Alina berkali kali patah hati yang dibuat sendiri. Meski dia paham kesalahannya yang terlalu idealis memilih pasangan. Wajar karena ia cantik dan cerdas serta dari keluarga terpandang. Namun tetap saja dia harus menikah. Karena tuntutan keluarga. Bagaimana akhir keputusannya? Mampukah ia menerima takdirNya? Apalagi setelah ia sadari cinta yang sesungguhnya setelah sosok itu tiada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hana Ame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Asumsi Alina
Alina menata semua makanan yang ia bawa dari resto di atas meja makan. Tampilannya menarik dan nampak semuanya enak mengundang selera. Rudy yang kebetulan pulang dari masjid pun menatap pemandangan itu terbelalak, "Makanan dari mana mba? Kok banyak banget. Kayaknya enak niy" buru buru Rudy melepas sarung dan mengambil piring.
"Makan aja Dek. Ada rejeki. " Alina menjawab cuek. "Aku sholat magrib dulu. "
Setelah melaksanakan sholat magrib, saat itulah Alina termenung. Dan mengingat kejadian saat makan dengan Roy, tiba tiba Alina merasa hatinya patah. Di satu sisi dia memang menyukai sosok simpatik itu, namun entah kenapa dia kecewa karena Roy pernah menikah. Alina merasa tidak siap menjadi orang kedua. Dalam pemahamannya seorang laki laki hanya akan mencintai sekali saja meskipun dia bisa berhubungan b*dan dengan perempuan manapun. Dan karena pemikiran itu air matanya menggenang. Satu per satu jatuh membasahi mukena yang sedang ia pakai. Terisak namun ia tahu persis saat itu bahwa ia butuh waktu untuk menenangkan diri.
'Lagian kan gak mungkin juga pria setua itu belum menikah... ' batin Alina menyalahkan persepsi dirinya sendiri yang naif. Sehingga ujung ujungnya dia kecewa saat itu.
Tiba tiba teringat ucapan Roy, ".....aku suka melihat kamu professional Lin. Pasti suatu saat kamu berhasil..... "
Mengingat itu Alina sedikit terhibur, batinnya berharap Roy tidak bisa menebak isi hatinya. Dan dia akan tetap bersikap professional di hadapan pria itu. Alina hanya ingin menjaga hatinya untuk dirinya sendiri.
* * *
Sambil berbaring, Alina menatap layar ponselnya yang berulang kali bergetar, nama Roy terpampang di sana. Tangannya gemetar, ingin sekali ia mengangkatnya, mendengar suara yang selama ini diam-diam ia rindukan. Tapi bersamaan dengan itu, ketakutan menyergapnya.
Ia menarik napas dalam, menekan tombol "silent" dengan hati yang berkecamuk. Ada rindu yang menyelinap di setiap helaan napasnya, tapi juga ada keraguan yang tak bisa ia abaikan. Ia takut pada harapan yang bisa saja berakhir dengan kekecewaan. Ia lelah merasa kehilangan sesuatu yang bahkan belum benar-benar ia genggam.
Roy adalah ketenangan yang selalu ia cari, tapi juga badai yang ia hindari. Ia ingin dekat, tapi juga takut terjebak. Ia rindu, tapi juga enggan mengakui.
Malam semakin larut, dan Alina hanya bisa memeluk kegundahannya sendiri. Entah bagaimana seolah Roy tahu bahwa ia belum bisa memejamkan mata. Dan kali ini Alina merasa terganggu meskipun ia sebetulnya ingin bicara. Membiarkan bayangan Roy memenuhi pikirannya, sementara jari-jarinya tetap diam, tak sanggup membalas satu pun pesan yang masuk.
Akhirnya handphone itu diam dengan sendirinya. Alina bernafas lega namun kemudian ia kembali melamun. Dan malam semakin larut memeluk Alina dalam kerinduannya.
* * *
Roy melempar ponselnya ke atas meja dengan napas berat. Lagi-lagi, panggilannya tak diangkat. Sudah berapa kali? Lima? Sepuluh? Ia tak lagi menghitung. Yang ia tahu, ada sesuatu dalam dirinya yang terasa kosong, sepi, dan perlahan membuatnya kehilangan kesabaran.
“Apa salahku, Lin?” gumamnya lirih, tangannya meremas rambutnya sendiri.
Ia bukan remaja yang baru mengenal cinta. Ia lelaki yang tahu apa yang ia inginkan, dan yang ia inginkan sekarang hanyalah mendengar suara Alina. Satu kata pun cukup. Tapi nyatanya, perempuan itu menghindarinya.
Roy memejamkan mata, mencoba mengusir gelisah yang semakin merajalela. Ia rindu. Teramat rindu. Tapi yang ia dapatkan hanyalah keheningan, seakan Alina menganggapnya tak lebih dari angin lalu.
“Kamu boleh menjauh, Lin… tapi setidaknya, beri aku alasan,” bisiknya, separuh marah, separuh putus asa.
Ia ingin menyerah. Tapi hatinya berkata lain.
cek profil aku ada cerita terbaru judulnya
THE EVIL TWINS
atau langsung tulis aja judulnya di pencarian, jangan lupa mampir dan favorit kan juga ya.
terima kasih