyilaukan. Akar-akar di sekitar mulai bergerak, seolah hidup, dan suara gemuruh terdengar dari dinding gua.

Rea menjerit, “Apa yang kau lakukan?!”

Laki-laki itu hanya tertawa kecil. “Aku tidak melakukan apa-apa. Semua ini sudah menjadi takdirmu.”

Rea terbangun dengan napas terengah-engah. Tubuhnya basah oleh keringat, dan hatinya berdetak kencang. Ia menggigil, meski selimut menutupi tubuhnya. Matanya liar memindai setiap sudut kamar, memastikan bahwa ia benar-benar berada di tempat yang aman.

“Ini... hanya mimpi,” gumamnya pelan, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Namun, saat ia melongok ke arah telapak tangannya, tubuhnya membeku.

Di sana, di tengah telapak tangan kirinya, ada tanda merah kecil—seperti bekas luka bakar. Bentuknya melingkar dengan pola aneh, seolah-olah ukiran kuno yang membara telah menempel di kulitnya. Rea terkejut, matanya membelalak.

“Apa ini?” bisiknya panik. Ia menggosok tangannya dengan keras, berharap tanda itu akan hilang. Namun, tanda itu tetap ada, merah menyala seperti bara api.

Tiba-tiba, tanda itu memudar perlahan-lahan, seperti tinta yang diserap oleh kulitnya. Rea hanya bisa menyaksikan dengan perasaan campur aduk antara lega dan ketakutan. Dalam hitungan detik, tanda merah itu benar-benar menghilang, meninggalkan telapak tangannya bersih seperti sebelumnya.

Namun, Rea masih merasakan sensasi hangat di tempat tanda itu berada, seperti bayangan yang tidak terlihat namun terus membekas. Ia meraih tangannya, menggenggamnya erat, berusaha memahami apa yang baru saja terjadi.

“Ini tidak mungkin hanya mimpi…” pikirnya, matanya terpaku ke arah jendela. Bulan yang sama seperti dalam mimpinya tampak bersinar redup di langit malam. Tapi kini, Rea tahu ada sesuatu yang lebih besar sedang menantinya. Sesuatu yang tidak bisa ia abaikan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!