Eila Pertiwi tidak pernah membayangkan seorang Max William Lelaki Famous di Sekolahnya yang menjadi incaran banyak Gadis, tidak ada hujan atau badai tiba-tiba menyatakan perasaan padanya, padahal mereka tidak dekat sama sekali.
Namun di sisi lain, kehidupan Max William yang dianggapnya sebagai 'konglomerat manja yang hanya bergantung pada orang tuanya' ternyata jauh dari ekspetasi-nya, Lelaki itu selama ini memiliki banyak rahasia dan luka nya yang selama ini ditutupi dengan rapih.
"Gue, kan, udah bilang. Semua hal tentang Lo, Gue tau."
"Suapi, Eila.."
"Jangan coba-coba Eila. Lo cuman milik Gue, faham?"
"Gue bakal buat pelajaran siapapun yang berhasil curi senyuman manis Lo."
"Because, you are mine." Max meniup telinganya, "Cuman Gue yang boleh liat. Faham, Cantik?"
Semua ini tentang Max William dan segala sikap posesif dan manjanya yang seiring waktu membuat pertahanan Eila Pertiwi runtuh, dia terjebak dalam semua skema rangkaian yang dibuat Lelaki Berandalan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon oviliaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketakutan terbesar
Rawat inap nomor 57 itu terdengar hening tanpa suara, Gadis yang terbaring di brankar dengan selimut yang membalut dari ujung kaki hingga batas perutnya yang tertutupi baju pasien.
Jam menunjukkan pukul 02:32 Malam. Farel, Elang jatuh terlelap di Sofa panjang yang disediakan, sedangkan Rega terpaksa pulang karena esok hari Lelaki itu akan menghadapi Sidang.
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, Lelaki dengan perawakan kekar itu perlahan membuka pintu dan melangkah masuk.
Lelaki itu mendekat ke brankar pasien. Memandangi Gadis yang masih setia memejamkan matanya itu, di punggung tangan kirinya tertancap jarum infus.
Tangannya perlahan menyentuh permukaan wajah Eila dengan begitu lembut dan penuh kehati-hatian seakan Gadis itu akan rapuh.
Rindu bercampur sedih membuncah, dua hari pasca kejadian itu Eila belum juga sadar dan selama itu pun Farel, Rega dan Elang tidak mengizinkan Max untuk melihat Gadisnya.
Tapi mereka tidak tau kalau tengah di malam seperti ini, Max akan datang ke ruang rawat inap 57 bak seorang Pencuri hanya untuk dapat bisa melihat Eila.
Dalam keadaan gelap tanpa penerangan hanya cahaya bulan dari gorden jendela Rumah Sakit yang sengaja tidak di tutup itu menerpa wajah cantik Gadis yang masih enggan untuk membuka mata itu.
Entah mimpi apa yang membuat Gadisnya itu tidak kunjung membuka matanya. Atau apakah Eila membencinya? Hingga melihat wajahnya saja Gadis itu tidak mau.
Namun Max juga sadar jika seandainya Eila sudah sadar dari tidur panjangnya itu dan mengetahui fakta kalau Kecelakaan yang merenggut Orang Tuanya itu di sebabkan oleh Lelaki yang di mata umum merupakan Ayahnya sendiri,
Eila pasti tidak akan mau menemuinya lagi dan memupuk kebencian padanya.
Tapi yang seharusnya Gadisnya itu tahu, sejak awal pertemuan mereka, di saat itulah jantungnya berdegup dengan kencang.
Awalnya Max tidak lagi mempercayai Cinta ketika tepat di hari pemakaman Ibunya, Dio dengan wajah santai merangkul Gadis yang jauh lebih muda darinya ke Mansion.
Apalagi itu tentang Love at first sight yang dianggap sebagian orang merupakan Mitos.
Tapi begitu tatapannya tidak sengaja terpaut dengan hazel kecoklatan yang jernih dan seulas senyum manis yang terbentuk di bibir mungilnya, membuat jantung Max serasa akan meledak.
Sejak hari itu, Max mengalaminya sendiri. Bagaimana Ia dibuat tergila-gila pada Gadis yang selalu memasang raut wajah kesal padanya itu.
Ketika Max mencoba mengetahui seluk-beluk Gadis yang berhasil memenangkan hatinya itu, Ia segera mengetahui kalau Ayah dari Eila merupakan seorang Karyawan Dio di salah satu anak Perusahaan di Indonesia.
Ayah Eila merupakan satu dari sekian banyaknya orang yang mengetahui Bisnis Gelap yang dimiliki Dio dan berniat melaporkannya setelah mengumpulkan banyak bukti konkret.
Sebelum hal itu terlaksana, rencananya terendus oleh Dio. Hingga malam itu, saat hujan deras mengguyur Kota, Mobil yang ditunggangi oleh Orang Tua Eila terguling.
Sesuai yang diinginkan oleh Dio. Kecelakaan itu sudah dimanipulasi dan sebelum Mobil itu terguling, ke dua Orang Tua Eila sudah terbunuh oleh peluru dari sniper yang dibayar mahal oleh Dio.
Max seharusnya sudah dapat menerima kenyataan ini, kalau; Bangkai yang sengaja ditutup-tutupi akhirnya tercium juga baunya.
Gadisnya pasti begitu membencinya sebesar Max mencintainya.
