Sartika hidup dalam keterbatasan bersama suaminya, Malik, seorang pekerja serabutan dengan penghasilan tak menentu. Pertengkaran karena himpitan ekonomi dan lilitan utang mewarnai rumah tangga mereka.
Demi masa depan anaknya, Sartika tergoda oleh janji manis seorang teman lama untuk bekerja di luar negeri. Meski ditentang suami dan anaknya, ia tetap nekat pergi. Namun, sesampainya di kota asing, ia justru terjebak dalam dunia kelam yang penuh tipu daya dan nafsu.
Di tengah keputusasaan, Sartika bertemu dengan seorang pria asing yang akan mengubah hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PTP Episode 12
Fajar mulai menyingsing, sinar matahari perlahan menembus celah dedaunan, menerangi hutan yang semalaman terasa begitu mencekam. Suara gemericik air sungai dan kicauan burung menggantikan kesunyian malam yang penuh ketegangan.
Sartika membuka matanya perlahan. Tubuhnya terasa kaku setelah tidur di atas akar pohon yang keras, dan udara pagi yang dingin membuatnya menggigil. Ia mengusap wajahnya, mencoba mengusir rasa kantuk yang masih menggantung.
Ia melihat ke samping di mana Laras tertidur, namun ia tidak melihat Laras di tempatnya.
Sartika langsung tersentak, rasa kantuknya hilang seketika. Ia menoleh ke kanan dan kiri, mencari sosok Laras, tetapi yang ada hanya akar-akar pohon dan dedaunan basah oleh embun.
"Laras?" panggilnya pelan, suaranya serak.
Tidak ada jawaban.
Jantung Sartika mulai berdegup lebih cepat. Laras tidak mungkin pergi begitu saja. Semalam mereka sama-sama kelelahan, dan Laras bahkan hampir tidak bisa berjalan.
Ia segera berdiri, matanya menyapu sekitar dengan cemas. Jejak kaki samar terlihat di tanah yang masih lembap oleh embun pagi, mengarah ke semak-semak dekat sungai.
"Laras!" kali ini suaranya lebih keras, penuh kepanikan.
Masih tidak ada jawaban.
Tanpa berpikir panjang, Sartika mengikuti jejak itu, berlari kecil melewati akar dan ranting yang berserakan. Setiap kemungkinan buruk mulai memenuhi pikirannya. Apakah Laras pergi sendiri? Apakah seseorang menemukannya? Atau… apakah ada bahaya yang mengintai mereka tanpa ia sadari?
Langkahnya terhenti saat ia melihat sesuatu di sebelah pohon besar. Sebuah kain robek tersangkut di semak-semak. Kain itu familiar, itu milik Laras!
Sartika meraih kain itu dengan tangan gemetar. "Laras, di mana kau?" bisiknya, napasnya mulai memburu.
Ia menoleh ke dalam jurang yang tidak terlalu dalam. Tidak ada tanda-tanda seseorang jatuh ke dalamnya. Namun, di seberang sana, di antara pepohonan, ia melihat sesuatu bergerak.
Sebuah Bayangan.
Sartika menahan napas. Apakah itu Laras? Atau seseorang yang lain?
Tanpa ragu, ia melangkah maju, bersiap menghadapi apa pun yang ada di balik pepohonan itu.
Sartika menahan napas saat sosok itu muncul dari balik pepohonan.
Seekor rusa.
Matanya yang besar dan lembut menatap Sartika dengan waspada, telinganya bergerak-gerak, seolah mencoba menangkap suara di sekitarnya. Bulunya cokelat keemasan berkilauan di bawah cahaya pagi, dan embusan napasnya terlihat samar di udara yang masih dingin.
Sartika menghembuskan napas lega, meski jantungnya masih berdegup kencang. Itu bukan ancaman.
Rusa itu menundukkan kepalanya, mencium tanah sejenak sebelum melompat ringan ke semak-semak dan menghilang di antara pepohonan. Sartika menatap kepergiannya dengan kosong, lalu kembali mengingat tujuan utamanya.
Ia meremas kain robek di tangannya, lalu berlari menyusuri tepi sungai, matanya mencari-cari tanda keberadaan Laras.
"Laras!" panggilnya lagi, suaranya lebih mendesak.
Sartika terus berlari, napasnya semakin memburu. Kakinya melangkah tanpa peduli tanah yang dingin dan lembap, menerobos semak-semak dan ranting-ranting yang menggores kulitnya.
"Laras!" panggilnya sekali lagi.
Hanya suara gemericik air sungai dan kicauan burung yang menjawab.
Sartika menatap sekeliling dengan panik. Tidak ada jejak kaki lain selain yang tadi ia ikuti. Tidak ada kain robek lain, tidak ada suara ranting patah yang mengisyaratkan keberadaan Laras.
Ia mulai merasa ada yang tidak beres.
Laras tidak mungkin pergi sejauh ini sendirian. Bahkan jika ia berjalan ke sungai untuk minum atau membasuh wajah, ia seharusnya sudah kembali.
"Laras, ini tidak lucu. Di mana kau?" suara Sartika mulai bergetar.
Ia menahan rasa takut yang semakin menusuk dadanya. Kemungkinan buruk kembali menyerbu pikirannya. Apakah ada orang lain yang menemukan Laras lebih dulu? Apakah Laras jatuh ke sungai dan hanyut? Atau... apakah sesuatu telah terjadi padanya?
Sartika menggeleng kuat, menolak membiarkan pikirannya dipenuhi skenario terburuk.
