Di malam satu Suro Sabtu Pahing, lahirlah Kusuma Magnolya, gadis istimewa yang terbungkus dalam kantong plasenta, seolah telah ditakdirkan untuk membawa nasibnya sendiri. Aroma darahnya, manis sekaligus menakutkan, bagaikan lilin yang menyala di kegelapan, menarik perhatian arwah jahat yang ingin memanfaatkan keistimewaannya untuk tujuan kelam.
Kejadian aneh dan menakutkan terus bermunculan di bangsal 13, tempat di mana Kusuma terperangkap dalam petualangan yang tidak ia pilih, seolah bangsal itu dipenuhi bisikan hantu-hantu yang tak ingin pergi. Kusuma, dengan jiwa penasaran yang tak terpadamkan, mencoba mengungkap setiap jejak yang mengantarkannya pada kebenaran.
Di tengah kegelisahan dan rasa takut, ia menyadari bahwa sahabatnya yang ia kira setia ternyata telah menumbalkan darah bayi, menjadikan bangsal itu tempat yang terkutuk. Apa yang harus Kusuma lakukan? mampukah ia menyelamatkan nyawa teman-temannya yang terjebak dalam kegelapan bangsal 13?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bobafc, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali Ke Bangsal
Melamar pekerjaan ibarat meniti jembatan tipis di atas jurang harapan, yang setiap langkahnya diiringi doa dan debaran hati. Bagi Kusuma, meniti jembatan itu dua kali terasa bagai dua kali pula ia harus berhenti dan berbalik arah, menundukkan diri pada alasan yang tak tertawar: ibunya yang terbaring lemah. Selviawati, sang ibu, didiagnosa kanker rahim stadium 4; bayangan umur yang kian menipis membelit hati Kusuma, membuatnya merelakan impian untuk sementara.
Dua bulan berlalu dalam kesunyian, hari-harinya diisi dengan menjaga ibunya, sementara Harjuna, sang ayah, memanggul beban hidup keluarga dengan tangannya yang kokoh, seperti batu karang di tengah hempasan ombak. Namun, Anjar Kumalasari, saudari tirinya, meledak dalam kemarahan begitu mendengar kabar kesulitan mereka.
"Anjar, kapan kamu pulang, Sayang?" tanya Harjuna, suaranya lembut tapi sarat rindu, bagai angin sore yang membawa harapan setelah seharian didera terik.
Namun, jawaban Anjar ibarat badai yang datang tanpa aba-aba.
"Yah, sudah berapa kali aku bilang, anak itu cuma bikin Ayah susah? Kenapa Ayah diam saja? Kusuma hanya memanfaatkan Ayah, jelas sekali!" Suaranya penuh bara, menembus celah-celah kasih sayang yang selama ini Harjuna coba jaga.
"Kalau kamu datang hanya untuk bertengkar, lebih baik kamu kembali ke tempatmu saja," jawab Harjuna, tenang namun tegas, seperti tebing yang kukuh di hadapan ombak yang berusaha menghantam.
"Ayah!" seru Anjar lagi, kaget sekaligus kecewa karena peringatannya tak mendapat sambutan.
Anjar akhirnya menelepon Kusuma, menyemburkan kekesalannya dengan nada yang keras, penuh rasa sebal yang tak tertahankan. Di seberang telepon, Kusuma hanya terdiam, mencoba mencerna amarah yang seolah dibenturkan ke dadanya tanpa henti.
Meski kata-kata Anjar bagai duri yang menghujam, Kusuma tetap diam; rasa hormatnya pada sang ayah yang selalu berlaku adil tak membuatnya goyah. Bagi Kusuma, Harjuna adalah sosok yang tak pernah membeda-bedakan anak, meski darah yang mengalir dalam diri mereka tak sepenuhnya sama. Kusuma memilih berbalas budi, bukan beradu argumen, meski di hatinya, sayatan luka kecil terasa setiap kali ia menghadapi ketidaksukaan Anjar.
“Bu, apa yang harus aku lakukan?” bisik hatinya sambil menatap ibunya yang terlelap.
Semalaman Kusuma tak tidur, hatinya dilanda gelisah, memikirkan pilihan yang seakan berbenturan—tetap menjaga ibu atau mengejar pekerjaan? Sampai akhirnya, sebuah harapan muncul ketika Bilqis, temannya, membawa kabar baik lewat telepon.
“Kata Dokter Lista, kamu bisa mulai bekerja langsung, Kusuma.” Ujar Bilqis, suaranya penuh semangat di seberang telepon.
Kusuma merasakan angin segar mengalir dalam dadanya. Tanpa menunggu lama, ia menyampaikan kabar itu kepada Harjuna, dengan harapan sang ayah setuju untuk berhenti bekerja dan fokus pada ibu.
“Bekerjalah, Nak. Jangan khawatirkan kami, ibumu biar Ayah yang urus,” kata Harjuna dengan ketenangan yang tak tergoyahkan, meski matanya menyimpan kelelahan.
“Tapi, Pak, bagaimana kalau aku cari seseorang untuk menjaga Ibu? Gajinya biar Kusuma yang tanggung,” Kusuma menawarkan solusi sambil berharap bisa sedikit meringankan beban ayahnya.
