Marriage Is Scary...
Bayangkan menikah dengan pria yang sempurna di mata orang lain, terlihat begitu penyayang dan peduli. Tapi di balik senyum hangat dan kata-kata manisnya, tersimpan rahasia kelam yang perlahan-lahan mengikis kebahagiaan pernikahan. Manipulasi, pengkhianatan, kebohongan dan masa lalu yang gelap menghancurkan pernikahan dalam sekejap mata.
____
"Oh, jadi ini camilan suami orang!" ujar Lily dengan tatapan merendahkan. Kesuksesan adalah balas dendam yang Lily janjikan untuk dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahma Syndrome, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tangan Gemetar
Pintu rumah Lily dan Isaac terbuka lebar, menyambut kedatangan Samuel dan Grace dengan hangat. Di tengah-tengah senyum lebar dan pelukan erat, ada kegembiraan yang menyelimuti keduanya saat melihat Lily yang kini tengah mengandung.
Senyum Grace begitu tulus, dia membawa kereta bayi mungil dan satu kantong penuh pakaian bayi yang lucu dan berwarna-warni. Lily memeluk ibu mertuanya dengan hangat, tersenyum senang atas perhatian mereka.
"Maaf, kita terlambat datang," ujar Samuel, mengusap pundak Lily dengan penuh sayang. "Pekerjaan di luar kota benar-benar menguras waktu. Kami senang sekali akhirnya bisa melihatmu, Lily."
“Nggak apa-apa, Pah. Lily seneng banget akhirnya Mama sama Papa bisa kesini,” jawab Lily, matanya berbinar-binar.
Martha membantu membawa hadiah masuk, sementara mereka semua berkumpul di ruang tamu yang nyaman. Lily dan Grace duduk berdampingan, sementara Samuel dan Isaac duduk di sofa seberang. Martha segera datang dengan membawa teh hangat dan beberapa muffin yang baru saja dikeluarkan dari oven.
Grace menatap Lily dengan penuh kasih. "Gimana rasanya di bulan ketiga ini, sayang? Udah mulai terbiasa?”
Lily menghela napas kecil, lalu tersenyum. "Awalnya agak berat karena sering mual dan pusing, tapi seiring waktu, udah mulai terbiasa. Isaac juga banyak bantu Lily,” ungkapnya dengan mata yang penuh cinta, menatap suaminya yang tersenyum kecil.
Grace tertawa pelan, mengingat masa lalunya. “Waktu mengandung Isaac dulu, Mama ngerasa perutnya sering keras kalo malam, terus ada tendangan kecil. Biasanya, katanya itu tanda kalau bayinya laki-laki.”
Mereka berbagi tawa, dan Grace menceritakan berbagai momen masa lalunya saat mengandung Isaac, membuat Lily merasa lebih tenang dan bahagia menghadapi kehamilannya sendiri. Namun, suasana berubah menjadi lebih serius saat Samuel memberikan isyarat pada Isaac untuk bicara di luar. Isaac mengangguk dan mengikuti ayahnya ke halaman depan.
Di bawah pohon yang cukup rindang, Samuel menatap Isaac penuh arti. "Nak, aku sungguh bangga melihat perubahan besar kamu. Kamu jaga Lily dengan sangat baik.”
Isaac tersenyum, merasa sedikit lega atas pengakuan ayahnya. "Makasih, Pah. Aku berusaha yang terbaik buat keluargaku."
Samuel meletakkan tangannya di bahu Isaac, lalu menatapnya dengan tegas. “Itu yang Papa inginkan juga buat kamu.”
“Papa mohon, jangan pernah ingat lagi masa di mana kamu… membunuh Margaret. Mulai sekarang, kamu fokus sama Lily dan bayinya.”
Wajah Isaac menegang, napasnya tertahan. Nama Margaret selalu menjadi bayang-bayang gelap dalam pikirannya, kenangan yang tidak mudah dilupakan. Rasa bersalah dan ketakutan yang sempat mereda, kini kembali muncul di hatinya.
Samuel menggenggam bahu Isaac lebih erat, menenangkan. "Anakku, yang lalu biarlah berlalu. Fokus aja sama istrimu dan anakmu. Jadikan masa lalu sebagai pelajaran, bukan beban."
Isaac mengangguk pelan, meski dadanya masih terasa sesak. "Aku akan berusaha, Pah," katanya, suaranya terdengar bergetar.
Namun, tanpa disadari oleh keduanya, Lily berdiri tak jauh dari tempat mereka berbicara. Awalnya, dia bermaksud memanggil mereka untuk makan siang, namun langkahnya tertahan ketika mendengar pembicaraan yang mengejutkan itu.
Kata-kata Samuel, tentang Isaac yang pernah membunuh Margaret, bergaung keras di telinganya, membuatnya terkejut seketika. Dunia serasa berhenti berputar, tubuhnya gemetar hebat, dan napasnya terasa sesak.
