Sabrina Alexandra, gadis bar-bar yang frontal dan minus akhlak, hidupnya mendadak jungkir balik. Pulang ke kampung halaman, tiba-tiba saja ia di nikahkan paksa oleh bapaknya, Abiyan Fauwaz, dengan seorang lelaki yang lebih tua 9 tahun darinya. Siapa lelaki itu? Gus Sulaiman Faisal Zahid-seorang ustaz dengan aura santun, tampilan alim, dan bahasa serba syariah. Masalahnya? Sabrina yang biasa bebas, santai, dan dikejar banyak pria, dipaksa menikah dengan lelaki yang mengatakan, "Saya melamar putri bapak, karena beliau sudah saya sentuh." WHAT?! Seorang Sabrina yang bahenol dan penuh pesona malah jadi rebutan ustadz tak dikenal?! "Bapak, apa-apaan sih? Aku gak kenal dia!" protes Sabrina sambil menjambak rambut sendiri. Tapi, bapaknya tak peduli. Demi menyelamatkan anaknya dari kehidupan yang sudah miring 180 derajat, Abiyan tetap bersikeras. Tapi Abiyan tak peduli. Dengan santai, ia menjawab, "Kalau kalian gak saling kenal, ngapain nak Aiman jauh-jauh buat lamar kamu? Pokoknya bapak tetap pada pendirian! Kamu harus menikah dengan dia!" "Bapak egois banget!!!" protes Sabrina. "Ini demi kebaikan kamu, agar gak terlalu tersesat ke jalan yang salah," jawab Abiyan tegas. Sabrina merasa dunia tak lagi adil. Tapi apa yang terjadi saat dua orang dengan dunia yang bertolak belakang ini dipaksa bersanding? Akankah Sabrina yang bar-bar ini berubah, atau justru Gus Sulaiman yang pusing tujuh keliling menghadapi Sabrina?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14
Sabrina tertegun di tempat, alisnya terangkat tinggi mendengar ucapan Mang Pian.
"Mang, serius Mang? Ustadz Aiman bilang begitu?" tanyanya dengan nada tidak percaya, sambil menunjuk ke arah warung yang baru saja ditinggalkan Aiman.
Mang Pian mengangguk mantap sambil tersenyum lebar. "Iya, neng. Tadi ustadz bilang insyaallah neng itu calon. Mang doain aja semoga lancar. Masyaallah, mantap ya calon suaminya soleh banget."
Sabrina langsung mendengus kesal, matanya melotot kecil. "Astaga Mang, dia itu ngehalu kali. Saya nggak pernah bilang mau nikah sama dia. Nggak pernah, Mang! Om ustadz itu bener-bener ya... bikin berita sendiri!" protes Sabrina sambil mengetuk meja warung dengan jarinya.
Mang Pian hanya terkekeh santai. "Ah, neng jangan begitu. Ustadz Aiman itu orangnya baik kok. Kalau dia bilang gitu, pasti dia serius. Lagian neng ini juga cocok kok sama ustadz. Nanti kan bisa saling melengkapi."
"Lengkapi apanya, Mang? Gue sama dia kayak minyak sama air! Mending gue dijodohin sama anak Mang yang lagi merantau itu deh, masih mending!" jawab Sabrina sarkastik, tangannya gemetar kesal sambil memegang plastik nasi gorengnya.
Mang Pian tertawa kecil. "Aduh, neng. Jangan ngomong gitu. Kalau memang jodoh nggak bakal ke mana. Lagian ustadz Aiman itu kelihatan niat banget, lho. Dia tadi sampai doain di sini. Kalau Mang boleh bilang, neng jangan nolak rejeki yang sudah di depan mata."
Sabrina hanya menggeleng kuat-kuat. "Udahlah, Mang. Saya nggak mau dengerin lagi. Makasih nasi gorengnya ya, saya pulang dulu!" katanya dengan suara ketus, lalu berbalik pergi sambil menggerutu.
