"Apakah aku ditakdirkan tidak bahagia di dunia ini?"
Ryan, seorang siswa SMA yang kerap menjadi korban perundungan, hidup dalam bayang-bayang keputusasaan dan rasa tak berdaya. Dengan hati yang terluka dan harapan yang nyaris sirna, ia sering bertanya-tanya tentang arti hidupnya.
Namun, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan seorang wanita 'itu' yang mengubah segalanya. Wanita itu tak hanya mengajarinya tentang kekuatan, tetapi juga membawanya ke jalan menuju cinta dan penerimaan diri. Perjalanan Ryan untuk tumbuh dan menjadi dewasa pun dimulai. Sebuah kisah tentang menemukan cinta, menghadapi kegelapan, dan bangkit dari kehancuran.
Genre: Music, Action, Drama, Pyschologycal, School, Romance, Mystery, dll
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ravien Invansia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26: ...Gosip Baru Menyebar!
"Andaikan aku menahannya saat itu... Ya, justru itulah masalahnya..."
Hana membuka mata dengan rasa malas yang masih menggantung di pelupuk. Langit-langit kamar yang sama, menatap kembali padanya dengan kosong. Jam di dinding menunjukkan pukul 8 pagi.
"Terlambat lagi," gumamnya sambil bangkit perlahan, rambutnya berantakan seolah menambah beban di kepalanya. Ia menghela napas panjang, tubuhnya terasa berat dan enggan bergerak.
Kenangan lama berkelebat di benaknya, menyeruak tanpa permisi. Kenangan yang seharusnya sudah ia kubur dalam-dalam. Tapi entah kenapa, hari ini semua itu terasa begitu dekat. 'Kenapa semua ini terus menghantuiku? Kenapa tidak bisa lenyap begitu saja?' batinnya sambil memijit kening.
Ia berjalan menuju kamar mandi, membiarkan aliran air dingin menyentuh kulitnya.
Brrr...
Air dingin membuatnya menggigil sesaat. Setidaknya, itu cukup untuk menyadarkannya, menghapus sedikit awan gelap yang melingkupi pikirannya.
Saat selesai, rumah yang sepi menyambutnya kembali.
"Ayah belum pulang," gumamnya, tanpa emosi, seolah sudah terbiasa dengan kenyataan itu. Dengan malas, ia memilih pakaian yang sederhana, kaos lengan panjang berwarna pastel dan celana jeans. Biasa, tak mencolok, tapi cukup nyaman.
"Apa yang harus kulakukan hari ini?" tanyanya dalam hati, meski tanpa jawaban yang jelas. Matanya tertumbuk pada piano putih di sudut ruangan. Benda itu seperti memanggilnya, seolah tahu bahwa ia sedang butuh pelarian.
"Piano putih kesayanganku… mungkin ini bisa sedikit menenangkan," pikirnya sambil berjalan mendekat. Jemarinya menyentuh tuts yang dingin, sedikit gemetar tapi stabil. Hana duduk, dan perlahan mulai merentangkan jari-jari di atas tuts, mencari nada yang cocok. Tanpa ragu, ia mulai memainkan "River Flows In You" karya Yiruma.
Ting...
ting...
ting...
Melodi yang lembut mulai memenuhi ruangan. Hana memejamkan mata, membiarkan dirinya tenggelam dalam setiap nada. 'Hanya musik yang tak pernah menghakimi, tak pernah menuntut,' pikirnya.
'Setidaknya, musik selalu mengerti,' batinnya sambil melanjutkan bermain.
Nada demi nada terus mengalir, menggulung perasaan gelisah yang tadi terasa membelenggu. Sedikit demi sedikit, bebannya mulai terangkat. Tak sepenuhnya, tapi cukup membuatnya bisa bernapas lebih lega. 'Lebih baik… sejenak aku bisa melupakan semuanya,' pikirnya, tenggelam dalam alunan nada.
Suara angin dari luar jendela berpadu dengan suara piano.
Whoosh...
Hana membuka mata, melihat jari-jarinya yang masih menari lincah di atas tuts. Tanpa sadar, senyum tipis terbentuk di bibirnya. "Mungkin hari ini takkan seburuk yang aku kira," ujarnya lirih, mencoba menghibur diri.
Hana menyelesaikan nada terakhir, membiarkan suaranya menggantung di udara.
Hening...
Ia bangkit perlahan dari kursi piano, melepaskan jemarinya dari tuts terakhir yang masih terasa hangat. 'Tidak boleh terus terjebak di masa lalu,' pikirnya, berusaha meyakinkan diri. Apa pun yang terjadi, ia harus tetap berjalan.
Dengan langkah pelan, dia berjalan menuju dapur, berpikir untuk mengisi perutnya dengan sesuatu yang menenangkan. "Secangkir teh hangat mungkin cukup," ujarnya, mencoba mengisi hatinya dengan semangat baru.