Lily terduduk di tanah, tak mampu berdiri karena lututnya yang lemas. Pandangannya berputar-putar, mulutnya terbuka, tapi tak ada suara yang keluar. Tangannya bergetar hebat saat dia mencoba mengatur napas.
Dadanya terasa semakin sesak, seperti ada beban berat yang menghimpitnya. Pikirannya kosong, namun penuh dengan perasaan tak percaya dan cemas. Tatapannya melayang ke arah Isaac, mata yang biasanya penuh cinta kini dipenuhi rasa takut dan kebingungan yang tak tertahankan.
Isaac menoleh dan melihat Lily terduduk di tanah dengan wajah pucat dan tangan yang gemetar. Dia segera berlari menghampirinya, panik melihat kondisi istrinya yang tampak begitu shock.
"Lily, kamu kenapa?" tanyanya dengan nada cemas, meraih tangan Lily yang gemetar.
Lily menatap Isaac dengan mata yang penuh kekecewaan dan ketakutan. "Isaac…apa yang Papa maksud tadi? Kamu…kamu pernah…membunuh seseorang?"
***
Setelah mendengar pembicaraan Samuel dan Isaac, Lily benar-benar terpukul. Setiap harinya, dia berjuang dengan rasa kecewa dan kebingungan yang mendalam. Lily merasa bodoh karena selama ini tidak pernah menyadari sisi gelap dari pria yang dicintainya.
Perasaan shock, kecewa, dan sedih itu menyelimuti dirinya hingga membuatnya enggan berbicara dengan Isaac. Dia hanya menghabiskan waktu tenggelam dalam pekerjaannya, membaca novel, atau duduk diam menatap kosong.
Makanan diabaikannya, bahkan nafsu makannya hilang sama sekali, membuat tubuhnya mulai tampak lelah dan kehamilannya terganggu.
Isaac berulang kali mencoba meminta maaf, merayu, dan membujuknya. "Lily, aku emang salah. Please, jangan gini terus," ucapnya dengan suara penuh harap, menatap wajah pucat istrinya. “Aku takut sesuatu terjadi pada bayi kita.”
Namun, Lily hanya menatap kosong, tidak menanggapi. Rasa sakit di hatinya terlalu mendalam, membuat mulutnya seakan terkunci rapat. Dia tidak ingin bicara, tidak ingin menjawab, bahkan sekadar melihat Isaac terasa berat.
Isaac merasa frustasi dan kehabisan akal menghadapi sikap dingin Lily. Emosinya semakin memuncak dan akhirnya dia membentak Lily dengan keras, sesuatu yang sekarang tidak pernah dia lakukan.
"Lily, aku tahu aku salah, tapi apa kamu pikir aku nggak nyesel? Apa kamu pikir aku nggak takut sama semua ini? Aku… aku khilaf!" Nada suaranya terdengar marah, frustasi, tapi juga penuh rasa sakit.
Lily tetap diam, hanya menatapnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Tatapan itu lebih dari cukup untuk membuat Isaac merasa seperti asing di hadapan wanita yang mencintainya begitu dalam. Merasa ditolak dan tak tahu harus melakukan apa lagi, Isaac meninggalkan rumah dengan hati yang hancur.
Isaac melesat pergi, membawa langkahnya ke club malam, tempat di mana dia bisa melarikan diri dari perasaan kacau di hatinya. Ketika sampai di sana, dia bertemu Calvin dan Lucas yang menegurnya dengan nada prihatin.
Mereka menyadari ada sesuatu yang salah dengan Isaac, namun belum sempat mereka bertanya lebih jauh, Lisa muncul. Lisa melangkah menghampirinya, matanya tertuju pada Isaac, mengabaikan Calvin dan Lucas yang terus mengawasinya.
Aroma parfum menyeruak, khas Lisa yang begitu menonjol. Pakaiannya minim, menampilkan betapa sempurna tubuhnya.
Calvin dan Lucas sedikit berharap jika Isaac akan menolak kehadiran Lisa. Namun mereka salah, Isaac justru beranjak berdiri dan membawa Lisa pergi.
“Isaac,” panggil Lucas dengan cepat, membuat Isaac menghentikan langkahnya sejenak.
“Jangan kasih tau ke Lily,” katanya singkat, lalu melanjutkan langkah kakinya.
Calvin dan Lucas hanya menghela napas berat, tidak tahu harus melakukan apa. Mereka tidak mungkin mengatakannya pada Lily, dan mereka juga tidak bisa mencegah Isaac.
“Aku nggak mau ikut campur urusan mereka,” ujar Lucas pada Calvin setelah kepergian Isaac beberapa menit yang lalu.
“Hm, aku juga. Kasihan Lily,” sahut Calvin dengan ekspresi iba.
biar semangat up aku kasih vote utkmu thor