Harjuna terdiam sejenak, merenung, lalu akhirnya mengangguk dengan senyum yang lembut tapi penuh arti. Itu adalah persetujuan yang berarti, seolah mereka bersama-sama membuka lembaran baru di tengah badai ujian yang tak kunjung reda.
Beberapa hari kemudian, Kusuma tiba di Rumah Sakit Dokter Lista. Rumah sakit itu terasa sunyi, hanya suara sepatu yang bergema di lantai yang dingin seolah menjadi musik yang menemani langkahnya. Cuaca begitu menusuk, dinginnya bagaikan jarum-jarum halus yang membuat jari-jemarinya nyaris membeku, sulit ia gerakkan.
"Bilqis!" panggil Kusuma, suaranya penuh kelegaan. Tanpa ragu, ia berlari kecil dan memeluk sahabatnya erat, hangat di tengah hawa dingin yang menyelimuti.
"Akhirnya kamu datang juga, Kusuma!" Bilqis tersenyum lebar, matanya berbinar seperti menemukan kembali cahaya yang lama hilang. Kini, mereka bisa bersama lagi di “rumah bunga,” tempat yang pernah mereka huni bersama Agvia, kini hanya ditempati mereka berdua.
"Kusuma, Mbah Renggani sempat mencarimu beberapa hari lalu. Kebetulan saat kamu menelepon, beliau langsung memintamu bekerja di sini," Bilqis mengingatkan.
"Baiklah, nanti aku akan menemui beliau," jawab Kusuma, sambil merapikan pakaiannya yang mulai berantakan akibat perjalanan panjang.
Usai membereskan kamar, Kusuma berjalan menuju ruangan Dokter Lista. Setiap lorong yang dilalui diamatinya dalam-dalam; bayangan masa lalu dan cerita-cerita lama berkelebat di sudut-sudut dinding. Rumah sakit itu masih sama, seperti lautan tenang yang kadang menyembunyikan arus deras di bawahnya, sepi namun sarat akan kisah.
"Sudah datang kamu?" tanya Dokter Lista, sosok yang tak berubah, tersenyum hangat bagai lampu di tengah temaram lorong.
"Alhamdulillah, Dok," Kusuma membalas dengan senyuman, hati kecilnya terasa tenang kembali.
"Bilqis akan bekerja di shift pagi, sementara kamu malam. Apakah kamu sanggup?" suara Dokter Lista terdengar tegas namun penuh perhatian.
"Baiklah, Dok!" Kusuma menjawab mantap, seolah dirinya telah menjadi lilin yang siap menyala di tengah malam untuk menerangi setiap jiwa yang membutuhkan kehadirannya.
Hari pertama Kusuma bekerja terasa bagaikan melangkah ke dalam hutan yang sunyi, tanpa jejak langkah orang lain. Tak ada satupun pasien yang datang, bahkan untuk rawat jalan. Suasana dingin dan sepi mengusik ketenangan batinnya, membuat bulu kuduknya meremang seperti daun kering yang tertiup angin malam.
Dari kejauhan, tampak sosok seorang wanita tua berdiri di depan pintu utama, tersenyum seolah ia adalah cahaya di ujung terowongan gelap.
"Mbah Renggani!" teriak Kusuma, pelipur lara di antara sepinya hari.
"Akhirnya kamu datang, Nduk!" jawab Mbah Renggani, suaranya hangat bagaikan sinar matahari yang menyusup ke celah-celah pepohonan.
"Iya, Mbah!" Kusuma mendekat, pelukannya hangat dan penuh kasih, seakan menyalakan api harapan di hati yang dingin.
"Suwun, ya, Nduk! Kamu sudah datang lagi kemari. Setidaknya kamu yang akan bisa membantu Mbah dan Dokter Lista nantinya," kata Mbah Renggani, matanya berkilau seperti bintang yang berusaha bersinar di malam yang gelap.
"Bantu apa?" tanya Kusuma, penasaran.
"Nanti kamu akan tahu sendiri. Ikutlah bersamaku!" ajak Mbah Renggani, nada suaranya mengandung misteri.
"Tapi depan kosong, Mbah," Kusuma menjawab, keraguan melingkupi hatinya seperti kabut tebal yang menyelimuti pagi.
"Gak papa, Nduk. Mereka akan pencet bel nantinya."
Menyusuri lorong rumah sakit yang remang-remang, hanya diterangi lampu kuning yang menggantung lemah, Kusuma melangkah dengan penuh keraguan, setiap langkahnya terasa bagaikan memasuki dunia yang asing.
"Tunggu di sini, jangan kemana-mana walaupun kamu melihat sesuatu," pesan Mbah Renggani, menatapnya dalam-dalam seolah ingin menancapkan peringatan itu ke relung hatinya.
"Simbah mau ke mana?" tanya Kusuma, cemas.
"Aku mau bertemu Dokter Lista sebentar!" jawabnya.
