“Kamu harus bertanggungjawab atas semua kelakuan kamu yang telah menghilangkan nyawa istriku. Kita akan menikah, tapi bukan menjadi suami istri yang sesungguhnya! Aku akan menikahimu sekedar menjadi ibu sambung Ezra, hanya itu saja! Dan jangan berharap aku mencintai kamu atau menganggap kamu sebagai istriku sepenuhnya!” sentak Fathi, tatapannya menghunus tajam hingga mampu merasuki relung hati Jihan.
Jihan sama sekali tidak menginginkan pernikahan yang seperti ini, impiannya menikah karena saling mencintai dan mengasihi, dan saling ingin memiliki serta memiliki mimpi yang sama untuk membangun mahligai rumah tangga yang SAMAWA.
“Om sangat jahat! Selalu saja tidak menerima takdir atas kematian Kak Embun, dan hanya karena saat itu Kak Embun ingin menjemputku lalu aku yang disalahkan! Aku juga kehilangan Kak Embun sebagai Kakak, bukan Om saja yang kehilangan Kak Embun seorang!” jawab Jihan dengan rasa yang amat menyesakkan di hatinya, ingin rasanya menangis tapi air matanya sudah habis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jihan ingat siapa aku?
Suara yang begitu pelan dan masih terdengar lemah, memanggil “Ayah” sontak saja mereka berlima menatap ke arah ranjang, lalu tak lama Ayah Iqbal dan Bu Kaila berhamburan ke arah ranjang.
“A-Ayah.” Gadis itu agak menolehkan kepalanya ke samping, lalu netranya yang masih terlihat sipit menatap mereka semua.
“Alhamdulillah, anakku telah sadar, terima kasih Ya Allah,” ucap Bu Kaila suaranya bergetar, terharu begitu pula Ayah Iqbal, mereka berdua berdiri di sisi ranjang. Kemudian Papa Gibran langsung memeriksa kondisi menantunya tersebut, sementara Fathi saat itu juga bergegas ikutan memeriksa keadaan istrinya walau raut wajah mertuanya terlihat masih tidak enak dipandang.
Jihan hanya bisa menatap kedua pria beda usia itu memeriksa dirinya, dan tak lama masker oksigennya diganti dengan selang oksigen, lalu tak lama dua perawat masuk setelah Fathi memencet tombol merah yang ada di sisi ranjang Jihan.
Ayah Iqbal dan Bu Kaila terpaksa bergerak menepi memberi ruang untuk mereka berempat mengecek kondisi anaknya, dan mereka berdua hanya bisa memperhatikan saja.
Di dalam lubuk hati Fathi, sebenarnya sangat bersyukur melihat istrinya telah sadar dari koma, ingin rasanya memeluk namun apa daya dia tidak bisa melakukannya.
Sesaat ketika memeriksa kondisi Jihan, mereka berdua sempat beradu pandang, netra Fathi agak berembun saat menyentuh istrinya sedangkan tatapan Jihan begitu dingin saat bersitatap.
“Tekanan darah 110/80, detak jantung pasien normal, Dokter Fathi,” lapor salah satu perawat.
“Jihan, gerakan kedua tanganmu,” pinta Fathi bernada pelan. Tanpa menjawab, Jihan menggerakkan kedua tangannya, dan Fathi mengamatinya.
“Sekarang kedua kakimu tolong digerakkan.” Untuk kedua kalinya Fathi meminta, dan Jihan menurutinya menggerakkan kedua kakinya.
“Alhamdulillah,” gumam Fathi selepas melihat gerakkan kaki istrinya.
“Alatnya medisnya bisa dilepas sekarang, dan tolong ambilkan minum dan bubur,” perintah Fathi kepada kedua perawatnya.
Ayah Iqbal merangkul bahu istrinya dan sama-sama mengucap syukur atas kesadaran Jihan.
“Om Dokter, kenapa Jihan bisa berada di sini?” Akhirnya Jihan mengeluarkan suaranya walau masih terdengar agak lemah, seketika itu Fathi yang ingin menjauh dari ranjang Jihan memutar badannya, lalu menatap lekat istrinya.
Lidah Fathi agak keluh, mestikah dia bercerita kejadian yang sesungguhnya di depan hadapan kedua orang tuanya.
“Kamu tidak mengingat sesuatu?” tanya Fathi sembari menatap ke arah pergelangan tangan Jihan yang diperban. Kedua orang tua Jihan dan Fathi melangkah maju ke sisi ranjang.
“Mengingat apa?” Balik bertanya Jihan.
“Jihan ingat siapa aku?” tanya Fathi, mulai agak ketar ketir.
“Ingat ... Om Dokter, suaminya Kak Embun, 'kan,” jawab Jihan pelan.
“Selain itu?” balas Fathi
Kening Jihan agak mengernyit, “selain itu apa Om Dokter, yang Jihan ingat Om Dokter adalah suaminya Kak Embun,” jawab Jihan sembari menatap Ibu dan Ayahnya dengan tatapan herannya.
Fathi mengusap wajahnya dengan kasar, lalu menata papanya yang berada di sisi ranjang sebelah kiri.
Pria tua itu menyunggingkan senyum miringnya kepada putranya. “Sepertinya Jihan mengalami amnesia, tapi jenis amnesia harus dicek dulu. Ada baiknya Jihan melalukan MRI dan CT-scan untuk memastikan kondisinya,” ucap Papa Gibran memberikan kesimpulan. Raut wajah Fathi pias begitu saja, di satu sisi hatinya lega Jihan tidak mengingat kejadian pertengkaran mereka, tapi jika Jihan tidak ingat bila dia adalah suaminya, sungguh ini pukulan yang terberat untuknya. Apakah ini karma untuknya yang pernah berkata tidak akan menganggap Jihan sebai istrinya, dan hanya Embun yang ada di hatinya.
