Berawal dari hujan yang hadir membalut kisah cinta mereka. Tiga orang remaja yang mulai mencari apa arti cinta bagi mereka. Takdir terus mempertemukan mereka. Dari pertemuan tidak disengaja sampai menempati sekolah yang sama.
Aletta diam-diam menyimpan rasa cintanya untuk Alfariel. Namun, tanpa Aletta sadari Abyan telah mengutarakan perasaannya lewat hal-hal konyol yang tidak pernah Aletta pahami. Di sisi lain, Alfariel sama sekali tidak peduli dengan apa itu cinta. Alfariel dan Abyan selalu mengisi masa putih abu-abu Aletta dengan canda maupun tangis. Kebahagiaan Aletta terasa lengkap dengan kehadiran keduanya. Sayangnya, kisah mereka harus berakhir saat senja tiba.
#A Series
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Allamanda Cathartica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 2: Pertemuan di Bawah Hujan
Hujan deras mengguyur badan kecil perempuan berkacamata yang sedang mengayuh sepeda. Kedua kaki mungilnya yang terbalut celana hitam basah memainkan pedal dengan sangat cekatan. Terkadang ban sepeda itu bergerak tidak teratur, tubuhnya terhuyung ke belakang terkena tamparan angin. Aletta tetap bertekat kuat untuk menerjang ganasnya air dan angin yang menggempurnya berulang-ulang. Suara gemuruh berlomba-lomba dengan suara jatuhnya berjuta tetesan air dari langit tampak mengiringi setiap langkah yang di tempuh oleh Aletta.
Tanpa sepengetahuan Aletta, ternyata tas ransel biru yang tergantung rapi di pundaknya terjatuh di genangan air hujan yang lumayan tinggi. Dia turun dari sepeda lalu melangkah untuk mengambil tas miliknya. Saat dia berlari ingin mencoba mengambil, malangnya Aletta malah terpeleset jatuh, dagunya membentur aspal sehingga menimbulkan rasa ngilu. Walaupun begitu, Aletta tetap bangkit, mengabaikan rasa sakit yang ditimbulkan oleh benturan tadi. Dengan cekatan, Aletta mengambil tasnya, tidak sengaja sebuah cokelat jatuh dan terinjak oleh kakinya. Mulutnya ternganga karena terkejut. “Mati gue! Harus bilang apa sama Enno nanti?” ucapnya sedikit berteriak.
Di tempat yang sama, ternyata ada seorang lelaki yang mengamati Aletta dari tadi. Alfariel berdecak, bisa-bisanya demi sebatang cokelat Aletta sampai rela berhujan-hujanan. Alfariel terus melihat tingkah dari Aletta, dia menggelengkan kepala dengan ukiran senyum yang mengembang di pipinya. Hingga tiba-tiba klakson mobil menyadarkan Alfariel dari lamunan, Alfariel menoleh ke arah sumber suara. Mobil itu sedang memperingati pengguna jalan yang seenaknya berdiri di tengah jalan. Dia langsung bangkit dari duduknya. Tanpa alih-alih Alfariel menarik lengan Aletta dengan kasar, sehingga Aletta meringis karena terasa seperti dicubit. Alfariel menepikan tubuh basah Aletta untuk berteduh di teras toko tempat Alfariel duduk tadi.
“Lo itu gimana, sih? Hujan-hujan berdiri di tengah jalan. Gila ya lo?” tunjuk Alfariel ke arah Aletta.
Aletta mengkerutkan dahinya. “Suka-suka gue lah! Gue mau hujan-hujanan, jungkir balik, atau apalah. Memang ada urusannya sama lo?” balas Aletta tidak mau kalah.
Aletta melepas kacamata lalu menatap wajah lawan bicaranya. Keduanya saling bertatapan, beberapa detik kemudian Alfariel memalingkan wajahnya sambil menghela napas. “Hei, pendek! Jangan berdiri di situ, lo menghalangi jalan.” Dengan tampang tak berdosa, Alfariel berjalan menuju kursi plastik yang dia tempati tadi. Dia duduk lalu menyantap kembali makanannya.
“Ciye ... Mas Alfa. Pacarnya ya?” Pak Agus, tukang bakso langganan Alfariel, tersenyum jahil. Beliau sudah lama berjualan di depan sekolah Alfariel, tepat di teras toko tua yang tidak berpenghuni. Setiap sore sehabis latihan basket, Alfariel selalu menyempatkan dirinya untuk makan bakso di sini. Hitung-hitung sebagai pengganjal lapar setelah latihan.
Alfariel melirik Pak Agus. “Enggak lah, Pak,” ujarnya kemudian. Pandangan Alfariel beralih ke arah Aletta yang menampilkan wajah jijik. Alfariel mengangkat kedua alisnya sambil tersenyum, berlagak cool di depan Aletta.
Seketika Aletta teringat sesuatu. “Apa yang lo bilang tadi? Asal lo tahu gue itu gak pendek, tinggi gue 160 cm.”
“Tapi gue lebih tinggi daripada lo. Kalau pendek tetap aja pendek, nggak usah mengelak! Sudah kenyataan,” jawab Alfariel.
Aletta menggeram marah, kakinya melangkah menghampiri Alfariel. “Siapa nama lo?” tanyanya dengan berkacak pinggang.
Kepala Alfariel mendongak, tiba-tiba dia tertawa dengan sangat keras. Alfariel berulang kali memukul-mukul meja sambil menghentakkan kaki sebelah kanannya. Aletta berdecak. “Bener-bener gila ini bocah.”
Langsung saja Aletta membalikkan badan berniat untuk pergi meninggalkan laki-laki sok tinggi yang mulai on the way gila itu. Belum sempat melangkah, tangan besar milik Alfariel mencekal tangan Aletta. “Mau kemana?” tanya Alfariel dengan nada yang berubah menjadi datar.
