Kirana, wanita berusia 30 an pernah merasa hidupnya sempurna. Menikah dengan pria yang dicintainya bernama Arga, dan dikaruniai seorang putri cantik bernama Naya.
Ia percaya kebahagiaan itu abadi. Namun, segalanya berubah dalam sekejap ketika Arga meninggal dalam kecelakaan tragis.
Ditinggalkan tanpa pasangan hidup, Kirana harus menghadapi kenyataan pahit, keluarga suaminya yang selama ini dingin dan tidak menyukainya, kini secara terang-terangan mengusirnya dari rumah yang dulu ia sebut "rumah tangga".
Dengan hati hancur dan tanpa dukungan, Kirana memutuskan untuk bangkit demi Naya. Sekuat apa perjuangan Kirana?
Yuk kita simak ceritanya di novel yang berjudul 'Single mom'
Jangan lupa like, subcribe dan vote nya ya... 💟
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep. 34 - Momen haru
Ep. 34 - Momen haru
🌺SINGLE MOM🌺
Beberapa hari kemudian, Kirana mendapat panggilan dari kantor polisi. Informasi yang disampaikan pihak berwajib membuatnya terpaku sejenak.
"Sebagian uang yang diambil Aryo berhasil disita. Kami mohon Anda datang untuk proses pengembalian," jelas seorang petugas di telepon.
Kirana pun segera bersiap. Dengan hati penuh harapan, ia meninggalkan Naya di ruko dan menitipkannya pada para karyawan, lalu menuju kantor polisi.
Sesampainya di sana, seorang petugas menemui Kirana di ruang tunggu.
“Bu Kirana, kami berhasil menyita sekitar 60 persen dari uang Anda yang diambil Aryo. Sayangnya, sisanya kemungkinan sudah digunakan atau disembunyikan,” katanya, serius.
Kirana merasa kecewa, namun meski merasa kehilangan, ia tetap bersyukur. "Terima kasih, Pak."
Kemudian petugas menyerahkan dokumen yang harus ditandatangani Kirana. Setelah itu, ia menyerahkan koper berisi uang yang sudah dihitung. “Gunakan dengan bijak, Bu. Anda sangat beruntung bisa mendapatkan ini kembali.”
Saat tiba di rumah, Kirana duduk di ruang tamu dengan koper di hadapannya. Ia menatap uang itu sambil mengingat perjuangannya.
Tanpa menunda lama, Kirana langsung menggunakan uang tersebut untuk membeli stok bahan yang sempat kosong dan membayar hutang-hutangnya juga hutang yang di tinggalkan si Rini.
Dengan bantuan timnya yang setia, ia mulai menerima kembali pesanan yang tertunda. Dan kabar usaha catering Kirana kembali berjalan dan menyebar cepat. Bahkan pelanggan yang sempat ragu mulai kembali memesan.
**
Hari-hari berlalu, kini akhirnya tiba di hari yang istimewa. Di rumah Kirana, suasana penuh kegembiraan. Naya berlari-lari kecil di ruang tamu sambil memakai toga kecilnya.
“Ibu, lihat! Aku sudah siap!,” seru Naya dengan tersenyum lebar.
Kirana pun tertawa kecil sambil merapikan rambut putrinya. “Naya, jangan lari-lari dulu. Nanti togamunya kusut. Hari ini Naya harus terlihat paling cantik.”
Naya pun mengangguk antusias. “Iya, Bu. Aku kan mau nyanyi di depan teman-teman.”
Ketika Kirana dan Naya tiba di sekolah, suasana sangat meriah dengan hiasan balon warna-warni dan panggung kecil di tengah aula.
Para orang tua sibuk berfoto bersama anak-anak mereka yang mengenakan toga kecil.
Kirana mengantar Naya ke barisan teman-temannya sebelum menuju area tempat duduk orang tua.
Ia melihat para ibu yang dulu pernah menjauhinya kini hanya melempar senyum kecil, sementara beberapa mencoba menyapanya dengan canggung.
“Bu Kirana, selamat ya. Naya pasti bangga punya ibu yang hebat,” ujar salah satu ibu yang pernah bersikap dingin.
"Terima kasih. Semoga kita semua terus mendukung anak-anak kita," balas Kirana, tersenyum hangat.
Beberapa saat kemudian, acara pun dimulai dengan sambutan dari kepala sekolah. Setelah itu, satu per satu anak dipanggil ke panggung untuk menerima ijazah mereka.
Ketika nama Naya dipanggil, tepuk tangan bergema di aula. Naya melangkah dengan percaya diri dengan senyum lebarnya yang tidak pernah pudar.
Kirana mengabadikan momen itu dengan kamera ponselnya. Saat melihat putrinya berpose dengan banyak gaya, mata Kirana pun berkaca-kaca.
“Selamat, sayang. Ibu bangga sekali sama kamu,” bisiknya ketika Naya kembali ke tempat duduknya.
Setelah semua anak menerima ijazah, acara dilanjutkan dengan penampilan spesial dari anak-anak yang ingin menunjukkan bakat mereka.
