Namanya Erik, pria muda berusia 21 tahun itu selalu mendapat perlakuan yang buruk dari rekan kerjanya hanya karena dia seorang karyawan baru sebagai Office Boy di perusahaan paling terkenal di negaranya.
Kehidupan asmaranya pun sama buruknya. Tiga kali menjalin asmara, tiga kali pula dia dikhianati hanya karena masalah ekonomi dan pekerjaannya.
Tapi, apa yang akan terjadi, jika para pembenci Erik, mengetahui siapa Erik yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rcancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Konspirasi
"Mas."
"Hum."
"Kirain lagi tidur," sungut Namira, lalu dia melangkah,menghampiri sang suami yang terbaring di atas ranjang.
"Mas lelah?" tanya wanita itu sembari menempelkan pantatnya di tepi ranjang.
Castilo menghela nafas panjang. Karena terbaring dalam posisi miring dan memunggungi istrinya, tangan Castilo bergerak, meraba, mencari sesuatu.
Ternyata yang dicari adalah tangan Namira. Setelah dapat, Castilo menggenggam tangan sang istri dan menempelkan tangan tersebut di dada bidangnya.
Namira tersenyum setelah menggelengkan kepalanya beberapa melihat tingkah suaminya saat ini.
"Erik lagi ngapain, Yang?" tanya Castilo. Dia sengaja tidak menjawab pertanyaan sang istri.
"Lagi ngobrol sama, tante, kakek dan neneknya. Kamu nggak keluar?" tanya Namira lembut. Matanya lekat menatap sang suami yang perasaannya sempat terguncang.
"Entahlah. Aku males ketemu Mommy," jawab Castilo. Suaranya agak serak.
Namira menghela nafas sejenak. "Jangan seperti itu. Kamu jangan terlalu menyalahkan Mommy juga dong. Biar bagaimana pun dulu kita yang salah."
Castilo menoleh, menatap istrinya dengan kening berkerut. "Kita yang salah? Emang kita salah apa? Kan kita hanya anak muda yang saling jatuh cinta. Nggak ada salahnya kan?"
Bibir Namira mencebik, lalu dia menarik paksa tangannya dari genggaman Castilo dan sekarang posisinya memunggungi sang suami.
"Kita yang salah karena kita nikah bukan di saat waktu yang tepat. Hanya demi mendapat restu, kita nikah di usia yang sangat muda. Kita egois. Harusnya saat itu kita masih belajar, bukannya malah menikah. Mungkin kalau Erik sekarang maksa pengin nikah, aku juga bakalan marah besar."
Castilo tercenung, mencerna ucapan istrinya dan Castilo mengakui, apa yang dikatakan Namira memang ada benarnya. Dulu, memang hanya dia yang meminta restu kepada orang tua Namira. Bahkan saat melamar Namira, Castilo hanya mengajak Alex saja.
Namira dulu hanya tinggal dengan ayahnya. Ibu kandung Namira meninggal di saat Namira berusia sembilan tahun. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Namira dan ayahnya berjualan nasi campur. Untungnya ayah Namira sangat pandai memasak jadi usaha nasi campurnya cukup laris kala itu.
Bahkan dulu, setelah pertemuan pertamanya dengan Namira, Castilo sering mengajak teman-temannya untuk makan di tempat wanita itu. Usaha Castilo berhasil, dia bisa meluluhkan hati Namira sekaligus ayahnya.
Dari awal berhubungan, Castilo memang tidak pernah direstui oleh Ibunya. Waktu itu ibunya masih dikelilingi orang-orang kepercayaannya. Jadi pengaruh mereka sangat kuat.
Dahulu, Marco dan Bram adalah kepercayaan kedua orang tua Castilo. Sedangkan Natalia dan Victoria adalah teman sekolah Castilo dan orang tua mereka sangat akrab dengan keluarga Castilo.
Karena terlalu percaya, orang tua Castilo tidak mengetahui kalau empat orang itu memiliki hubungan satu sama lainnya. Kebusukan mereka terkuak setelah Dave mengalami sakit dan membutuhkan transfusi darah.
Awalnya Castilo heran, kenapa darah Dave sama sekali tidak cocok dengan darahnya dan ibu kandungnya. Lalu tanpa sengaja, Castilo mendengar bisik-bisik kalau kemungkinan besar Dave bukan anak kandungnya.
Saat itulah tumbuh banyak tanda tanya dalam benak Castilo. Diam-diam Alex mengusulkan pada Castilo untuk melakukan tes DNA. Dari sana lah, kebusukan Marco dan Natalia kebongkar.
Namun sialnya, setelah Castilo terlepas dari kebusukan Marco dan Natalia, beberapa bulan berikutnya, dia harus terjebak lagi pada rencana busuk Bram dan Victoria. Rencana dua orang itu lebih rapi sampai Castilo sempat frustasi karena kesulitan menemukan celah untuk membongkar rencana Victoria.
