Menikah dengan lelaki yang dicintai, ternyata tidak menjamin kebahagiaan, ada kalanya justru menjadi luka yang tak ada habisnya.
Seperti halnya yang dialami oleh Raina Almeera. Alih-alih bahagia karena menikah dengan lelaki pujaan—Nero Morvion, Raina malah menderita karena hanya dijadikan alat untuk membalas dendam.
Walau akhirnya ... takdir berkata lain pada skenario yang dibuat lebih awal oleh Nero.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Darah
Hari bergulir menjadi minggu. Minggu pun berjalan berganti bulan. Genap sudah dua bulan Nero pergi ke London, tanpa kabar walau sekadar lewat pesan. Hanya Norman, satu-satunya tempat Raina bertanya jika ingin tahu bagaimana keadaan Nero di luar negeri sana.
'Tuan Nero baik-baik saja. Beliau hanya sibuk, Nona.'
Jawaban yang selalu dilontarkan Norman. Bahkan, Raina sampai hafal karena memang itu kalimat utama dikatakan Norman. Entah benar atau tidak, Raina tidak sepenuhnya yakin pada pria tersebut.
Dua bulan, bukan waktu yang sebentar bagi Raina untuk menunggu. Selain rindu, ada banyak kecemasan yang mengganggu hatinya. Walau dia bisa bersikap biasa ketika berhadapan dengan kakak dan ibunya, tetapi jauh dalam hati tersirat banyak luka dan kesedihan yang mendalam.
Dia mencintai Nero. Amat sangat mencintai. Raina sangat membutuhkan lelaki itu, terlebih untuk saat ini, ketika dirinya mulai mengkhawatirkan janin dalam kandungan. Entah mengapa dalam dua bulan ini tidak ada perkembangan yang berarti. Bahkan, perutnya tidak lebih membuncit. Masih sama rata seperti dulu. Apakah anaknya tidak sehat di dalam sana? Sebuah pertanyaan yang selalu menghantui pikiran Raina.
'Tuan tidak mengizinkan Anda memeriksakan kandungan seorang diri, Nona. Tunggulah Tuan pulang.'
'Ini demi citra Tuan Nero, Nona. Apa kata orang-orang nanti jika Anda datang ke rumah sakit sendirian. Orang akan menganggap Tuan Nero tidak perhatian terhadap istrinya. Nanti bisa berpengaruh pada bisnis.'
Kata-kata Norman ketika Raina bermaksud ke rumah sakit dan memeriksakan kandungannya.
Entah sudah bodoh atau buta karena cinta, Raina patuh dengan aturan tersebut. Dia hanya memperbanyak mengonsumsi su-su dan vitamin untuk janinnya, yang ia harap akan baik-baik saja.
Jika dipikir-pikir sangat tidak adil. Di rumah Raina menanti tanpa kepastian dan dengan perasaan yang kacau tentunya. Sedangkan di lain tempat, Nero sangat menikmati waktunya. Berkali-kali dia pulang ke Indonesia meski hanya sebentar dan kembali lagi ke London. Walau disibukkan dengan pekerjaan, tetapi masih sempat juga bersantai dengan Ava. Mulai dari menikmati kuliner di Indonesia, sampai menjelajah tempat-tempat indah di Kota London. Hubungan yang cukup dekat, meski sejauh ini ... Nero selalu menolak ciuman yang ditawarkan oleh Ava.
"Nona, malam ini Tuan Nero akan pulang. Beliau baru saja tiba di bandara."
Sorot mata Raina langsung berbinar ketika mendengar ucapan Norman. Bak angin segar yang berembus di tengah pengapnya terik dan debu. Saking senangnya, Raina cepat-cepat menghabiskan makan malam dan bergegas kembali ke kamar.
"Syukurlah Om Nero pulang, jadi besok aku bisa mengajaknya ke rumah sakit," gumam Raina sambil menyapukan bedak ke wajah.
Mulai sore tadi, perutnya memang sedikit sakit. Pinggang pula sempat nyeri meski tidak terlalu. Mirip seperti ketika hendak menstruasi. Akan tetapi, mana mungkin. Dirinya saja sedang hamil. Pasti sakit dan nyeri itu karena alasan lain, dan mudah-mudahan saja bukan sesuatu yang serius.
"Jika sikap Om Nero hangat lagi seperti dulu, aku janji nggak akan mengungkit kehawatiran yang kurasakan selama dua bulan ini. Aku bisa mengabaikan semuanya, asal Om Nero balik kayak dulu," ucap Raina pada pantulan dirinya di dalam cermin. Terdengar bodoh, tetapi memang sebesar itu dirinya dalam mencintai Nero.
Usai menyapukan bedak dan lipstik, juga sedikit blush on, Raina menyisir rambutnya yang tadi digulung asal. Kali ini, ia gerai dan sekadar menambah aksesori di bagian depan. Tak lupa juga, Raina menyemprotkan parfum dengan aroma vanilla ke tubuhnya, hingga tercium aroma wangi nan manis.