Tidak. Laras pasti masih ada di sekitar sini.
Ia menarik napas dalam-dalam dan mencoba berpikir jernih. Jika Laras tersesat, ia pasti akan mencari jalan kembali. Jika ia diculik, pasti ada jejak perlawanan. Tapi sejauh ini, tidak ada tanda-tanda itu.
"Dimana kamu, Laras. Kenapa kau tega meninggalkan diriku sendiri."
Angin pagi bertiup pelan, membawa suara gemerisik dedaunan yang seolah menjawab keputusasaan Sartika. Ia menggenggam kain robek itu semakin erat, matanya mulai memanas. Laras tidak mungkin meninggalkannya begitu saja. Tidak setelah semua yang mereka lalui bersama.
Sartika berbalik, matanya menyapu hutan di sekelilingnya. Bayangan pepohonan menjulang tinggi, seakan menyembunyikan sesuatu di baliknya. Ia menelan ludah, menahan dorongan rasa takut yang semakin mencengkeram dirinya.
"Laras! Kalau kau mendengarku, jawab!" suaranya serak, hampir putus asa.
Namun, hening.
Sartika melangkah tanpa arah, dan beberapa saat kemudian. Napasnya tersengal, tubuhnya terasa lelah setelah berjalan cukup jauh mencari keberadaan Laras yang entah pergi ke mana. Rasa lapar mulai menggerogoti perutnya, membuatnya semakin lemah.
Ia mengusap wajahnya yang dipenuhi keringat dan debu, mencoba menenangkan diri. Namun, pikirannya terus dipenuhi pertanyaan, ke mana Laras pergi? Ataukah seseorang telah membawanya?
Sartika menggigit bibir, menahan rasa frustasi. Ia tidak boleh menyerah. Dengan sisa tenaga yang ada, ia harus terus mencari.
Namun, tubuhnya yang lelah tak lagi mampu bertahan. Lututnya melemas, pandangannya mulai kabur, dan rasa pusing menghantam kepalanya seperti gelombang yang tak terbendung.
Sartika mencoba bertahan, tetapi kesadarannya perlahan menghilang. Kakinya goyah, dan sebelum ia sempat meraih sesuatu untuk berpegangan, tubuhnya jatuh ke tanah yang lembap.
Dunia di sekelilingnya berputar, dan dalam hitungan detik, semuanya berubah menjadi gelap.
******
Sartika membuka matanya perlahan. Cahaya putih menyilaukan dari lampu di atasnya membuatnya menyipitkan mata. Aroma obat dan suara alat medis yang berdenting pelan segera menyadarkannya bahwa ia tidak lagi berada di hutan.
Ia menggerakkan jari-jarinya, merasakan selimut lembut yang menutupi tubuhnya. Kepalanya masih terasa berat, dan seluruh tubuhnya pegal seolah baru saja melalui perjalanan panjang yang melelahkan.
Perlahan, ia menoleh ke samping. Seorang pria paruh baya berseragam hijau kecokelatan duduk di kursi, memperhatikannya dengan wajah penuh kekhawatiran. Sartika mengenali seragam itu, seorang penjaga hutan.
"Kau sudah sadar?" suara pria itu terdengar ramah namun tegas.
Sartika mencoba berbicara, tetapi tenggorokannya terasa kering. Pria itu dengan sigap menuangkan air ke dalam gelas dan menyodorkannya kepadanya. Dengan tangan gemetar, Sartika menerima gelas itu dan meneguk airnya perlahan.
"Apa yang terjadi...?" suaranya lemah, hampir berbisik.
"Kami menemukamu pingsan di tepi sungai," jawab pria itu.
"Untung saja aku sedang berpatroli pagi itu. Kalau tidak, mungkin kau sudah kehilangan nyawa."
Sartika mengerjap, mencoba mengingat kembali. Hutan. Laras. Ia terbangun dan tidak menemukan Laras. Ia berlari mencarinya. Ia kelelahan... lalu semuanya gelap.
"Laras..." Sartika tiba-tiba terduduk, matanya melebar. "Di mana Laras?!"
Penjaga hutan itu tampak terkejut dengan reaksi Sartika. "Tenang, tenang. Siapa Laras?"
"Sahabatku! Aku mencarinya di hutan! Dia menghilang!" napas Sartika memburu, tangannya mencengkeram selimut erat-erat. "Aku harus pergi, aku harus menemukannya!"
Penjaga hutan itu dengan cepat menekan bahu Sartika, mencegahnya bangkit dari tempat tidur. "Kau belum cukup kuat. Tenang dulu. Ceritakan semuanya kepadaku."
Sartika menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya. Dengan suara gemetar, ia mulai menceritakan bagaimana ia dan Laras terpaksa mengungsi ke hutan, bagaimana Laras menghilang begitu saja, dan bagaimana ia mencari-cari sampai akhirnya pingsan.
Penjaga hutan itu mengangguk perlahan, matanya menyelidiki wajah Sartika. "Baik. Aku akan memberitahukan hal ini kepada tim pencari kami. Jika temanmu masih ada di hutan, kami akan menemukannya."
Air mata menggenang di mata Sartika. "Tolong... aku mohon, selamatkan dia."
Penjaga hutan itu tersenyum tipis dan mengangguk. "Kami akan melakukan yang terbaik."
Sartika menatap pria itu dengan penuh harapan, tetapi juga dengan ketakutan yang sulit ia sembunyikan. Jantungnya berdegup kencang, menunggu kabar lebih lanjut tentang pencarian Laras.
"Semoga saja, kau baik-baik saja Laras."