"Tolong maafkan aku waktu itu. Aku nggak tahu bakal kayak gini jadinya," ucap Haifa dengan suara pelan, takut menghadapi tatapan tajam Nathan. Matanya menunduk, tak sanggup menatap wajah pemuda di depannya.
Nathan bersandar dengan tatapan tajam yang menusuk. "Kenapa lo besoknya nggak jenguk gue? Gue sakit, dan lo nggak ada jenguk sama sekali setelah hari itu," ucapnya dingin, membuat Haifa semakin gugup.
Haifa menelan ludah, tangannya meremas ujung pasmina cokelat yang dikenakannya. "Plis maafkan aku... aku waktu itu lagi di luar kota. Aku beneran mau jenguk kamu ke rumah sakit setelah itu, tapi... kamunya udah nggak ada di sana," jawabnya dengan suara gemetar, penuh rasa bersalah.
mau kisah selengkapnya? ayo buruan bacaa!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pertarungan cinta dimulai
Setelah mengambil buku di rumah, Haifa berangkat ke kampus bersama Gus Zayn. Perjalanan itu seharusnya terasa biasa saja, tetapi bagi Haifa, ada sesuatu yang mengganjal. Pikiran-pikiran tentang pandangan orang lain terus menghantuinya. Dua publik figur dalam satu mobil? Itu akan menjadi bahan pembicaraan yang tak ada habisnya.
Saat kampus sudah mulai terlihat, Haifa mengalihkan pandangannya ke arah Gus Zayn. “Zayn, lebih baik aku turun di sini aja, ya,” ucapnya dengan nada ragu.
Gus Zayn menoleh dengan alis sedikit terangkat. “Kenapa? Ini masih lumayan jauh, Ifa.”
Haifa menarik napas panjang, mencoba menyusun kata-kata. “Nggak kok, Zayn. Tapi… nanti kalau orang-orang kampus lihat kita satu mobil gimana?” Ia menunduk, merasa semakin tak nyaman dengan pikirannya sendiri.
Gus Zayn tertawa kecil, santai seperti biasa. “Ya bilang aja kita saudara. Gampang, kan?” jawabnya ringan, seolah masalah itu bukan sesuatu yang perlu dipikirkan.
Haifa terdiam, menatap Gus Zayn dengan ekspresi rumit. Ia bingung dengan perubahan sikap pria itu—santai, bahkan seolah tak peduli dengan konsekuensi dari tindakan ini. “Zayn… aku nggak enak. Nama kamu bisa jadi bahan omongan. Aku nggak mau itu terjadi,” ucap Haifa pelan, suaranya hampir berbisik.
“Kalau aku nggak peduli, kenapa kamu harus peduli?” balas Gus Zayn, kali ini nada suaranya terdengar sedikit serius. Tatapan matanya menembus kebingungan Haifa, membuat gadis itu kehilangan kata-kata.
Setelah beberapa saat, Haifa hanya menarik napas panjang, menyerah pada argumen itu. Ia mengangguk kecil dan memutuskan untuk menuruti perkataan Gus Zayn, meskipun hatinya tetap berkecamuk.
Mobil berhenti beberapa meter sebelum gerbang kampus. Haifa membuka pintu, lalu melirik Gus Zayn sekali lagi. “Makasih, Gus,” ucapnya singkat sebelum buru-buru keluar, takut ada yang melihat mereka bersama. Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah cepat, meninggalkan pria itu.
Gus Zayn hanya menatap punggung Haifa yang semakin menjauh, bibirnya membentuk garis tipis. “Ifa…” gumamnya pelan, penuh arti yang tak terucap. Ada perasaan yang sulit ia ungkapkan, sesuatu yang selama ini ia sembunyikan dengan rapi di balik sikap santainya.
Haifa, di sisi lain, berjalan menuju kampus dengan pikiran berkecamuk. Langkahnya terasa berat, bukan karena perjalanan, tetapi karena konflik batinnya. Ia mencoba mengabaikan perasaan yang mulai tumbuh dalam hatinya—sesuatu yang ia tahu tak boleh terjadi. Namun, bayangan tatapan Gus Zayn tadi terus menghantuinya, membuatnya semakin tak tenang.
...****************...
Di seberang jalan, Nathan terlihat berlari mendekati Gus Zayn, yang masih berdiri di samping mobilnya, tenggelam dalam pikirannya tentang Haifa. "Hai, Zayn," sapa Nathan dari belakang, suaranya cukup keras hingga membuyarkan lamunan Gus Zayn.
"Astaghfirullah, ngagetin aja, kamu, bro!" Zayn tersentak, menoleh dengan ekspresi kesal.
Nathan tertawa lepas. "Yaelah, sekarang udah mode alim ternyata, ya. Gus Zayn." Nada suaranya jelas menggoda.
"Yaelah, apaan sih? Ngapain lo ke sini?" Zayn bertanya, mencoba mengendalikan wajahnya yang hampir memerah karena lamunan tadi.
"Nggak ada apa-apa, cuman lewat, terus lihat lo ngelamun. Gaya lo tadi kayak orang lagi mikirin sesuatu berat," Nathan menjawab santai sambil menyeringai.
"Tau aja lo," Zayn membalas pendek, mencoba terlihat tenang meski masih sedikit terganggu.
Nathan melipat tangannya, lalu memiringkan kepala. "Eh, bro, masa gua suka sama cewek yang suka pakai baju hitam? Kan aneh, ya? Bukannya gua biasanya suka yang girly gitu."
Zayn menaikkan alis, sedikit bingung. "Emangnya lo suka sama siapa? Sama..." Dia mendadak terdiam, lidahnya terpeleset sebelum sempat berhenti. "...Haifa," ucapnya tanpa sadar menyebut nama yang sejak tadi ada di pikirannya.
Nathan yang awalnya santai langsung menegakkan tubuhnya. "Haifa? Lo kenal dia, bro?" tanyanya dengan nada penuh rasa penasaran.
Zayn terkejut sesaat, tetapi segera menyembunyikan rasa gugupnya dengan tawa kecil. "Eh, maksud gue… gue kira lo ngomongin dia. Cewek yang suka baju hitam, kan? Haifa doang yang gue tau, bro."
Mata Nathan menyipit, mencoba mencari kejujuran di wajah Zayn. "Iya, sih... Dia. Jadi lo kenal dia?"
"Ya kenal, dia teman, kok. Nggak lebih." Zayn berusaha terdengar santai, tapi Nathan sudah cukup lama mengenalnya untuk tahu ada sesuatu yang ia sembunyikan.
"Seriusan, bro?" Nathan menatap Zayn curiga, tapi akhirnya mengangkat bahu. "Yah, kalau iya, lo nggak keberatan, kan, kalau gua deketin dia?" ucapnya, setengah bercanda, tapi ada kesungguhan di matanya.
Zayn merasakan sesuatu mencubit dadanya mendengar itu. Namun, dengan senyum tipis yang terlatih, dia menjawab, "Terserah lo aja, bro. Kalau lo bisa bikin dia suka, good luck." Tapi dalam hatinya, ada perasaan yang tidak dia mengerti—seolah Nathan baru saja menginjak wilayah yang ingin ia lindungi.