Naya termasuk salah satu dari mereka. Ia lalu naik ke panggung, sambil memegang mikrofon dengan tangan kecilnya. “Aku mau nyanyi lagu kesukaan Ibu. Untuk Ibu tercinta,” katanya dengan suara polos.
Kirana menutup mulutnya dengan tangan karena terharu. Lagu yang dinyanyikan Naya sederhana, tetapi setiap liriknya terasa menyentuh hati. Suara polosnya memenuhi ruangan, hingga membuat semua orang terpaku.
"Mas Arga... Lihatlah, kamu pasti bangga melihat Naya, Mas...."
Sepulangnya dari acara, Naya langsung memamerkan ijazahnya. “Bu, aku sudah lulus! Apa aku langsung masuk SD?," tanyanya bersemangat.
“Iya, sayang. Tapi kita santai dulu ya sebelum sekolah baru dimulai. Ibu akan membuat pesta kecil untuk merayakan kelulusanmu.”
Malam itu, Kirana mengadakan makan malam sederhana di rumah. Naya tampak bahagia saat meniup lilin kecil di atas kue yang Kirana buat.
Setelah Naya tertidur, Kirana duduk di ruang tamu sambil menatap toga kecil yang tergantung di kursi. Ia merasa lega dan bersyukur meskipun perjalanan hidupnya penuh tantangan.
“Ini semua untukmu, Naya. Aku akan terus berjuang demi kebahagiaanmu,” bisiknya dengan senyum yang mulai mengembang di tengah keheningan malam.
**
Dua hari setelah kelulusan Naya, Kirana berencana mengajak Naya ke suatu tempat.
Pagi itu, angin bertiup lembut membawa aroma rumput basah dari hujan semalam. Langit cerah dengan beberapa awan putih menggantung di atas langit.
Kirana menggandeng tangan Naya yang kini sudah berusia tujuh tahun. Mereka berjalan perlahan menuju makam Arga di area pemakaman yang sunyi dan asri.
Naya memegang bunga mawar putih di tangannya, dan sesekali menatap ibunya yang terlihat tenang tapi wajahnya terlihat sedih. “Bu, ayah suka bunga ini ya?,” tanyanya polos.
Kirana tersenyum tipis, sambil menahan air mata yang mulai menggenang. “Iya, sayang. Ayahmu suka sekali. Karena bunga ini melambangkan kedamaian.”
Saat tiba di depan nisan bertuliskan nama Arga, Kirana langsung berlutut. Ia menyentuh nisan itu dengan lembut seolah ingin merasakan kehadiran Arga.
Naya yang berdiri di sampingnya, menatap makam ayahnya dengan ekspresi bingung bercampur sedih.
“Ibu, ayah masih ada di sini?,” tanya Naya dengan mata yang berkaca-kaca.
“Ayahmu sudah di tempat yang lebih indah, sayang. Tapi kita tetap bisa berbicara dengannya di sini. Ayah selalu mendengarkan kita," jelas Kirana, lembut.
Naya pun mengangguk pelan, lalu ikut berlutut di samping Kirana. “Ayah, aku sudah besar sekarang. Aku sudah lulus TK,” katanya dengan suara lirih.
Tak mampu lagi menahan air mata, Kirana pun mulai menangis sambil berbicara ke arah makam.
“Mas Arga, maafkan aku yang baru bisa ke sini lagi. Begitu banyak hal terjadi, begitu banyak yang harus aku lalui tanpamu. Tapi aku tetap mencoba kuat, Mas... untuk Naya... hiks hiks hiks...."
Naya menatap ibunya yang terisak dan ikut menangis. Ia lalu menggenggam tangan Kirana dengan erat, dan mencoba menenangkannya. “Ibu, jangan sedih. Aku di sini, aku akan jaga Ibu. Kita kan berdua terus.”
Kirana pun memeluk Naya dengan erat, air matanya pun mengalir semakin deras. “Ibu tahu, sayang. Kamu yang membuat Ibu terus bertahan. Tapi terkadang, Ibu hanya ingin bicara sama Ayahmu. Ibu rindu... hiks hiks hiks...."
Setelah beberapa saat, Kirana mengelap air matanya lalu menatap Naya.l dengan lekat. “Ayo, kita doakan Ayah. Kita kirimkan doa supaya Ayah selalu tenang di sana.”
Naya mengangguk, lalu mereka menengadahkan tangan, memanjatkan doa dengan khusyuk. Angin bertiup lembut, seolah menjadi tanda bahwa Arga mendengar doa mereka.
Ketika mereka beranjak pergi, Naya menggenggam tangan ibunya lebih erat. “Bu, aku janji akan selalu buat Ibu bangga. Aku yakin Ayah juga pasti bangga sama kita.”
Kirana pun tersenyum meski air mata masih membasahi pipinya. “Ibu yakin itu, sayang. Ayah pasti bangga. Dan Ibu juga selalu bangga padamu.”
Bersambung...