Agnes tak pernah menyangka, sebuah foto yang disalahartikan memaksanya menikah dengan Fajar—dosen pembimbing terkenal galak dan tak kenal kompromi. Pernikahan dadakan itu menjadi mimpi buruk bagi Agnes yang masih muda dan tak siap menghadapi label "ibu rumah tangga."
Berbekal rasa takut dan ketidaksukaan, Agnes sengaja mencari masalah demi mendengar kata "talak" dari suaminya. Namun, rencananya tak berjalan mulus. Fajar, yang ia kira akan keras, justru perlahan menunjukkan sisi lembut dan penuh perhatian.
Bagaimana kelanjutan hubungan mereka? Apakah cinta bisa tumbuh di tengah pernikahan yang diawali paksaan? Temukan jawabannya di cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Fajar terpaku mendengar ucapan Agnes. Ia menatap istrinya dengan wajah kaku, seperti prosesor yang mendadak nge-lag. “Ganjel?” ulangnya pelan, bingung sekaligus merasa ada yang... salah.
Agnes, yang wajahnya sudah merah padam seperti tomat matang, menggigit bibir sambil melirik ke bawah, tepat ke arah tubuh Fajar. Dengan nada pelan tapi tetap jelas terdengar, ia bergumam, “Iya, kayak... di bagian bawah situ... kayak ada yang keras gitu.”
Mata Fajar otomatis melebar. Otaknya langsung memproses kemungkinan yang dimaksud Agnes, dan entah kenapa ia merasa harus segera memperbaiki situasi. Sayangnya, mulutnya mendadak seperti dikunci. Alih-alih berkata sesuatu yang masuk akal, ia malah berdiri kaku seperti patung.
Agnes, yang awalnya bingung, perlahan menyadari apa yang baru saja ia ucapkan. Wajahnya semakin merah—jika memungkinkan, mungkin sekarang sudah mirip cabai rawit. “Ya ampun...” bisik Agnes, menutup wajah dengan kedua tangan. “Pak, itu... itu bukan ganjel biasa, kan?”
Fajar yang biasanya kalem dan kontrol diri level tinggi, kali ini benar-benar kalah. Ia mengalihkan pandangan ke sudut ruangan, mencoba terlihat tenang. “Nes, kamu nggak perlu bahas itu,” katanya lirih, meski jelas nada suaranya bergetar.
Tapi Agnes tetap penasaran. Ia menurunkan tangannya perlahan, menatap Fajar dengan campuran rasa malu dan geli. “Jadi... itu karena aku, ya?” tanyanya polos, tapi dengan tatapan yang tajam—seperti tidak akan berhenti sebelum mendapat jawaban.
Fajar menghela napas panjang. Ia akhirnya berjalan mendekat, menunduk hingga wajahnya sejajar dengan Agnes. Dengan nada rendah penuh peringatan, ia berkata, “Nes, kalau kamu terus-terusan bahas ini, aku nggak yakin bisa kontrol diri.”
Kalimat itu sukses membuat Agnes terdiam. Wajahnya memerah lagi, bahkan kali ini seperti mau meledak. Ia langsung menjauh, melangkah cepat sambil berseru, “Pak, aku ke kamar mandi dulu, mau ganti baju!”
Fajar hanya bisa menggelengkan kepala, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Dalam hati, ia mengutuki reaksi tubuhnya yang terlalu responsif. “Apa ini karena aku udah tua?”
***
Keesokan Paginya...
Agnes duduk di depan cermin, menatap bayangannya sendiri. Dengan napas panjang, ia meyakinkan dirinya. Baiklah, karena sudah seperti ini kenapa tidak melanjutkan saja, dari pada minta talak yang berakhir sia-sia jadi ibu rumah tangga seperti tidak buruk. Apalagi punya suami speck pak Fajar. semangat Agnes kamu pasti bisa, gumamnya dalam hati, sambil mengepalkan tangan seperti pejuang yang siap berperang.
Ia melirik kamar mandi yang kini mengalirkan air cukup deras, pertanda jika Fajar masih membersihkan diri. "Aku akan membuat kejutan untuknya," gumamnya lagi dan pergi dari kamar menuju dapur dengan terburu-buru.
