Di antara cinta yang tak terucap dan janji yang tak sengaja diucapkan harus menjadi sesuatu yang ditanggung jawabi oleh Rafael. Setelah bertahun-tahun menjalani kehidupan yang hampir terbilang sempurna, Rafael harus kehilangan wanita yang dicintainya sekaligus menerima kehadiran seorang gadis yang sangat ia sayangi—Adeline.
Dua tahun setelah pernikahannya dan bangun dari segala keterpurukannya, Rafael harus terjebak dalam sebuah dilema. Apakah ia akan memilih cinta yang sebelumnya hilang atau tetap bersama dengan seseorang yang selama ini menemani masa-masa sulitnya? Setiap pilihan datang dengan konsekuensi dan setiap keputusan menuntunnya pada jalan yang tak terduga.
Ketika cinta dan masa lalu bertabrakan, apakah Rafael akan mengikuti hati atau logika? Bagaimana jika pilihan yang benar ternyata sesuatu hal yang paling sulit ia jalani? Temukan kisahnya dengan meng-klik ‘Mulai Membaca’.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyushine / Widi Az Zahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HC 34
Adeline yang masih belum memberikan jawaban apapun sejak obrolannya dengan Rafael, dia mencoba memejamkan matanya, namun kepalanya terus memutar semua ucapan yang dikatakan oleh Rafael kepadanya.
Jika Adeline sedang berusaha untuk terpejam dan melupakan apa yang telah dikatakan oleh Rafael, Rafael justru sedang terdiam, termenung dan menyalahkan dirinya sendiri. Pikirannya terus berkata apakah pada akhirnya Adeline akan pergi meninggalkannya? Ataukah dia akan diam-diam menyiapkan surat perceraian untuknya?
**
**
Sudah sebulan lamanya hubungan Adeline dan Rafael belum berjalan membaik. Rafael benar-benar frustasi harus bagaimana lagi membujuk Adeline agar bisa memaafkannya. Daren dan Alvaro yang baru saja kembali dari pekerjaannya diluar kota pun hanya saling tatap melihat Rafael yang melamun ditengah rapat bulanan mereka.
“Raf,” Daren mencolek lengan sahabatnya dan membuat Rafael terkejut.
“Maaf sampai dimana tadi?” tukas Rafael yang baru tersadar dari lamunannya.
“Bulan depan pihak dari D’Gchar Company akan membuat promosi besar-besaran untuk Dkeys hotel dan akan mencoba untuk lebih meningkatkan visibilitas SEO serta akan mempersonalisasikan pelayanan di hotel. D’Gchar Company juga mengatakan bahwa mereka yang akan menyiapkan segalanya.” Terang salah seorang owner yang dipercayakan oleh Rafael untuk mengurus usahanya di Lausanne.
“Jika semua mereka yang menyiapkan, apa yang bisa dilakukan oleh kita?”
“Kita hanya mengikuti arahan dari mereka nanti, dan strategi itu dibuat langsung oleh pimpinan perusahaan D’Gchar sendiri.”
“Baiklah. Kabari aku jika mereka akan segera memulainya dan kirim email padaku mengenai jadwalnya. Rapat hari ini ku akhiri sampai disini.” Ucap Rafael yang langsung meninggalkan ruang meeting untuk kembali ke ruangannya.
Merasa penasaran dengan sikap Rafael saat ini membuat Daren dan Alvaro mengekori pria itu hingga ke ruangannya. Setelah tiba diruangannya, lagi-lagi Rafael sedang melamun seraya menatap keluar jendela ruangannya.
Daren dan Alvaro kembali bertatapan satu sama lain. Mereka pun memutuskan untuk duduk dikursi yang berada tepat didepan meja kerja Rafael dan masih menunggu pria itu berbalik. Dalam 5 menit terakhir mereka duduk disana, keduanya sudah mendengar Rafael menghela napasnya secara berulang kali yang membuat Alvaro berdeham.
“Sejak kapan kalian diruanganku?” Tanya Rafael ketika membalikkan tubuhnya dan sudah ada Daren serta Alvaro yang tengah menikmati kopi mereka.
“Sejak kau menghela napas untuk pertama kalinya.” Jawab Daren polos.
“Mau apa kalian disini? Pergi bekerja sana.” Usirnya yang membuat gelak tawa bagi Daren dan juga Alvaro. “Apa yang kalian tertawakan?” Rafael menatap kedua sahabatnya dengan tatapan yang sangat tajam dan juga mengintimidasi, namun lagi-lagi Daren dan Alvaro kembali tertawa puas.
“Apa kau sedang bertengkar dengan istrimu?” tanya Alvaro dengan menekankan kalimat istri pada ucapannya. Bukannya menjawab, Rafael hanya menghela napasnya lagi.
“Ternyata benar dia sedang bertengkar.” Bisik Daren yang masih terdengar jelas ditelingan Rafael.
“Tidak usah berbisik, aku masih bisa mendengar suaramu itu, Ren.” Tutur Rafael kesal.