“Ibu, Ayah ... benarkan kalau Om Dokter ini suaminya Kak Embun?” tanya Jihan memandang kedua orang tuanya.
Fathi bergerak mundur memberi ruang buat ibu mertuanya. “Iya, Nak ... Fathi suaminya Kak Embun,” jawab Bu Kaila lembut, lalu mengecup kening Jihan. “Ibu bersyukur kamu sudah selamat melewati masa kritismu, sekarang kamu tidak perlu memikirkan apa pun,” pinta Bu Kaila. Jihan hanya bisa menatap ibunya lalu menatap ayahnya.
“Aku akan mengurus proses MRI dan CT-scan Jihan sekarang juga dengan Dokter Samuel,” ucap Fathi sebelum dia keluar dari ruang observasi.
Papa Gibran hanya mengangguk kepala dan membiarkan putranya menjalankan tugasnya mengurus Jihan walau hatinya sangat kecewa.
Fathi tidak peduli dengan luka lebam yang ada di wajahnya, yang ada di pikirannya sekarang dia harus koordinasi dengan dokter spesialis syaraf dan berharap amnesia Jihan ini hanya sementara saja bukan untuk selamanya. Sementara itu, Papa Gibran koordinasi dengan perawatnya untuk memindahkan Jihan ke ruang rawat eksklusif milik keluarga pemilik rumah sakit.
Satu jam kemudian ...
Jihan sudah pindah kamar, dan Bu Kaila baru saja selesai menyuapi anaknya makan bubur. Tak lama Fathi masuk dengan beberapa perawat masuk mendorong brankar.
“Waktunya pemeriksaan MRI dan CT-scan,” ucap Fathi, cara bicaranya masih sungkan dengan kedua mertuanya tersebut.
Jihan kembali menatap datar pada Fathi. Lalu Bu Kaila bangkit dari duduknya di tepi ranjang, kakinya bergerak mendekati Fathi, kemudian berdiri di samping menantunya itu. “Sebenarnya lebih baik Jihan tidak mengingat apa pun! Ibu sangat bersyukur jika Jihan tidak ingat kalau kamu adalah suaminya, jadi akan memudahkan untuk mengurus perceraian kalian berdua,” ucap Bu Kaila sangat pelan, namun terdengar jelas di telinga Fathi.
DEGH!
Fathi menatap nanar Bu Kaila, ucapan mertuanya sangat menyakitkan hatinya, lantas bagaimana dengan ucapanmu sendiri yang sangat menyakiti hati Jihan.
“Aku izin membawa Jihan ke ruang MRI,” pamit Fathi sembari menundukkan kepalanya sebagai tanda hormatnya pada mertuanya, lalu melangkah maju. Dengan hatinya yang tersayat dia menuruni kantong infusan, para perawat pria yang ingin membantu membopong Jihan tidak diperkenankan untuk membopongnya.
Jihan agak tersentak saat kedua tangan Fathi mengangkat tubuhnya dan merebahkan ke atas brankar, sesaat mereka saling bersitatap tapi gadis itu dengan cepatnya memalingkan wajahnya dari tatapan hangat pria itu, bagi Jihan tatapan pria itu sangatlah aneh.
Fathi sudah membawa Jihan keluar dari kamar, dan tinggal kedua orang tua Jihan dan Fathi di kamar tersebut.
“Pak Gibran, Bu Erina,” Bu Kaila menarik nafasnya dalam-dalam sebelum melanjutkan ucapannya. “Saya minta anak kita berpisah ... bercerai, saya seharusnya tidak menyetujui pernikahan anak kita berdua karena demi Ezra dan mengikuti permintaan anak saya. Saya sudah tidak mau kehilangan anak saya yang tinggal satu-satunya, biarlah anak saya jadi janda walau umurnya masih muda, tapi yang terpenting anak saya hidup bahagia.
Kejadian yang menimpa Jihan dengan melihat pergelangan tangannya, itu sudah menandakan jika anaknya hidup dalam tekanan, dan ini pelajaran untuk orang tua Jihan untuk tidak egois pada anaknya. Masalah Ezra lebih berhak Fathi dalam pengurusnya, dan sebagai oma opanya cukup mengawasinya saja, walau sangat sayang pada cucu satu-satunya.
Kedua orang tua Fathi hanya bisa menghela nafas panjangnya, apa yang sudah mereka berdua pikirkan akhirnya terjadi.
“Saya mendukung jika memang Bu Kaila menginginkan Jihan dan Fathi bercerai,” jawab Papa Gibran pasrah.
Fathi membeku dibalik ambang pintu, dia terpaksa balik ke kamar Jihan karena ingin memanggil papanya, tapi tak sengaja dia mendengar percakapan orang tuanya.
“Haruskah aku bercerai dengan Jihan? tidak adakah kesempatan untukku memperbaikinya!” batin Fathi terpukul, dan amat sesak di dadanya.
Bersambung ... ✍🏻
Catatan : Ketika seseorang mengalami mati suri maka akan ada beberapa syaraf yang sedikit terganggu, salah satunya mengalami amnesia ini berdasarkan salah satu info dari Dokter Syaraf rumah sakit tempat saya berobat, yang saat itu menangani pasien seperti Jihan. Tidak jarang juga ada yang mengalami ketidakwarasan. Jadi Jihan mengalami amnesia berawal dari kejadian di kamar suaminya, adanya trauma, dan hampir meninggal saat percobaan menyayat nadi di tangannya. Semoga bisa memahami, kenapa Jihan bisa amnesia padahal yang terluka tangannya bukan kepalanya yang terbentur.