Dari arah dapur suara ketukan sendok dan gelas yang samar terdengar, Agnes tahu pembantu sudah menyiapkan sarapan seperti biasa. Tapi kali ini, Agnes punya misi besar, dia ingin membuat gebrakan baru-istri idaman.
“Aku harus bisa bikin sarapan sendiri buat Pak Fajar dan Nenek Grace!” tekadnya sambil mengencangkan tali celemek yang sudah terpasang di tubuhnya—lengkap dengan tulisan Best Wife Ever.
Tanpa pikir panjang, Agnes berlari kecil ke dapur. Saat pembantu rumah tangga melihatnya, wanita itu langsung mengangkat tangan, mencoba menghentikan Agnes.
“Bu Agnes, nggak usah repot-repot, saya kan udah—”
“Biar aku aja, Mbak!” potong Agnes dengan penuh percaya diri. Ia mendorong lembut pembantu itu keluar dari dapur.
“Sekali-sekali, aku mau masakin suamiku dan nenek. Mbak santai aja, ya!”
"Tapi Bu-" tolak pembantu itu.
"Tenang, aman kok," sahut Agnes meyakinkan pembantunya.
Pembantu itu terlihat ragu, tapi akhirnya mengalah dan keluar dari dapur, meski sambil mengintip sesekali.
Agnes menatap bahan-bahan di atas meja. Telur, roti, daging asap, dan beberapa bumbu dapur. Sepertinya mudah. Dia pernah lihat tutorialnya di YouTube. Apa susahnya bikin sarapan simpel?
Satu jam kemudian...
Kepulan asap dan bau gosong langsung menyebar ke seluruh rumah. Agnes panik di dapur, memegang panci dengan sarung tangan pink yang sudah ada bekas gosongnya. “Astaga! Kenapa bisa begini?!” jeritnya penuh kepanikan.
Fajar yang baru keluar dari kamar dengan wajah sumringahnya, langsung berhenti. Ia mengendus udara, alisnya berkerut. “Apa-apaan ini? Bau gosong?” Ia segera berlari ke dapur, dan pemandangan di sana membuatnya membeku.
Agnes berdiri di tengah kekacauan—panci gosong, telur yang entah kenapa berubah jadi hitam pekat, dan tumpukan roti yang salah satu sisinya hampir terbakar. Asap mengepul ke mana-mana dan beberapa pembantunya membantu membereskan kekacauan itu.
“Agnes!” seru Fajar, setengah panik. “Kamu ngapain, Nes?!”
Agnes menoleh dengan wajah memerah. “Lagi cosplay, Pak!"
Fajar menatap Agnes dengan ekspresi tidak percaya, istrinya masih sempat bercanda ditengah kekacauan yang dibuat. Ia menghela napas panjang setelah mendengar pembantunya mengatakan jika Agnes ingin membuat sarapan untuknya.
Fajar mencoba menahan tawanya yang hampir pecah. “Nes, kita punya pembantu. Sarapan itu udah beres tiap pagi. Kamu nggak perlu repot-repot.”
“Tapi aku mau jadi istri idaman untukmu! Istri yang bisa ngurus kamu dan nenek,” jawab Agnes, hampir menangis, tapi matanya tetap penuh tekad.
"Astaga, Nes. Kamu gak perlu melakukan ini, kamu bisa mengurusku dengan cara lain. Jangan memaksa dirimu jika tidak bisa," ucap fajar.
"Loh... Bapak meragukan kemampuanku?" sahut Agnes setengah kesal.
"Nes, bukan gitu maksudku," ucap Fajar bingung menjelaskan.
Saat itu, Nenek Grace masuk dengan tongkatnya, mengintip dapur sambil tersenyum kecil. “Fajar, kamu seharusnya bangga. Istrimu ini benar-benar berusaha. Meskipun, ya... hasilnya agak... berasap.”
Fajar menarik napas lalu tersenyum hangat. Ia berjalan mendekat, mengambil panci dari tangan Agnes dan meletakkannya di wastafel.
“Baiklah, Nes,” ujar Fajar dengan nada lembut, “kita coba bareng, ya. Tapi kali ini, aku yang pegang kompor, dan kamu jadi asistenku.”