Suara air mendidih mulai terdengar dari ketel.
Ssssss...
Perlahan, Hana menuangkan air panas ke dalam cangkir, aroma teh melati segera menyebar, memenuhi udara di dapur. Ia menutup matanya, menghirup aroma yang menenangkan itu.
"Wangi sekali," gumamnya, tersenyum tipis sambil menyeruput teh hangatnya. Dari jendela dapur, ia memandang langit yang cerah, awan putih berarak pelan. "Mungkin udara segar bisa membuat pikiranku lebih ringan," ujarnya dalam hati.
'Semua akan baik-baik saja…' batinnya. 'Aku hanya perlu waktu.'
Menaruh cangkirnya di meja, Hana menghela napas dalam, merasakan sedikit ketenangan.
"Ya, aku bisa melewatinya," ujarnya pelan, dengan sisa-sisa keyakinan di dalam hati.
...----------------...
Rangga duduk dengan malas di bangkunya, memutar-mutar pensil di antara jari-jarinya, tatapannya melayang-layang ke arah jam dinding. Pelajaran matematika di depan terasa membosankan, suaranya monoton, dan angka-angka trigonometri berputar tanpa henti di papan tulis.
tok
tok
tok
Dia mengetukkan pensil ke meja, melampiaskan kegelisahannya. Melirik ke sekeliling, teman-teman sekelasnya terlihat serius mencatat, tenggelam dalam rumus yang membingungkan. Tapi Rangga punya hal lain yang lebih menarik di kepalanya.
"Gimana caranya biar gosip ini meledak di sekolah?" pikirnya. Rencana liciknya sudah mulai berjalan, tapi masih butuh dorongan. Meskipun beda kelas dengan Ryan, nggak ada alasan buat Rangga mundur.
Matanya beralih ke Andi, teman sebangkunya yang tampak serius mendengarkan. Tanpa pikir panjang, Rangga mendekatkan wajahnya ke samping, berbisik pelan.
"Eh, Di," bisiknya dengan nada konspiratif.
Andi mengalihkan pandangannya sebentar, mata menyipit, tampak terganggu. "Apa?" gumamnya, setengah berbisik.
"Kamu tau nggak, si Ryan katanya kemarin berantem sama Rei sama Ivan," ucap Rangga sambil menyeringai, suaranya rendah dan misterius.
Andi mengernyitkan dahi, tampak ragu. "Serius lo? Kok gue nggak denger apa-apa?"
Rangga mengangguk kecil, membuat wajahnya tampak serius. "Iya, gue lihat sendiri mereka ribut di gang belakang sekolah. Nggak tau kenapa, tapi suasananya tegang banget."
Andi tampak berpikir, ekspresinya berubah penasaran. "Wah, bisa jadi berita panas nih," bisiknya, tampak tertarik dengan gosip baru ini.
Rangga menyeringai tipis, merasa rencananya berhasil masuk ke telinga lain. "Makanya, hati-hati aja sama dia. Kayaknya Ryan lagi nggak stabil, bisa meledak kapan aja."
Andi mengangguk pelan, lalu buru-buru kembali fokus ke papan tulis saat suara guru terdengar lebih keras dari sebelumnya.
“Baik, sampai di sini ada yang mau ditanyakan?” suara sang guru menggelegar, suaranya penuh dengan nada serius yang membuat beberapa siswa berjengit di kursi mereka.
suara langkah kaki mendekat, hentakannya menggetarkan lantai.
Rangga berpura-pura sibuk, berakting mencatat dengan cepat. Pensilnya bergerak sembarangan di atas kertas. Ketika guru berbalik, wajahnya kembali rileks, dan senyum licik muncul di wajahnya.
"Oke, satu orang sudah tahu. Tinggal lempar ke yang lain. Cepet atau lambat pasti sampai ke semua orang," pikirnya sambil tersenyum sendiri, merasa puas dengan hasil kecil ini.
Di depan kelas, guru melanjutkan pelajaran, tetapi pikiran Rangga terus berputar, mencari strategi berikutnya.
...----------------...
Rei dan Ivan duduk bersandar di dinding gang belakang sekolah, tempat biasa mereka menghindari tatapan guru dan aturan. Matahari pagi menyelinap lewat celah bangunan, membuat bayangan panjang dan samar di sekitar mereka. Ivan menghembuskan asap rokok perlahan, membiarkan asapnya berputar sebelum hilang diterpa angin.
fyuuh...
“Siapa yang nyebarin gosip kalau Ryan pacaran sama Hana?” Ivan bertanya sambil mengembuskan asap terakhir. Nada suaranya datar, tapi jelas penuh rasa penasaran.
Rei menyandarkan kepalanya ke dinding, menatap ke arah jendela sekolah yang tertutup debu. Sejenak dia tampak berpikir dalam diam.
