Di dunia di mana para dewa pernah berjalan di antara manusia, sebuah pedang yang terlupakan bangun, melepaskan kekuatan yang dapat mengubah dunia. Seorang pemuda, yang ditakdirkan untuk kehebatan, menemukan sebuah rahasia yang akan mengubah nasibnya, tetapi dia harus memilih pihak, pilihan yang akan menentukan nasib dunia. Cinta dan kesetiaan akan diuji ketika dia menjelajahi dunia sihir, petualangan, dan roman, menghadapi ancaman yang dapat menghancurkan jaringan eksistensi. Warisan Para Dewa menunggu... Apakah kamu akan menjawab seruannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pramsia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 33: Hutan Kelam
Udara dingin menusuk kulit saat Jian, Mei, dan Kai meninggalkan Gunung Cerah. Batu Cahaya, bersinar hangat di dalam ransel Jian, terasa seperti beban sekaligus harapan. Gerbang Kegelapan masih terbuka, mengancam dunia Aurora. Hutan Kelam, tujuan mereka selanjutnya, menanti dengan misteri dan bahaya yang tak terduga.
"Menurut peta, Pedang Kegelapan berada di kedalaman Hutan Kelam," kata Jian, suaranya serius. Ia menatap peta usang itu, cahaya redup matahari sore menerangi detail-detailnya yang samar. "Perjalanan ini akan jauh lebih berbahaya daripada pendakian Gunung Cerah."
Mei mengangguk, merasakan Bintang Fajar berdenyut-denyut di sakunya. Bola cahaya itu terasa hangat, namun juga memancarkan getaran yang sedikit mengkhawatirkan. "Aku merasakannya," bisik Mei. "Pedang Kegelapan… ia memanggil." Ia merasakan sebuah koneksi yang kuat, sebuah tarikan yang membimbingnya menuju artefak tersebut.
Kai, yang selalu tenang dan analitis, mengamati sekeliling. "Kita perlu berhati-hati. Hutan Kelam terkenal dengan makhluk bayangannya yang kuat dan kegelapan yang menyelimuti. Kita harus memanfaatkan setiap kemampuan kita."
Mereka memasuki Hutan Kelam. Segera, cahaya matahari siang lenyap ditelan oleh kanopi pohon-pohon tinggi dan lebat. Udara menjadi dingin dan lembap, bau tanah yang membusuk memenuhi indra penciuman. Bayangan-bayangan panjang menari-nari di antara pepohonan, menciptakan suasana yang mencekam. Setiap derik daun, setiap patahan ranting, terasa mengancam.
Setelah beberapa waktu berjalan, Bintang Fajar berdenyut lebih cepat. "Di sini," kata Mei, menunjuk ke arah sebuah jalur kecil yang hampir tak terlihat. "Pedang Kegelapan ada di dekat sini."
Mereka menyusuri jalur itu, kegelapan semakin pekat. Tiba-tiba, suara desisan tajam memecah kesunyian. Dari balik semak-semak, mata merah menyala mengintai. Makhluk bayangan, lebih kecil dari yang mereka temui di Gunung Cerah, namun lebih gesit dan agresif, muncul dari kegelapan.
"Serangan!" seru Jian, pedangnya siap. Ia bergerak cepat, mengayunkan pedangnya dengan tepat, menebas makhluk bayangan yang menyerang. Kai, dengan cepat meluncurkan mantra api kecil, membakar beberapa makhluk bayangan lainnya. Mei, sementara itu, mengarahkan cahaya Bintang Fajar, menciptakan dinding cahaya yang melindungi mereka dari serangan makhluk bayangan.
Pertarungan berlangsung singkat namun intens. Kemampuan masing-masing dari mereka saling melengkapi. Kecepatan dan ketepatan Jian, sihir api Kai, dan cahaya Bintang Fajar yang dipandu oleh insting Mei, terbukti efektif. Mereka berhasil mengalahkan makhluk bayangan tersebut, namun mereka tahu ini baru permulaan.
Lebih dalam lagi mereka melangkah, kegelapan semakin pekat. Hutan itu terasa hidup, bernapas, dan penuh dengan bahaya yang tak terlihat. Bintang Fajar berdenyut semakin cepat, membimbing mereka menuju sumber kekuatan yang kuat.
Akhirnya, mereka sampai di sebuah lembah kecil. Di tengah lembah, sebuah altar kuno berdiri kokoh, terbuat dari batu hitam yang mengkilap. Di atas altar, tertancap sebuah pedang yang memancarkan aura gelap yang kuat Pedang Kegelapan.
Namun, sebelum mereka bisa mendekat, tanah bergetar. Dari balik altar, muncullah sebuah makhluk bayangan yang jauh lebih besar dan mengerikan daripada yang pernah mereka lihat sebelumnya. Makhluk itu menjulang tinggi, bayangannya menutupi seluruh lembah. Mata merah menyala menatap mereka dengan penuh amarah.
"Pedang Kegelapan adalah milikku!" raungan makhluk itu menggema di seluruh lembah. "Kalian tidak akan pernah mendapatkannya!"
Jian, Mei, dan Kai saling berpandangan. Mereka tahu bahwa pertarungan yang sesungguhnya baru akan dimulai. Mereka harus mengalahkan makhluk bayangan yang mengerikan ini untuk mendapatkan Pedang Kegelapan dan menyelamatkan dunia Aurora.
(Bersambung chapter 34)