Saat berjalan menjauh dari warung, Sabrina menggigit bibirnya, mencoba menahan amarah. "Gila itu orang. Main bilang calon-calon aja kayak gue nggak punya suara. Mentang-mentang dia ustadz, seenaknya bikin aturan sendiri!" gumamnya sambil berjalan cepat ke arah rumah.
Namun, di dalam hati, Sabrina tidak bisa mengabaikan sedikit rasa bingung dan... sesuatu yang lain. Entah kenapa, meski ia kesal, ada perasaan aneh yang mengganggunya sejak pertama kali ia bertemu Aiman. Perasaan itu bercampur antara jengkel, penasaran, dan rasa takut untuk terlalu dekat dengan lelaki itu.
Sambil membuka pagar rumah, ia masih mengomel sendiri, "Bener-bener ya. Dasar Om ustadz sok alim. Gue nggak bakal tunduk sama aturan lo, inget itu." Tapi, entah kenapa, bayangan senyum tenang Aiman kembali muncul di pikirannya, membuat langkahnya sedikit terhenti.
Sabrina melangkah cepat dengan wajah penuh tekad. Dari kejauhan, ia melihat sosok Aiman yang sedang berjalan santai beberapa meter di depannya. Saat jarak mereka semakin dekat, Sabrina langsung berteriak.
"Om Ustadz!!!" suaranya menggema, cukup keras untuk menarik perhatian beberapa orang yang sedang lewat. Ia juga melambaikan tangannya, membuat Aiman berhenti dan menoleh ke belakang. Tatapan pria itu seperti biasa: tenang dan penuh tanya.
"Ada apa kamu panggil saya seperti itu?" tanya Aiman dengan nada datar, memberi jarak beberapa langkah dari Sabrina.
Sabrina langsung mengulurkan sorban yang tadi disampirkan di bahunya, bersama dengan uang lima puluh ribu yang ia genggam erat. "Nih, sorbannya, dan ini uangnya. Gue bayar nasi goreng tadi," ucap Sabrina cepat.
Aiman mengerutkan kening, menatap kedua benda itu dengan ekspresi bingung. "Buat apa? Kamu ambil saja uangnya, dan sorban itu kamu simpan," katanya santai.
Sabrina mendengus kesal. "Ck, gue bilang gue mau bayar! Gue nggak butuh traktiran lo!" katanya mendesak, sorban dan uang itu hampir ditempelkan ke dada Aiman.
Namun, Aiman tetap bergeming, menatap Sabrina dengan pandangan datar namun tegas. "Tidak perlu. Kamu simpan saja uang itu untuk keperluan lain. Saya ikhlas mentraktir kamu."
"Kalau begitu, ambil aja sorban ini!" sergah Sabrina lagi, kali ini mencoba memaksa tangan Aiman untuk menerima kain itu.
Alih-alih mengambil, Aiman malah melipat tangannya di depan dada sambil tersenyum tipis. "Kamu simpan saja sorban itu. Toh, sebentar lagi kamu akan jadi istri saya. Anggap itu hadiah kecil."
Sabrina mendelik tajam, wajahnya memerah. "GAK!!! Aku nggak mau bawa pulang, sudah cukup ya! Keluarga gue udah curiga gue ada apa-apanya sama ustadz," kata Sabrina dengan cepat menolak.
Aiman hanya tersenyum santai, matanya penuh kepercayaan diri. "Bagus dong, biar kalau perlu sekarang saya ke rumah kamu supaya orang tua kamu tidak semakin curiga lagi."
Sabrina membelalakkan mata, geram. "CK! Apa-apaan sih?! Gue nggak mau jadi istri lo! Gila aja lo pikir gue akan nikah sama lo?!"
Aiman tetap tenang, tidak sedikit pun terpengaruh. "Bukan pilihanmu, Sabrina. Saya sudah memutuskan untuk menikahimu. Dan saya akan datang ke rumahmu, cepat atau lambat."
Sabrina langsung meremas ujung sorban itu, geram setengah mati. "Denger ya, gue nggak ada niat buat nikah sama lo. Jangan sok tahu mau datang ke rumah gue segala!" ucapnya tajam.