"Dulu Om Nero menyukai aroma ini. Kuharap malam ini, dia juga tetap menyukainya," batin Raina.
Kebahagian kian membuncah ketika dia teringat dengan kakaknya. Tiga hari lagi Raksa menikah, pasti sangat bahagia jika Nero turut hadir di acara istimewanya. Bisa dikatakan, kepulangan Nero kali ini tepat waktu.
"Aku akan menyambut kamu, Om." Raina membatin sambil melangkah keluar, menuruni anak tangga dan menuju ruang tamu. Dia akan menunggu Nero di sana.
Karena jarak bandara dengan rumah tidak terlalu jauh, maka tak membutuhkan waktu lama bagi Nero untuk tiba kediaman mewah itu.
Menyadari kedatangan mobil yang menjemput sang suami, Raina turut beranjak. Lantas, melangkah keluar bersama Norman dan satu ART wanita.
Jantung Raina berdetak cepat ketika pintu mobil sudah terbuka. Harap-harap cemas dia menatap lelaki yang sangat dirindukan selama dua bulan ini. Wajah rupawan itu, dada bidangnya, lengan kekarnya, semua masih sama. Bahkan, suara beratnya ketika berbicara dengan Norman pun masih tak berubah. Hanya saja ... tatapan itu makin dingin dan asing bagi Raina. Membuatnya tak punya nyali untuk menghambur dalam pelukan lelaki itu atau sekadar mendekat dan bertanya kabar.
Sampai beberapa detik berlalu, Nero melangkah menuju pintu utama, diikuti Norman di belakangnya.
"Om," panggil Raina saat Nero melewatinya.
Jangankan menjawab, menoleh pun tidak, seolah suara Raina barusan hanya angin lalu yang tak ada artinya.
"Om!" Raina memanggil lebih keras. Dia masih menghibur diri, mungkin saja tadi Nero tak mendengar suaranya.
Namun, kali ini tetap sama. Nero tak acuh dan tetap fokus dengan langkahnya. Justru Norman yang menoleh dan menatap Raina sekilas, tetapi tak mengucapkan apa pun.
"Sebenarnya apa salahku, Om?" batin Raina dengan kepala yang tertunduk. Tak bisa dicegah, air mata perlahan menetes dan membasahi pipinya.
Setelah cukup lama larut dalam tangis, Raina kembali menenangkan diri. Lantas, memasuki rumah dan menyusul Nero yang ia yakini pergi ke kamar, karena kata Norman sudah naik ke lantai dua.
Sedikit mengabaikan perut yang makin sakit, Raina melangkah naik dan cepat-cepat menuju kamar.
Benar saja, Nero ada di sana. Dia sedang melepas jas dan ikat pingggang. Mungkin, hendak membersihkan diri.
"Om, kenapa harus begini?" Raina mendekat, melayangkan pertanyaan yang pelan dan sedikit gemetaran.
"Memang ini yang kumau."
Raina dibuat bingung. Dia kurang bisa mencerna ucapan Nero barusan.
"Aku nggak ngerti, Om. Tolong jelasin, sebenarnya Om Nero kenapa? Kalau aku ada salah, katakan salahku di mana, aku akan memperbaikinya, Om," ucap Raina. Sebisa mungkin tetap menatap Nero walau nyalinya sudah ciut.
"Salahmu karena terlalu percaya denganku." Jawaban yang dingin dan datar.
Lantas belum sempat Raina bertanya lagi, Nero sudah pergi ke kamar mandi. Lagi-lagi meninggalkan Raina dalam situasi yang kacau.
Tak kuasa menahan sesak di dada, akhirnya Raina memilih duduk di sofa. Dalam keadaan seperti ini, tenaga seolah menguar tak tentu arah, takutnya tak sanggup menopang berat tubuh.
"Apa seharusnya aku nggak percaya dengan kamu, Om? Lalu ... apa artinya sikap manismu dulu?" batin Raina sambil menutup wajah. Menangis sesenggukan dalam kesendirian.
Beberapa saat kemudian, Raina meringis sambil memegangi perutnya. Rasa sakit kembali kambuh, seperti dipilin-pilin. Punggung pun kembali nyeri, bahkan lebih kuat dibanding tadi. Ah, bukan itu saja, sekilas Raina merasakan sesuatu yang hangat keluar dari area intimnya.
Karena takut terjadi sesuatu dengan bayinya, Raina langsung bangkit dan bermaksud memanggil Nero. Kalaupun tidak peduli padanya, tak mungkin juga tidak peduli pada anaknya, kan? Pikir Raina.
"Hah! Darah!" Alangkah terkejutnya Raina ketika sudah bangkit dan mendapati noda merah tertinggal di sofa. Darah, jelas itu darah miliknya.
"Om! Om Nero! Om!" teriak Raina dengan histeris.
Bersambung...