Namun, serapi apapun sebuah tindak kejahatan, akan tetap ada jejak yang bisa dijadikan bukti. Dengan sedikit tipu muslihat, Castilo berhasil mendapatkan bukti akurat yang menunjukan kalau Dave juga bukan anak kandungnya.
Betapa terpukulnya keluarga besar Castilo saat itu. Dua kali Castilo ditipu mentah-mentah membuat dia sama sekali tidak mudah percaya dengan wanita kecuali keluarganya.
Castilo bangkit dari berbaringnya, lalu memeluk Namira dari belakang. Dia rindu saat-saat seperti ini. Saat dirinya bisa bersikap manja layaknya anak kecil tanpa ada rasa malu. Saat dia diperhatikan dan saat dia dimarahi oleh wanita yang sangat dia sayangi.
"Kenapa? Udah merasa lebih baik bukan?" ucap Namira, sedikit menoleh, menatap wajah pria yang menaruh dagu dipundaknya. "Bagaimana kalau kita keluar?"
Castilo mendengus. "Nanti lah. Aku lagi males ketemu sama Mommy," rengeknya manja.
"Astaga!" Namira tersenyum. "Jangan terlalu mendendam. Itu kan hanya masa lalu. Wajar kalau manusia bisa bikin salah. Yang penting kan aku sama Mommy kamu, sekarang sudah saling memaafkan."
Castilo semakin mengencangkan perutnya. "Aku nggak dendam. Aku hanya masih kecewa aja" kilahnya. "Erik sendiri bagaimana?"
"Bagaimana apanya?" Namira pun bertanya balik.
"Apa tadi dia mendengar semuanya?"
Namira agak berpikir. "Aku tidak tahu. Tapi sepertinya tidak. Dia cuma tadi terlihat kebingungan. Untung Tuan Carlos langsung menyambutnya dengan penuh kehangatan."
"Tuan Carlos? Itu Daddy, bukan tuan," protes Castilo.
Namira tersenyum. "Aku belum terbiasa. Nanti pelan-pelan sambil belajar."
Castilo kembali mendengus, lalu dia tersenyum. "Yang."
"Apa?"
"Alex sudah punya anak tiga. Kita nambah lagi yuk?"
"Astaga!"
Sementara itu di tempat lain, empat orang yang membuat masalah dengan Castilo, saat ini sedang berada di ruang khusus, sedang membicarakan sesuatu bersama pria yang menjenguk mereka.
"Bob, ayo dong, bantu kita, keluar dari sini," rengek Marco pada sahabatnya yang bernama Bobby. Tiga orang lainnya juga mengharapkan bantuan dari pria itu meski mereka tidak terlalu mengenal sosok bernama Bobby tersebut.
"Kekuasanmu kan hampir setara dengan Castilo. Cuma beda tipis doang," bujuk Marco lagi.
Bobby tersenyum sinis. "Tidak bisa, Marco. Kamu tahu sendiri bukan, kekuatan Castilo itu bagaimana."
"Tapi kan, kamu juga punya kekuatan yang hebat, Bob. Ayolah," desak Marco.
Bobby sampai geleng-gelang kepala. "Daripada kamu meminta sesuatu yang keberhasilannya sangat kecil, bagaimana kalau kamu mengikuti saranku?"
"Saran kamu?" Kening Marco sontak berkerut. "Saran apa?"
"Kalau kamu mau, aku bisa membantumu, melumpuhkan Castilo tanpa kamu harus keluar dari sini," tawar Bobby nampak begitu yakin.
"Bagaimana caranya?" kali ini Natalia yang bertanya.
Bobby malah terbahak. "Hahaha ... kalian itu memang bodoh dan gegabah ya. Harusnya, kalian tidak perlu melakukan cara kampungan seperti tadi. Sebenarnya jika kalian bisa bersabar, kalian bisa dengan mudah melumpuhkan Castilo."
Ke empat orang itu saling tatap.
"Maksudnya gimana, Bob? Aku nggak ngerti," tanya Marco.
Bobby menghela nafas. Di mata pria berkulit agak gelap dengan perut buncit itu, ke empat orang dihadapannya adalah sekumpulan orang bodoh yang sangat ambisius.
Mereka selalu menggunakan cara yang mudah ditebak demi ambisi yang tak terbendung. Ke empat orang itu tidak belajar dari pengalaman kegagalan mereka sendiri.
"Tadi kalian lihat kan, wajah anaknya Castilo yang asli?" tanya Bobby dan keempat itu mengangguk.
"Kalau dilihat dari sikapnya, anak itu terlihat masih sangat polos. Kita pasti bisa menghancurkan Castilo, dengan memanfaatkan anaknya. Bagaimana?"