Meski Max begitu takut menerima tatapan penuh kebencian dari Gadisnya itu, Ia tidak mengharapkannya untuk terus memejamkan mata.
Lebih baik Gadis itu membencinya setengah mati sampai ingin membunuhnya, daripada menghukumnya dengan cara ini.
Sesak sekali rasanya, andai Max bisa menggantikan posisinya. Lebih baik dirinya saja yang berada di posisi Eila, atau lebih baik mati saja.
Max tidak perduli itu. Karena alasannya masih bisa tahan meski di peralat oleh Dio dan terus-menerus dihantui rasa bersalah atas kematian Dayana, adalah Eila.
Perlahan Max membawa tangan Eila yang terbebas dari infus itu untuk di genggamannya, membuainya dengan usapan selembut mungkin.
Cup!
Max mengecup lembut punggung tangannya, memejamkan mata meresapinya.
Rasa takut itu datang.
Untuk pertama kalinya Max merasa takut. Takut akan kehilangan Gadisnya.
"I love you very much, Sleeping Beauty... Wake up, do you need me to kiss you first?"
****
Wajah yang biasanya di balut make up tebal itu kini tidak lagi berbentuk, bercak darah dimana-mana dengan luka sayatan panjang. Pakaian branded yang dipakainya itu nampak kotor dan lusuh.
Ringisan lirih tidak henti-hentinya keluar dari bibir yang sebelumnya di poles lipstik terbaru dari Dior itu, batas kesadarannya menipis tapi sayup-sayup Ia dapat mendengar pintu terbuka.
Derap langkah kaki seseorang membuat Ia berusaha keras untuk tetap terjaga.
"Gimana? Lo betah disini, 'kan?" Ujar Lelaki itu disusul tawa lepas.
"Iblis.." Lirih Gadis itu.
Seketika suara tawa yang memenuhi seisi ruangan pengap minim pencahayaan itu mendadak terhenti.
"Gue cukup tersanjung. Oh ya! sebagai balasan atas pujian Lo itu, Gue bawain temen-temen Lo. Supaya Lo nggak kesepian disini. Gimana, baik 'kan Gue?" Ujar nya, berbanding terbalik dengan perkataan yang dikeluarkannya, wajahnya datar tanpa ekspresi.
"Bawa kemari sampah-sampah itu!" Serunya, pintu terbuka kencang menampilkan Empat Gadis dengan kondisi serupa yang di seret paksa oleh beberapa Lelaki dengan jas formal hitam.
Begitu di biarkan teronggok di dekat kakinya, salah satu dari mereka memegangi kaki Lelaki itu dengan wajah penuh sesal.
"M-max, Gue m-minta maaf.. Gue bakal serahin apapun.. T-termasuk tubuh Gue, s-supaya Lo bisa biarin Gue lepas." Ucap Gadis itu penuh permohonan, berharap Max dapat membiarkannya lepas dari semua siksaan ini.
Max mengernyit jijik, menghempaskan cengkeraman tangan Gadis itu yang menurutnya sangat kotor dari kakinya itu.
"Tidak punya malu."
Mood nya langsung anjlok mendengar kata-kata menjijikkan Gadis yang begitu diagung-agungkan Zenith High School itu.
"Enyah kan dia!"
Mendengar titahnya, beberapa Lelaki dengan setelan Jas formal hitam itu mendekat, menariknya keluar dari ruangan itu dengan tangisan tersedu.
"L-lo mau bawa Mutia k-kemana, brengsek!?" Ujar Vanya.
Max menatapnya dengan wajah tanpa merasa bersalah. "Bukannya dia ingin menyerahkan tubuhnya?"
"Dia b-bakalan diperkosa?!" Tanya Via dengan nada tidak terima. Bukannya khawatir dengan nasib Temannya itu, Ia lebih tidak rela pada Temannya yang akan merasakan menyentuh tubuh Max.
Max menyeringai. "Kenapa? Lo mau juga, digilir 30 Bodyguard Gue."
Mendengarnya, mereka semua yang berada di ruangan itu sontak mengakui kalau Lelaki itu benar-benar Iblis.
Langkah lebar Max tertuju pada Sofa single yang berada tepat di sudut ruangan. Dengan wajah tidak menunjukkan emosi, Lelaki itu mendudukkan diri.
"Lanjut, 'kan." Interupsi nya itu langsung dapat dimengerti oleh Bodyguard yang berjaga.
Mereka yang ada di sana dengan cekatan menarik mereka kembali menuju ruangan yang dipersiapkan untuk penyiksaan yang berlanjut.
"L-lepasin Gue! Hiks.. Gue mau pulang." Thalita menangis tersedu-sedu, meronta-ronta dengan tubuhnya yang sudah kaku karena cengkraman kuat pada tali, mengabaikan lukanya yang akan semakin sakit.
Perlawanan mereka hanya ditatap dengan wajah tanpa emosi oleh Max, brandy snifter glass dalam genggamannya yang terisi Wine di goyangkan pelan.
"Ini belum seberapa, dengan niat kalian yang ingin membuang Gadisku ke Jurang." Ujarnya dingin.
Selamat ya author..
👍👍👍👍👍
👏👏👏👏👏
♥️♥️♥️♥️♥️
musuh siapa yaa
Lanjut author 💪💪💪💪💪
♥️♥️♥️♥️♥️
😘😘😘😘😘
♥️♥️♥️♥️♥️