Di usianya yang baru menginjak 17 tahun Laila sudah harus menjadi janda dengan dua orang anak perempuan. Salah satu dari anak perempuan itu memiliki kekurangan (Kalau kata orang kampung mah kurang se-ons).
Bagaimana hidup berat yang harus dijalani Laila dengan status janda dan anak perempuan yang kurang se-ons itu?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Sudah hampir tiga puluh menit mobil Refal berada tidak jauh ruko. Di sana ada mobil Arman yang terparkir, entah sudah berapa lama. Refal tidak sendirian, ada Inggit yang duduk di sampingnya.
"Untuk apa Arman selama itu di sana?."
"Entahlah."
"Aku mau turun." Inggit hendak membuka pintu tapi segera dicegah oleh Refal.
"Untuk apa?."
"Aku tidak mau Laila menggoda Arman. Aku tidak mau seperti di novel-novel gagal menikah hanya karena perempuan lain."
"Laila bukan tipe perempuan suka menggoda, tapi Arman sendirilah yang tidak teguh pada hati dan cintanya."
Inggit menggeleng dengan mata berkaca-kaca. "Arman tidak mudah tergoda, aku sangat tahu itu. Pasti Laila yang telah menggodanya."
Refal menarik lembut tubuh Inggit, membawanya ke dalam pelukannya. Perempuan itu menangis.
"Kamu yakin mau masih menikah dengan Arman?."
Sedangkan di lantai atas ruko, Salwa dan Halwa menangis kencang dalam pelukan Arman. Mungkin itu pelukan terakhir yang mereka rasakan.
Sengaja Laila naik ke lantas dua guna menjadikan kedua anaknya sebagai tameng. Supaya Arman tidak bicara yang sifatnya pribadi kepadanya. Dan benar saja waktunya sudah habis bersama kedua anaknya sebelum Mama Astuti meneleponnya. Memintanya segera datang membawa kue-kuenya.
Anak-anak itu menyampaikan langsung sayang mereka kepada Arman. Arman sendiri sangat sayang kepada Halwa dan Salwa. Anak-anak yang mau berjuang membantu Laila.
Arman sangat kecewa karena tidak bisa mengutarakan perasaannya kepada Laila sebelum pernikahannya. Mungkin itu sudah jalan yang terbaik untuknya dan Laila.
"Pak Arman harus pergi."
"Aku mau Pak Arman" Salwa menahan tangan laki-laki itu. Pun dengan Halwa.
"Pak Arman harus pergi, Kak, Dek." Laila berusaha melepas pegangan tangan Halwa dan Salwa yang tidak terlalu kencang.
"Ibu, kami mau Pak Arman." Rengek keduanya saling bersahutan.
Laila menggelengkan kepala, meminta anak-anaknya untuk berhenti menangis dan merengek. Anak-anak itu pun tenang tanpa suara.
Arman mengusap pucuk kepala Halwa dan Salwa.
"Kalian baik-baik bersama Ibu Laila."
Dengan air mata yang terus mengalir Halwa dan Salwa mengangguk. Mengikhlaskan orang yang dianggapnya Baba meninggalkannya untuk membangun rumah tangga bersama orang lain.
"Aku pergi" pamit Arman yang langsung diangguki oleh Laila. Mereka pun berpisah dan ini merupakan pertemuan terakhir mereka.
Tanpa menoleh lagi Arman segera pergi menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. Lalu keluar ruko dan langsung tancap gas menuju hotel. Tempat di mana dirinya akan mengucapkan ijab kabul atas nama Inggit.
Laila memeluk kedua anaknya selepas kepergian Arman. Memberikan pengertian yang mudah dipahami oleh Halwa dan Salwa. Setelah tenang barulah Laila kembali turun dan langsung mendapatkan tatapan dari ketiga orang yang membantunya.
"Pasti rasanya sangat sakit ya, Laila?." Tanya Mbak Juma kepo.
Laila tersenyum, benar-benar tersenyum tulus tanpa beban dan sakit seperti yang dikatakan Mbak Juma.
"Kenapa harus sakit? Memangnya saya dilukai?."
"Kamu hebat" mbak Atun mengacungi jempol kepada Laila.
"Kalau jodoh mau apapun yang terjadi itu pasti akan kembali pada kita. Tapi kalau bukan jodoh kita ya akan pergi begitu saja" lanjut Mbak Atun.
Laila mengangguk sembari senyum.
Laila sangat bersemangat menyelesaikan pekerjaan yang telah ditugaskan kepadanya. Masih ada banyak dan harus segera diselesaikannya. Mereka kerja bahu membahu supaya pekerjaan selesai tepat waktu dan tidak mengecewakan.
