Hidupku mendadak jungkir balik, beasiswaku dicabut, aku diusir dari asrama, cuma karena rumor konyol di internet. Ada yang nge-post foto yang katanya "pengkhianatan negara"—dan tebak apa? Aku kebetulan aja ada di foto itu! Padahal sumpah, itu bukan aku yang posting! Hasilnya? Hidupku hancur lebur kayak mi instan yang nggak direbus. Udah susah makan, sekarang aku harus mikirin biaya kuliah, tempat tinggal, dan oh, btw, aku nggak punya keluarga buat dijadiin tempat curhat atau numpang tidur.
Ini titik terendah hidupku—yah, sampai akhirnya aku ketemu pria tampan aneh yang... ngaku sebagai kucing peliharaanku? Loh, kok bisa? Tapi tunggu, dia datang tepat waktu, bikin hidupku yang kayak benang kusut jadi... sedikit lebih terang (meski tetap kusut, ya).
Harapan mulai muncul lagi. Tapi masalah baru: kenapa aku malah jadi naksir sama stalker tampan yang ngaku-ngaku kucing ini?! Serius deh, ditambah lagi mendadak sering muncul hantu yang bikin kepala makin muter-muter kayak kipas angin rusak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Souma Kazuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 27. Tersedot dalam Kegelapan
Arham berdiri di atas tebing gelap yang dipenuhi reruntuhan, mengawasi para kawanan hantu burung gagak yang terbang mengitarinya dengan keheningan yang mencekam. Tanpa peringatan, dia menerjang ke arah mereka, mencengkeram salah satu dengan tangan besarnya dan meremukkannya tanpa belas kasihan. Jeritan kesakitan bergema di mana-mana, membuat yang lain kocar-kacir.
“Sialan! Mengapa kau melakukan ini pada bangsamu sendiri?” teriak salah satu hantu gagak yang berhasil lolos, menatap Arham dengan penuh rasa takut dan ketidakpercayaan.
“Bangsaku?” Arham menyeringai sinis, matanya berkilat dingin. “Jangan salah paham. Aku tidak pernah memandang kalian lebih dari sekadar cadangan makanan. Kalian hanyalah sampah yang ditinggalkan untuk dimangsa oleh yang lebih layak. Dan aku… adalah predator puncak yang punya hak eksklusif menikmati segalanya.”
Dengan satu gerakan cepat, dia mencengkeram hantu gagak terakhir yang berani melawannya. Sebelum dimangsa, hantu itu mengutuk Arham dengan suara serak, “Semoga kau celaka! Semoga kau mati mengenaskan, seburuk-buruknya!”
Arham hanya tertawa bengis, suara tawanya serupa guntur yang mengguncang malam. “Celaka? Mati? Tidak ada yang bisa menyentuhku di dunia ini. Aku tidak terkalahkan.”
Setelah menelan sisa mangsanya, Arham mengusap bibirnya yang penuh darah dengan punggung tangannya dan menatap ke kejauhan, matanya menyipit tajam. “Carlos…” gumamnya, mengingat pertemuan mereka sebelumnya yang berakhir tidak sesuai rencananya. “Dulu aku lengah, terlalu meremehkanmu. Bertarung denganmu tanpa persiapan adalah kesalahan. Tapi kali ini akan berbeda.”
Arham menggenggam udara, seolah meremas bayangan Carlos di dalam genggamannya. “Kali ini, akan kupastikan kau tenggelam dalam keputusasaan yang terdalam. Dan ketika kau kehilangan anjing penjagamu itu—Ruri—akan kunikmati kau dalam keadaan yang ternikmat. Aku akan menyantapmu, menyerap semua sensasi manis yang dihasilkan oleh penderitaanmu.”
Tawanya kembali menggema, liar dan kejam, seperti suara kematian itu sendiri. Dengan setiap jeritannya, kegelapan terasa semakin tebal, dan hawa dingin yang mematikan menyebar, membuat setiap makhluk di sekitarnya menggigil ngeri. Tidak ada ampun dalam hatinya, tidak ada ruang untuk belas kasihan.
___
Ruri duduk di atas pasir putih pantai Selong Belanak, matanya memandang cakrawala yang tenang. Carlos duduk di sebelahnya, memperhatikan Ruri yang tampak serius berpikir.
"Pantai ini luar biasa indah," ujar Ruri sambil memutar-mutar cendol di tangannya, "tapi kenapa kalah saing dengan Bali, ya?"
Carlos mengangguk, mendengarkan dengan cermat. "Ya, banyak wisatawan yang lebih memilih Bali. Padahal, Lombok punya potensi besar."
Ruri berpikir sejenak, lalu berbicara lagi, kali ini dengan nada yang lebih analitis. "Masalahnya mungkin infrastruktur. Akses ke pantai-pantai Lombok masih belum sebaik Bali. Selain itu, fasilitas wisata di sini juga kurang. Bali unggul karena wisata kuliner, budaya, dan hiburan malamnya lebih berkembang."