“Nih!” tunjuknya pada bagde name yang tertempel di seragam. “Xavier,” lanjut Alfariel, dia meminum seteguk es teh lalu menompang kepalanya dengan tangan kanan.
Seketika Aletta menjadi terbengong, pandangan matanya yang semula menatap wajah Alfariel, kini turun beralih ke arah bagde name yang tertulis Narendra Alfariel. Tanpa ada lanjutan tulisan huruf X maupun Xavier. ‘marga Xavier? Dia itu … ’ batin Aletta ragu dengan apa yang dipikirkannya sekarang.
“Gue mau pulang dulu,” ucap Aletta terburu-buru.
Alfariel segera berdiri ketika melihat Aletta yang mulai beranjak pergi. Laki-laki itu berlari kecil mengejar Aletta yang belum jauh darinya. Alfariel berhenti di depan Aletta sambil merentangkan kedua tangannya untuk menghalangi jalan Aletta. “Hei, hei! Lo mau nekat hujan-hujanan?” tanya Alfariel.
“Eum ... ” Aletta terlihat bingung sambil mengusap wajahnya yang terkena tetesan air dari rambutnya. Dia tampak membuka mulut ingin menjawab.
“Sebenarnya lo kenapa, Pendek?” Alfariel memajukan wajahnya, membuat Aletta bergidik takut. Sebenarnya bukan takut, melainkan perasaan yang sulit untuk diungkapkan. Denyut jantungnya berdetak semakin cepat, pipi terasa panas, belum lagi tatapan mata Aletta yang sulit dialihkan dari wajah Alfariel. Penyakit macam apakah ini? Demam, kah?
“Lo … ” ujar Alfariel menggantung. Cukup lama dan akhirnya, “Mau makan bakso nggak?”
“Hah?” Wajah Aletta terlihat bingung. Kesadarannya belum sepenuhnya kembali.
“Makan,” ucap Alfariel dengan penekanan sambil memperagakan gerakan makan. “Bakso,” lanjutnya dengan menunjuk gerobak bakso milik Pak Agus.
Ekspresi wajah Aletta tidak berubah, masih menatap Alfariel dengan tatapan mata kosong. “Hah?” Dia bertanya lagi.
“Apanya yang hah? Kelihatannya telinga lo bermasalah atau karena faktor tubuh lo yang kurang tinggi?” Alfariel mulai jengah menjawab pertanyaan Aletta yang hanya terdiri dari tiga huruf itu. 'Hah?' Alfariel juga dapat menirunya.
“Gue itu gak pendek tahu! Lo aja yang ketinggian,” jawab Aletta dengan suara keras.
Alfariel menaikkan bahunya tidak peduli. Dia memasukkan tangannya ke dalam saku celana, mengangkat sebelah alisnya lalu berjalan. “Oke.”
“Lo yang traktir, kan?” Aletta mengikuti langkah Alfariel dari belakang. “Pak, bakso satu ya,” ucapnya sambil menarik kursi plastik menggunakan kakinya.
“Siapa bilang gue yang traktir? Gue cuma nawarin bakso ke lo doang,” ujar Alfariel enteng.
Perempuan itu menoleh. “Jadi, lo—”
“Tapi kalau lo mau makan, ya gue temenin,” sela Alfariel. “Hm?” Lagi-lagi Alfariel mengangkat sebelah alisnya sambil tersenyum.
Aletta mengangguk sekali. Kemudian, dia duduk di sebelah Alfariel.
“Ini pesanannya, Mbak.” Pak Agus menyodorkan semangkuk bakso dengan asap mengepul di atasnya. “Kalau makan di samping cowok ganteng enak deh kayaknya.”
Dalam diam, Alfariel tersenyum sombong. Dia memasukkan sesuap bakso ke dalam mulutnya lalu menoleh untuk melihat ekspresi Aletta. Aletta tersenyum tipis membalas ucapan Pak Agus, tetapi tidak dengan Alfariel yang menatapnya sambil senyum-senyum itu. Langsung saja Aletta memasang wajah datar lengkap dengan tatapan membunuh. Namun, sikap yang ditunjukkan Aletta berbalik dengan kenyataan yang ada. Aletta malah merasakan pipinya yang mulai memanas. Ada sesuatu yang terbesit di dalam lubuk hatinya.
Apa iya dia masih menyukai lelaki tampan itu? Atau sekedar kagum? Itu semua masih menjadi pertanyaan yang ada di benak Aletta. Jantungnya tidak bisa dibohongi, berdetak lebih kencang yang membuat aliran darahnya memanas dan mengalir melewati kedua pipinya sehingga warna merah tampak tercetak jelas menghiasi wajah cantik Aletta. Dunia Aletta seakan berhenti berputar. Aletta menunduk memegangi kedua pipinya yang bersemu merah.
Tidak disangka, ternyata rasa suka itu kembali hadir. Atau memang perasaan spesial ini Aletta simpan hanya untuk Alfariel. Cassanova tampan SMP Bintang. Aletta masih teringat jelas. Dulu laki-laki itu sering dipanggil Rendra bukan Alfariel. Entah mengapa bisa begitu, Aletta tidak tahu. Yang pasti, dia telah lama mengagumi laki-laki yang bernama Rendra tersebut. Secret admirer. Begitulah Aletta.
Sepertinya Dewi Fortuna berpihak pada Aletta. Bertemu lagi dengan Alfariel setelah dua tahun lebih mereka tidak bertemu. Rindu. Jelas-jelas perasaan ini namanya rindu. Aletta mengakui itu.
***
Bersambung …..