“Jadi apa masalahmu? Mungkin kami bisa membantumu mencarikan solusi.” Alvaro duduk dengan tegap dan mencoba memerankan peran kakak tertua untuk adik bungsunya itu. Hal yang sama pun dilakukan oleh Daren, namun perlakuan mereka justru membuat Rafael melayangkan pukulan kecil pada dahi keduanya.
“Memang tahu apa kalian soal cinta? Kau Al, kau bahkan belum pernah menjalin hubungan dengan siapapun, dan kau Daren, kau juga selalu gagal dalam percintaaanmu.”
“Anak kurang ajar.” Daren menyentil dahi Rafael saat itu juga dan membuat pria itu merintih seraya mengusap-usap dahinya itu. “Beraninya kau menghina kami.” Tambahnya lagi dan membuat Alvaro tertawa melihat keduanya bertengkar.
“Sudah-sudah. Jadi kau mau ceritakan tidak? Tapi meski tidak cerita pun kami sudah mengetahui solusi dari semua masalah kalian berdua.”
“Solusi apa?” Rafael bertanya yang kemudian membuat Daren dan Alvaro beradu tatap sekaligus menganggukkan kepala secara bersamaan, sikap mereka berdua pun mengundang tanya bagi Rafael sendiri.
“Ranjang adalah solusi terbaik untuk pasangan yang tengah bertengkar.” Ucap Daren dan Alvaro bersamaan yang lagi-lagi mendapatkan pukulan kecil dari Rafael.
Rafael merasa sudah salah bertanya pada kedua sahabatnya itu. Meski begitu, Rafael menceritakan apa yang terjadi pada dirinya dan Adeline. Dia menceritakan keseluruhannya mulai dari dimana mereka makan bersama pada malam itu. Rafael pikir dengan mengutarakan semua perasaannya akan membuat Adeline luluh, namun justru membuatnya menjauh darinya.
Jika Rafael sedang berkeluh kesah dengan kedua sahabatnya, Adeline justru tengah diserang oleh salah satu keluarga pasien karena di anggap tidak bisa menyelamatkan saudaranya. Adeline memang bukan dokter yang menanganinya, namun ketika pasien baru saja tiba dirumah sakit, pasien itu sudah tak bernyawa bahkan dokter pun sudah menanganinya dan memberikan pengertian pada keluarga pasien, namun kakak dari pasien tidak menerima hal tersebut.
Kegaduhan itu dipertontonkan oleh mereka yang berada dibangsal itu, bahkan sebuah jambakkan melayang pada rambut Adeline. Dokter Liam yang menangani pasien itu sudah berusaha melerai mereka, namun wanita itu terus bersikap tak karuan, hingga akhirnya sebuah tangan memegang tangan wanita yang berani menyentuh Adeline.
“Siapa kau?” teriak wanita itu.
“Lepaskan tangan kotormu darinya.” Tatapan mengintimidasi itu membuat siapapun yang melihatnya ketakutan, bahkan Adeline pun baru pertama kalinya melihat tatapan tersebut.
Tatapan yang mengerikan itu membuat wanita tersebut melepaskan genggamannya dari rambut Adeline, kemudian dengan cepat Adeline dibawa olehnya untuk ke balkon sekaligus membawa kotak obat yang selalu berada di setiap bangsal.
“Kenapa kau diam aja, Del? Kenapa kau tidak mencoba melawannya?” Tanyanya seraya mengoleskan salep pada pipi serta pelipis Adeline yang seperti mendapat sebuah cakaran akibat amukan wanita disana.
“Bagaimana pun dia keluarga pasien, Fran. Mendengar kematian dari orang yang kita cintai memang bisa merusak pikiran. Jadi, aku pikir dengan dia melampiaskan perasaannya padaku, itu bisa membuatnya lebih baik.”
“Tapi tidak dengan melukaimu.” Tutur Efran yang masih mengobati Adeline. “Karena jika kau terluka habislah aku,” gumamnya pelan.
“Maksudmu?” Tanya Adeline yang berhasil menangkap ucapan Efran yang terakhir dan Efran segera menggeleng cepat.
Setelah selesai menempelkan plester di pelipis Adeline, Efran duduk disisi Adeline yang terlihat sedang memikirkan sesuatu, karena sepanjang dia sedang di obati tatapan Adeline tidak seperti biasanya.
“Apa yang sedang kau pikirkan? Aku perhatikan kau seperti sedang ada masalah. Apa Rafa membuat ulah lagi?”
“Justru dia bersikap sangat manis padaku, dan dia juga meminta kesempatan padaku untuk bisa memulai semuanya dari awal.” Adeline menggenggam cincin yang berada dalam kalungnya dengan tatapan kosong.
“Bukankah itu hal bagus? Semua rencanamu untuk mendapatkan hatinya sudah berhasil dan kerja kerasmu terbayarkan, dan kini batu itu sudah hancur, Del. Jadi apa lagi yang khawatirkan?”
Adeline tampak terdiam mendengar ucapan Efran barusan. Memang benar apa yang dikatakan olehnya dan seketika pikirannya mulai membayangkan bagaimana Adeline yang bersemangat akan berhasil memasuki hati Rafael, namun ketika dia berhasil, hatinya justru merasa bimbang.