Carlos merespons cepat, "Betul. Kalau fasilitas di sini ditingkatkan, terutama transportasi dan akomodasi, pasti wisatawan akan lebih tertarik."
Ruri tersenyum, puas dengan analisis mereka. "Jadi, solusinya adalah pemerintah harus fokus memperbaiki infrastruktur dan memperkenalkan paket wisata terpadu. Kalau bisa, tambahkan juga event-event budaya yang unik, seperti festival musik tradisional yang melibatkan masyarakat lokal."
Carlos mengangguk antusias. "Dan promosikan di media sosial! Dengan strategi marketing digital yang tepat, pantai ini bisa jadi destinasi internasional."
"Persis!" Ruri menatap Carlos penuh semangat. "Kamu selalu tahu cara menambah detail yang tepat."
Carlos tersenyum, puas telah membantu.
Ruri dan Carlos sedang duduk di tepi pantai, asyik berdiskusi tentang potensi pengembangan pariwisata di Lombok. Mereka tampak fokus, namun tiba-tiba terdengar suara langkah mendekat. Saat Ruri menoleh, ia melihat Akasha dan dua orang lainnya—Antonio dan Saveina—berjalan ke arah mereka, diikuti oleh sembilan asisten profesional yang terlihat siap dengan peralatan penelitian mereka.
“Eh, kalian di sini!” sapa Akasha dengan nada ceria, membuat Ruri dan Carlos menghentikan pembicaraan mereka. Akasha melambaikan tangan, sementara Antonio dan Saveina menganggukkan kepala dengan ramah.
“Ini Antonio dan Saveina,” Akasha memperkenalkan kedua temannya yang berdiri di sampingnya. Antonio adalah pria tinggi dengan rambut cokelat gelap, sementara Saveina, dengan postur yang elegan, tersenyum lembut. Mereka terlihat sangat siap dan percaya diri dengan segala yang telah dipersiapkan di belakang mereka.
Setelah menyapa, Akasha dengan cepat bertanya, “Kok kamu misah sendiri, Ruri? Kenapa nggak gabung sama kita aja? Di sini banyak hal yang bisa kita diskusikan bareng-bareng.”
Ruri menatap Akasha dengan kebingungan. “Bukannya ini tugas mandiri? Dan kita juga saingan, kan? Bahaya kalau ide kita bocor ke lawan. Kamu sendiri nggak masalah kalian bertiga selalu bersama? Kalau ide kalian bocor gimana?”
Akasha hanya tersenyum santai. "Nggak apa-apa. Aku, Antonio, dan Saveina sudah sahabatan sejak kecil. Kita saling sepemikiran, dan lebih nyaman kalau berdiskusi bersama. Saling sharing itu justru membantu kami memahami masalah lebih baik. Tentu saja, solusi untuk masalahnya tetap disimpan masing-masing, jadi nggak ada yang bocor."
Ruri masih ragu, tapi ia hanya mengangguk pelan. "Tapi tetap saja... itu kan cukup berisiko," gumamnya pelan.
Akasha hanya mengangkat bahu santai, seolah berkata, "Ini cara bertarung kami. Mungkin berbeda dengan caramu."
Sementara itu, suasana menjadi lebih ringan ketika Antonio mulai membuka percakapan. Dengan penasaran, dia bertanya, "Jadi, Ruri, kamu sudah nemu solusi untuk masalah pariwisata di Lombok? Aku penasaran, sih, mengingat kamu kelihatannya cerdas banget."
Ruri tersenyum canggung, sedikit bingung dengan pujian tiba-tiba itu. “Belum sih, aku masih dalam tahap pengamatan.”
Di saat yang sama, Saveina yang berdiri di samping Antonio tampak tertarik pada Carlos. “Carlos, ya? Kamu asisten Ruri, kan? Bagaimana rasanya bekerja sama dengan Ruri?” tanyanya, matanya memancarkan ketertarikan yang tulus.
Carlos menatap Saveina dengan pandangan tenang. “Ruri adalah orang yang sangat cerdas dan pekerja keras. Aku belajar banyak dari dia.” Senyumnya tipis namun penuh arti, membuat Saveina terkesan.
Sementara obrolan berlangsung, di belakang Akasha, Nona Kiwil—hantu monyet yang selalu menempel pada Akasha—tampak memperhatikan Carlos dengan tatapan kasihan. Dengan nada menyindir, ia berbisik pada Carlos, meski tak ada yang bisa mendengarnya kecuali Carlos sendiri. “Dasar kasihan, makhluk gaib jatuh cinta sama makhluk nyata. Lihat dirimu sekarang, sekarat dan tetap keras kepala. Betapa bodohnya kalau kamu terus seperti ini.”