“Kurasa ada tiga orang yang mungkin punya pengaruh untuk bikin gosip itu melebar,” gumam Rei akhirnya.
Ivan menoleh, penasaran. “Siapa aja?”
Rei memainkan batu kecil yang tergeletak di lantai, menggesernya dengan jari seakan mencari cara untuk menjelaskan.
kletak
kletik
“Pertama, mungkin Cici. Dia ketua OSIS, orang punya koneksi ke banyak info sekolah,” ujar Rei sambil terus memainkan batu itu.
Ivan mengangguk pelan. “Bisa jadi sih. Tapi kayaknya bukan Cici. Dia nggak suka urusan orang lain.”
Rei menghela napas, mengakui. “Iya, benar juga. Yang kedua, mungkin Farah. Kita tahu mulutnya kayak radio rusak, nggak bisa berhenti bicara.”
Ivan tertawa kecil, mengangguk. “Bener juga. Dia emang juara dalam hal gosip kelas kakap.”
Rei melirik Ivan, senyumnya tipis. “Ketiga, mungkin Rangga.”
Ivan mengernyit, tidak begitu yakin. “Rangga? Emang iya? Dia biasanya nyebarin gosip, tapi nggak pernah sampai sebegitu parah.”
Rei mengangkat bahu, tatapannya kosong. “Entahlah, semua kemungkinan terbuka. Gosip ini bisa dari siapa saja. Orang-orang suka lihat orang lain jatuh.”
Sejenak mereka terdiam, tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Hanya suara angin yang berdesir pelan, menyelinap di antara dinding-dinding sempit gang.
whoosh
“Eh, kemarin kamu aneh,” Ivan tiba-tiba berkata, memecah keheningan. “Biasanya kamu paling depan kalau ada urusan kayak gini, terutama kalau soal Ryan. Tapi kemarin kamu diem aja, nggak ngerespon apalagi marah.”
Rei memalingkan wajah, matanya menatap Ivan dengan tajam. Raut wajahnya keras, membuat Ivan sedikit merinding.
“Apa aku harus jawab itu?”
Ivan tercekat, merasakan keringat dingin mulai mengalir. “Ti-tidak. Nggak usah. Nggak penting juga,” jawabnya, sedikit gugup.
Rei mendengus pelan, mengalihkan pandangannya ke langit yang mulai menggelap, seakan tanda hujan akan turun sebentar lagi.
gruduk!
gruduk!
Tapi Ivan, tetap saja penasaran. “Cuma kepo aja, kenapa kemarin diam aja?”
Rei hanya menghela napas, menahan sesuatu dalam pikirannya. Tanpa menjawab langsung, dia hanya berkata pendek. “Udah, nggak usah dibahas lagi.”
Ivan mengangkat bahu, merasa tak punya pilihan lain. Dia memilih mengubur pertanyaan yang mengusik pikirannya. “Oke, terserah lo,” gumamnya sambil menahan rasa ingin tahunya.
Suasana kembali hening. Ivan menatap ke arah tembok, tapi pikirannya tidak bisa lepas dari sikap Rei yang tidak biasa ini. Ada sesuatu yang Rei sembunyikan, sesuatu yang tidak bisa di ungkapkan dengan kata-kata.
Bel sekolah berdentang pelan di kejauhan, tanda pelajaran berikutnya akan segera dimulai.
ding!
dong!
Ivan mendengus, malas. “Tsk, pelajaran lagi. Bikin pusing.”
Rei berdiri, mengusap celananya dari debu. “Ayo cabut aja. Nggak ada gunanya duduk di sini.”
“Kemana?” tanya Ivan sambil berdiri.
Rei berjalan pelan, memasukkan tangan ke dalam saku. “Entahlah. Yang penting nggak di sini. Terserah.”
Mereka melangkah keluar dari gang, suara langkah kaki terdengar pelan di antara tembok-tembok yang membisu.
tap
tap
tap
Ivan menatap punggung Rei di depannya, semakin penasaran. Tapi dia tahu, tak ada gunanya terus menanyakan sesuatu yang jelas-jelas tidak akan dijawab. Jadi, untuk kali ini, dia memilih menyimpan rasa ingin tahunya sendiri, membiarkannya tersimpan tanpa jawaban.
Karena MC ada di semua bab, pakai POV bisa lebih mudah. Tapi nggak juga gpp.
Yang saya kurang suka kalau cerita multiplot tapi pakai POV 1 yang berganti-ganti.
Bahasa cerita menurut saya udah bagus, baik itu narasi ataupun dialog.
btw, banyak orang di kehidupan nyata terwakilkan Ryan. Biasanya itu pengalaman penulis lalu di dunia fiksi dia ganti dg tema fantasi misal dapat sistem atau masuk ke dunia game.