Tak berselang lama, Kusuma melihat sosok misterius dari dalam bangsal yang ada di hadapannya, bangsal empat. Rasa penasaran tak bisa Kusuma tahan, seolah menariknya seperti magnet. Ia berdiri dan mendekati ruangan tersebut. Setibanya di ruangan, ia mendapati hanya kekosongan, tidak ada satupun penghuni di sana, meski sebelumnya ia melihat penampakan.
Sesaat kemudian, cairan hangat mulai menetes di dahinya, seperti embun pagi yang tidak diundang. Perlahan, Kusuma mendongak ke atas, dan jantungnya seakan berhenti berdetak. Darah menetes dari sosok makhluk tanpa rupa, wajahnya berlumuran darah segar, memancarkan aura yang mengerikan.
“Ya Tuhan.. apa itu?” pikirnya, ketakutan menyusup ke dalam relung hatinya.
Dalam kegelapan bercahayakan rembulan, sosok itu terlihat jelas; rambut panjangnya bergelayut di plafon ruangan, seolah makhluk itu adalah bayangan yang terperangkap di antara dunia nyata dan dunia lain. Perlahan, sosok itu memperlihatkan wajahnya pada Kusuma—wajah yang rusak dan busuk, dipenuhi darah kental berwarna hitam yang bercampur belatung hidup. Matanya melesak, seolah menatap langsung ke jiwanya, dan Kusuma terdiam kaku, terjebak dalam ketakutan yang memekakkan telinga.
Tiba-tiba, suara teriakan dari rumah bunga menggema seperti dentuman petir di langit cerah, menyentak Kusuma dari lamunannya. Tanpa menunggu Mbah Renggani tiba, dia berlari menuju rumah bunga, jantungnya berdegup seperti genderang perang yang memanggilnya untuk bertindak.
"Bilqis. Ada apa?" serunya, suara ketakutan dan kepanikan terjebak di kerongkongannya.
Kusuma yang awalnya terkejut berusaha untuk tetap tenang, melangkah ke belakang rumah dengan tatapan tajam setajam silet, matanya tak henti-hentinya mengamati kejadian di hadapannya. Saat tiba di lokasi, ia terdiam, ingin rasanya dia menangis, namun gelak tawa juga ingin meledak dari bibirnya.
Di hadapannya, sebuah fenomena yang mengejutkan dan membahenol: Bilqis terjatuh dengan punggungnya menghantam coran septic tank, yang hancur berkeping-keping seperti hati yang remuk ditinggal kekasih.
"Hebat... baru kali ini aku melihat manusia dengan tulang belakang sekuat itu, mampu menjebol gawang sepitenk," pikirnya sambil menahan tawa.
"Kusuma, kamu ini bukan membantu, malah menertawakan," keluh Bilqis, menyadari situasinya yang memalukan.
Setelah membantu Bilqis bangkit dari “kekacauan” tersebut, Kusuma pamit dan berlari menuju bangsal empat, tempat terakhir ia berdiri menunggu Mbah Renggani. Kakinya melangkah menyusuri koridor rumah sakit, langkahnya penuh ketegangan, bagaikan seorang detektif yang menyelidiki misteri yang belum terpecahkan.
Langkahnya terhenti ketika melewati toilet umum di sampingnya. Dari dalam, terdengar gemercik air, menari-nari di telinganya. Perlahan, jemarinya menyentuh knop pintu, dan pintu itu terbuka dengan suara kreekk yang memecah keheningan.
Kosong! Tidak ada siapapun di sana. Kusuma menghela napas lega dan menutup pintu itu kembali. Namun, betapa terkejutnya dia saat berbalik, senyum sumringah khas Mbah Renggani sudah menantinya, seakan-akan sosok itu adalah bintang yang muncul di tengah malam yang kelam.
"Aduh, Mbah, bikin aku kaget saja. Untung belum aku pukul dengan senter," ucap Kusuma kesal, meskipun senyum tak bisa dia sembunyikan.
Mbah Renggani hanya tersenyum dan melihat pintu toilet itu, tatapannya tajam seperti mata elang.
"Kenapa kamu di sini? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya, mencermati gerak-gerik Kusuma dengan ketelitian seorang guru.
"Tidak. Tadi ada suara gemercik air dari dalam. Aku penasaran, dan kubuka. Namun, hasilnya kosong," jawab Kusuma sambil mengangkat bahunya, menghindari tatapan tajam Mbah Renggani.
Mbah Renggani hanya menghela nafas, menahan kekhawatiran. Dia merengkuh bahu Kusuma, menatapnya dengan tatapan penuh makna.
"Lain kali, jika mendengar suara aneh, jangan langsung dicari sumbernya, ya. Apalagi kalau suara panggilan hanya sekali. Itu bisa saja hanya untuk mengganggumu saja," nasihatnya, nada suaranya mengandung bijak.
Kusuma pun tersenyum dan mengangguk, memahami pesan yang tersirat dalam kata-kata Mbah Renggani.
"Mbah, mau ke mana?" tanyanya heran, melihat senyuman Mbah yang tidak seperti biasanya.
"Sudah, ayo, ikuti Mbah!" jawab Mbah Renggani, semangatnya membara seperti api unggun yang tak kunjung padam.