Agnes mengerutkan kening, sedikit bingung. “Maksudnya?”
Fajar tersenyum tipis, menarik tangan Agnes yang masih memegang spatula. “Kamu pengen masakin aku, kan? Kalau gitu, aku bakal ajarin. Kita mulai dari yang sederhana. Jangan langsung eksperimen kayak mau bikin menu restoran.”
Agnes menggigit bibirnya, merasa malu tapi juga senang melihat Fajar yang begitu sabar. Ia mengangguk pelan. “Oke, aku akan jadi asisten terbaik.”
Fajar langsung mengambil alih situasi. Ia membuka kulkas, mengambil telur yang masih tersisa, dan memeriksa bahan-bahan lain. “Kita bikin scrambled egg sama toast aja. Simpel, enak, dan... kecil kemungkinan dapurnya kebakaran lagi.”
Agnes mendengus, pura-pura kesal. “Itu bukan salahku sepenuhnya, tahu! Kompor ini mungkin nggak ramah pemula.”
Fajar terkekeh, tapi tidak membalas. Ia sibuk memecahkan telur ke dalam mangkuk, lalu melirik Agnes. “Nah, sekarang giliran kamu. Aduk ini, tapi pelan-pelan. Jangan sampai tumpah.”
Agnes mengambil mangkuk itu dengan hati-hati, mulai mengocok telur sesuai instruksi Fajar. “Kayak gini, kan?”
“Bagus. Terus, tambahin sedikit garam. Jangan kebanyakan, cukup sejumput.” Fajar mencontohkan dengan gerakan tangan, dan Agnes langsung meniru.
Mereka berdua sibuk dengan perannya masing-masing. Agnes merasa seperti sedang ikut kelas memasak, tapi kali ini gurunya adalah suaminya sendiri. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Sesekali, Fajar memperbaiki gerakan Agnes, bahkan menggenggam tangannya untuk menunjukkan cara yang benar. Setiap kali itu terjadi, Agnes merasakan pipinya memanas.
Nenek Grace dan penghuni rumah itu sejak tadi memperhatikan dari jauh, tersenyum kecil. Mereka tidak menyela atau mengganggu, justru menikmati pemandangan manis di dapur yang belum pernah terjadi.
Setelah beberapa menit, sarapan sederhana itu pun selesai. Scrambled egg yang terlihat lembut, roti panggang yang sempurna, dan sedikit potongan buah sebagai pelengkap. Agnes menatap hasilnya dengan bangga.
“Wah, ini jauh lebih bagus dari yang tadi,” ujarnya, menatap Fajar dengan mata berbinar. “Ternyata masak nggak se-susah itu kalau ada yang bantuin.”
Fajar mengangkat bahu, memasukkan piring ke dalam nampan. “Karena kamu punya guru yang hebat.”
Agnes tertawa kecil. “Iya deh, Pak Guru.”
Mereka membawa sarapan ke meja makan, di mana Nenek Grace sudah menunggu. Ketiganya duduk bersama, menikmati hasil kerja sama yang tidak hanya menghasilkan makanan, tetapi juga momen hangat yang jarang terjadi.
“Fajar,” ujar Nenek Grace di tengah-tengah sarapan, “kamu beruntung punya istri yang mau belajar dan berusaha untukmu.”
Fajar melirik Agnes yang sedang tersenyum malu-malu. Ia mengangguk pelan, hatinya terasa hangat. “Iya, Nek. Aku tahu.”
"Aku yang lebih beruntung punya nenek mertua speck malaikat."
"Jadi nenek aja ini yang dapat pujian?" tanya Fajar.
Agnes tidak menjawab ia hanya menarik sudut bibirnya sambil menikmati makanannya. Tak lama kemudian di tengah-tengah sarapan itu Agnes berbicara lagi.
"Pak Fajar, sejak semalam aku nemu barang ini, fungsinya apa ya?" tanya Agnes sambil menyerahkan sekotak kondom. Tentu saja hal itu langsung membuat Fajar dan nenek Grace tersendak.
eh ini kok malah minta tolong ke fajar buat jd kekasih adiknya sehari.. haduuh itu malah bikin sherly tambah gila lah
licik sekali kamu Serly,,,,,,