Sudah ada banyak kue yang dihasilkan dan dibawa ke sana hotel. Dinikmati orang-orang yang ada di ballroom. Sampai-sampai mereka tidak bisa istirahat bersama-sama. Mereka harus bergantian supaya tetap bisa memanggang dan mengukus.
Sejenak Laila meluruskan pinggang dan punggungnya. Kemudian handphonenya berdering. Nama Teh Linda yang tertera di sana.
"Assalamualaikum, Teh."
"Waalaikumsalam, Laila."
Laila tidak bertanya apapun dulu saat mendengar Teh Linda menangis.
"Sore ini sore terakhir kami di rumah kamu membuat kue." Ucap Teh Linda dengan suara tangis yang mulai mereda.
Laila memejamkan mata sambil menghela napas panjang namun pelan.
"Tidak jadi besok, Teh?."
"Tidak, Laila. Sekarang saja mereka sudah berjaga di depan rumah kamu. Tidak memberikan waktu lagi pada kami, kami akan pergi Laila."
Laila segera menghapus air matanya. Dirinya tidak boleh lemah untuk mereka yang sedang bersedih.
"Kita sudah tidak ada utang pesanan 'kan?."
"Tidak ada, semuanya sudah selesai."
"Alhamdulillah."
"Kita telah kehilangan semuanya, Laila." Isak Teh Yayuk buka suara.
"Insya Allah, Allah mempunyai rencana yang jauh lebih baik daripada ini. Kita semua harus sabar dan bisa menerima."
"Kami tidak sekuat kamu, Laila."
"Nanti pulang ke rumahku saja kalau sudah pulang dari acara nikahan Pak Arman."
"Terima kasih, Teh Yayuk."
"Kamu bisa pulang ke rumahku juga." Sahut Teh Linda.
"Terima kasih."
Laila menyudahi teleponnya saat mendengar orang-orang baik yang telah membantunya diusir dari rumahnya. Laila sendiri belum bicara pada Salwa dan Halwa mengenai ini. Pasti mereka akan sangat bersedih kehilangan rumah peninggalan kedua orang tuanya. Satu-satunya kenangan yang mereka miliki.
Air wudhu satu-satunya yang dapat menyapu bersih air matanya yang terus menetes tanpa henti. Dengan segala kerendahan hati, Laila menyimpan kebesaran sang Ilahi dalam hati dan lisannya. Meminta diberikankan kekuatan, kekuatan dan kekuatan serta kesabaran yang luas.
Wajahnya dibiarkannya basah, hatinya mulai kembali tenang dan bisa bekerja fokus dengan maksimal. Kemampuannya sebagai pembuat kue benar-benar sedang diuji.
Waktu sudah menujukkan pukul dua dini malam, kini giliran Laila yang istirahat. Waktu baiknya digunakan untuk mengangkat tinggi-tinggi tangannya. Mengadukan semua yang menimpanya, yang dirasakannya, yang dikhawatirkannya. Air matanya kembali tumpah ruah di atas sajadahnya.
Cukup lama Laila berdoa, hati dan pikirannya kini lebih enteng dan tenang dalam menerima semua musibah yang menimpanya. Laila turun lagi menemani Mbak Imah. Kemudian membuat sisa kue yang harus diselesaikannya.
"Kamu tidak tidur?."
"Aku tidak mengantuk."
"Tapi kamu tidak apa-apa tidak tidur?."
Laila tersenyum. "Tidak apa-apa, saya sudah terbiasa."
Pagi ini puncaknya dari serangkai acara yang telah berjalan dari satu minggu yang lalu. Pernikahan Arman dan Inggit dilaksanakan, ijab kabul sekitar pukul tujuh. Kue-kue pun yang dibawa sangat banyak dan sisanya sekitar pukul dua siang karena acara hanya sampai pukul lima sore.
Sudah tidak ada yang lagi yang bisa dipikirkan Laila selain kue, kue dan kuenya harus selesai tepat waktu. Kalau bisa sebelum waktunya sebab pembayarannyanya sudah diterimanya. Supaya dirinya bisa segera membawa pulang anak-anak tanpa harus takut kemalaman di jalan. Karena susah juga kendaraan yang ke arah kampungnya kalau sudah malam.
Tepat pukul sebelas siang Laila sudah menyelesaikan pekerjaannya. Merapikan ruko, tidak meninggalkan perlengkapan kue yang kotor. Semuanya telah bersih.
"Kita pulang sekarang, Bu?."
"Iya, Kak."
"Tidak pamit sama Ibu Astuti dan Pak Arman?."
"Semalam Ibu sudah pamit kalau sudah selesai akan langsung pulang."
"Iya, Bu."
Bersambung....
ayo Arman gercep nanti Laila dilamar orang lain
ditunggu Kaka othor up nya