Namun, Aiman hanya tersenyum kecil, kali ini lebih menenangkan. "Kamu boleh ngomong apa saja, tapi saya ini laki-laki yang memegang prinsip. Kalau saya sudah bilang mau menikahi kamu, maka saya akan buktikan itu."
Sabrina mendengus keras. "Gue udah bilang berkali-kali, gue nggak mau nikah sama lo! Udah cukup, lo nggak usah ngatur-ngatur hidup gue!" serunya sambil melangkah mundur.
Namun Aiman masih melanjutkan, suara penuh keyakinan. "Kalau kamu terus seperti ini, nggak masalah. Saya bisa datang sekarang ke rumahmu."
Mendengar itu, Sabrina langsung mengepalkan tangannya, rasa kesalnya semakin memuncak. "Gue bilang nggak mau! Udah, selesai!" teriaknya dengan nada marah.
Dengan geram, Sabrina memutar badan dan bergegas masuk ke dalam gang rumahnya yang ada di depan Aiman, masih menggenggam sorban itu erat-erat.
Sementara Aiman hanya terkekeh kecil melihat kelakuan Sabrina yang keras kepala itu, tampak puas melihat betapa kesalnya perempuan itu. "Lihat saja, kamu tidak bisa menolak saya, Sabrina," gumamnya pelan sebelum akhirnya berjalan perlahan meninggalkan tempat itu.
Sabrina berjalan masuk ke dalam rumah dengan sorban yang masih tergenggam di tangannya. Begitu ia memasuki ruang tengah, seisi keluarga langsung menatapnya dengan tatapan tajam dan penuh curiga. Sabrina keheranan melihat ekspresi mereka yang begitu serius.
"Kenapa kalian semua ngeliatin gue gitu banget sih?" tanya Sabrina sambil berdiri, kebingungan dengan tatapan yang ditujukan padanya.
Abiyan, ayahnya, langsung mengerutkan kening. "Itu sorban di tangan kamu, milik siapa, Nak?" tanyanya dengan nada tegas, sambil menunjuk ke arah tangan Sabrina.
Sabrina tersadar. Jemarinya masih memegang erat sorban itu. Matanya membelalak saat ia menyadari kesalahan besar yang baru saja ia buat.
"Sial! Bagaimana bisa gue lupa sama sorban ini?! Arghh, bisa habis gue malam ini!" batin Sabrina, panik.
Dalam situasi ini, Sabrina tahu ia tidak punya pilihan selain berbohong dengan logis agar keluarganya tidak semakin curiga. Tapi adik-adiknya, yang terkenal licik, sudah menangkap celah kebohongannya. Mereka mulai menghasut kedua orang tuanya agar Sabrina mengakui apa yang sebenarnya terjadi.
Sabrina berusaha tetap mengelak, meski jelas keringat mulai membasahi dahinya. Dia memutar balikkan cerita, berkata dengan santai, "Ini? Gue nemu di jalan tadi. Kayaknya sorban yang jatuh dari orang, jadi gue bawa aja. Kebetulan sore tadi ada angin kencang."
"Bukannya kemarin kamu juga dapat sorban kayak gini, Kak? Katanya dikasih sama Pak RT kan? Lain dari Ustadz Aiman?" ucap Gina, dengan nada sengit.
"I-iya, Mak! Itu dikasih sama Pak RT. Kenapa sih Mama yakin kalau itu dari ustadz Aiman? Gak mungkinlah, wong ketemunya sama Pak RT!" bohong Sabrina, berusaha menutupi kebenaran.
"Yakin itu bukan dari ustadz Aiman?" tanya Gina dengan curiga, seolah ingin memastikan.
Sabrina mencoba untuk tetap bersikap santai, meskipun keringat dingin mulai mengalir. "Beneran, Mak. Itu dari Pak RT. Nggak ada hubungannya sama ustadz Aiman. Jangan terlalu curiga!"