Carlos, yang mendengar suara Nona Kiwil, hanya mencoba mengabaikan ucapan itu. Dia tahu kondisinya tidak sepenuhnya pulih, tapi dia tidak ingin memperlihatkan kelemahannya di hadapan Ruri dan yang lain.
Tiba-tiba, Antonio memecah suasana dengan sebuah pernyataan yang membuat Ruri dan Carlos mengerutkan kening. “Oh, ngomong-ngomong, terakhir kali aku baca komentar netizen, itu aku sama sekali nggak marah, aku justru mendukung."
Antonio melanjutkan, "Aku juga selalu heran bagaimana Caesar dan Daniel bisa sampai ke 12 besar waktu itu. Kamu tahu mereka? Kami pernah satu sekolah pas SD dan SMP, dan mereka berdua itu terkenal sebagai pembuli.”
Ruri yang semula tenang, mendadak terlihat serius mendengar hal ini. "Pembuli?" gumamnya, tidak menyangka.
Antonio mengangguk dengan raut wajah muram. “Ya, dan sejujurnya aku merasa ada yang janggal. Mereka bukan tipe orang yang punya keterampilan untuk kompetisi seperti ini. Kalau hanya mengandalkan koneksi dan nama besar, mungkin. Tapi kemampuan mereka... nggak sebanding sama peserta lain, mereka itu otak udang.”
Saveina yang sejak tadi diam, menambahkan dengan nada tenang. “Kami memang berasal dari kalangan yang terhormat, tapi kami ada di sini karena kami punya kemampuan, bukan karena nama keluarga. Beda dengan mereka yang hanya memanfaatkan nama besar orang tua mereka.”
Carlos mendengarkan dengan saksama, menyadari bahwa perbincangan ini mengandung informasi penting. Sementara itu, Ruri masih terdiam, memikirkan maksud dari pernyataan Antonio dan Saveina.
“Aku heran bagaimana mereka bisa sampai di tahap ini," lanjut Antonio, "kamu nggak merasa aneh, Ruri?"
Ruri akhirnya angkat bicara, "Aku belum tahu pasti. Tapi kalau begitu, mungkin kita harus lebih berhati-hati dalam kompetisi ini. Mungkin ada faktor yang lebih dari sekadar kemampuan individu di balik perjalanan mereka."
Akasha tersenyum tipis, seolah memahami arah pemikiran Ruri. “Itulah mengapa kita harus tetap fokus. Tapi, seperti yang tadi kubilang, diskusi membantu kita memahami lebih baik. Jadi, kalau ada yang aneh, lebih cepat kita menyadarinya.”
Obrolan yang awalnya ringan berubah menjadi serius, meninggalkan suasana penuh ketegangan di antara mereka. Nona Kiwil, yang masih mengamati dari belakang Akasha, tampak menatap Carlos dengan tatapan tajam, seolah memberi peringatan tanpa kata-kata, namun Carlos berusaha tetap fokus pada perbincangan di hadapannya.
Seketika langit yang awalnya cerah mendadak kelabu, menggantung rendah dan mengancam. Saveina, merasakan suasana yang berubah, bicara pelan, "Lho, kok jadi dingin begini?" Antonio tersadar, seketika menyetujui, “Iya, benar juga. Sebaiknya kita segera menuju penginapan. Sebentar lagi hujan mungkin akan turun.”
Ruri pun mengangguk setuju, namun berbeda dengan Akasha dan Carlos yang kini memandang sekitar dengan waspada. “Akasha, kamu nunggu apa? Ayo ke penginapan!” tegur Antonio, bingung melihat temannya yang malah melongo di tengah awan yang semakin gelap.
Ruri memanggil Carlos untuk segera kembali, tapi sebelum mereka sempat bergerak, terdengar suara dentuman keras. Jeritan terdengar dari arah pantai, “Laut pasang! Laut pasang!” Di kejauhan, perahu-perahu terombang-ambing, banyak yang terbalik.
Ketika semua orang mulai panik, mendadak asap hitam muncul entah dari mana dan melilit Ruri, menariknya ke dalam kegelapan seperti portal aneh. Carlos, tanpa pikir panjang, langsung berlari menyusulnya, melompat ke dalam lubang gelap itu demi menyelamatkan Ruri.
Sekeliling mulai kembali tenang, tapi Antonio dan Saveina masih tampak ternganga, menatap tempat di mana tadi mereka berdiri. Ruri dan Carlos menghilang begitu saja, seolah tertiup angin. Namun, Akasha, yang memiliki pandangan batin meski lemah sehingga dia pun tak bisa menyadari keberadaan Nona Kiwil yang selalu menempel padanya, jelas melihat keduanya tersedot oleh lubang hitam misterius. Bersamaan dengan itu, ibu penjual es cendol yang diam-diam mendengar obrolan mereka juga lenyap tanpa jejak.