Di tahun 70-an, kota ini penuh dengan kejahatan yang berkembang seperti lumut di sudut-sudut gedung tua. Di tengah semua kekacauan, ada sebuah perusahaan detektif swasta kecil tapi terkenal, "Red-Eye Detective Agency," yang dipimpin oleh Bagas Pratama — seorang jenius yang jarang bicara, namun sekali bicara, pasti menampar logika orang yang mendengarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khairatin Khair, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12
Siang itu, suasana kantor Red-Eye Detective Agency terasa lebih tegang dari biasanya. Bagas dan Siti menyusun rencana mereka untuk menyelidiki nama-nama dalam daftar yang diberikan oleh Hendra. Setiap nama dalam daftar itu adalah tokoh berpengaruh yang memiliki posisi strategis di kota, dari pejabat hingga pengusaha. Mereka tahu bahwa mendekati orang-orang ini berarti mengambil risiko besar.
“Pak Bagas, menurut saya, kita mulai dari yang paling bawah dulu. Beberapa dari mereka mungkin hanya pendukung Bayangan, bukan tokoh inti,” ujar Siti, sembari menunjuk salah satu nama dalam daftar.
Bagas menatap daftar itu dalam-dalam, mencoba menimbang risiko dan keuntungan setiap langkah. “Kau benar. Kita harus melangkah perlahan. Orang-orang ini bisa jadi hanya alat bagi Bayangan, tapi setiap informasi yang mereka miliki bisa sangat berharga.”
Nama pertama yang mereka putuskan untuk selidiki adalah Bapak Hasan, seorang pejabat lokal yang pernah terlibat dalam beberapa proyek pemerintah bersama Ordo Mata Senja. Hasan dikenal sebagai orang yang ambisius, namun ia tampaknya tak terlalu mencolok dibandingkan nama-nama besar lainnya di daftar tersebut.
---
Pertemuan dengan Hasan
Bagas dan Siti berhasil mengatur pertemuan dengan Hasan di sebuah restoran kecil yang cukup sepi di pinggir kota. Hasan tampak tenang, namun Bagas bisa melihat kegelisahan di balik senyumnya. Setelah beberapa basa-basi, Bagas langsung mengarahkan percakapan pada topik yang ia incar.
“Pak Hasan, kami sedang menyelidiki tentang organisasi lama yang mungkin pernah Anda dengar… Ordo Mata Senja,” ujar Bagas pelan namun penuh arti.
Hasan tersentak sedikit, namun ia mencoba untuk tetap tenang. “Ordo Mata Senja? Itu nama yang sudah lama saya tidak dengar. Tapi saya tidak terlalu tahu tentang mereka. Dulu, mereka adalah sekumpulan pengusaha yang mencoba membantu pembangunan kota, bukan?”
Bagas tersenyum tipis. “Tentu saja. Namun, saya kira Anda tahu lebih banyak dari sekadar itu. Kami mendengar bahwa Ordo Mata Senja masih ada, hanya saja sekarang mereka dikenal sebagai Bayangan.”
Hasan terdiam, jelas tampak gelisah dengan arah pembicaraan ini. Ia menatap Bagas, seolah mencoba menilai apakah ia bisa dipercaya atau tidak. Akhirnya, ia mendesah dan mengakui dengan suara rendah, “Saya… tidak tahu banyak, tapi saya tahu bahwa kelompok itu tidak sepenuhnya hilang. Mereka hanya berubah bentuk, menjadi lebih halus namun lebih berbahaya.”
Siti mencondongkan tubuhnya ke depan, tatapannya serius. “Pak Hasan, jika Anda memiliki informasi, ini kesempatan Anda untuk membantu kami. Bayangan sudah mencelakakan banyak orang, dan kami ingin menghentikan mereka.”
Hasan menggeleng pelan, wajahnya terlihat khawatir. “Mereka terlalu kuat. Orang-orang yang mencoba melawan mereka… hilang begitu saja. Dulu, saya pernah mendengar tentang salah satu anggota yang mencoba keluar, tapi setelah itu, tak ada yang pernah mendengar kabarnya lagi.”
Bagas mengangguk, menyadari bahwa ancaman dari Bayangan lebih nyata dari yang mereka bayangkan. “Kalau begitu, apa yang Anda sarankan, Pak Hasan?”
Hasan menatap mereka dengan ekspresi putus asa. “Hati-hati, itu saja. Bayangan punya mata-mata di mana-mana. Setiap gerakan kalian mungkin sudah diketahui oleh mereka.”
---
Ancaman yang Mengintai
Setelah pertemuan itu, Bagas dan Siti keluar dari restoran dengan perasaan campur aduk. Mereka tahu bahwa mendekati orang-orang di sekitar Bayangan akan memberi mereka informasi, tetapi juga membawa risiko besar.
“Kita harus lebih berhati-hati, Pak. Kalau mereka tahu kita sedang mendekati orang-orang mereka, bisa-bisa kita akan jadi target,” ujar Siti sambil melirik sekeliling dengan waspada.
Bagas mengangguk, namun tatapannya tetap tenang. “Aku tahu, Siti. Tapi kita sudah masuk terlalu dalam untuk mundur. Setiap informasi yang kita dapatkan membawa kita lebih dekat pada inti jaringan mereka.”
Saat mereka berjalan menuju mobil, Bagas merasakan ada sesuatu yang tak biasa. Ia menoleh ke belakang dan melihat seorang pria asing berdiri di seberang jalan, tampak memperhatikan mereka. Wajah pria itu terlihat tak ramah, dan begitu tatapan mereka bertemu, pria itu berbalik dan berjalan cepat menjauh.
“Pak, sepertinya kita sedang diikuti,” bisik Siti, menyadari kehadiran pria tersebut.
Bagas mengangguk. “Kita harus memastikan, jangan sampai dia menyadari kita tahu.”
Mereka segera masuk ke mobil dan mulai mengemudi, namun kali ini Bagas mengambil jalur yang memutar dan melalui beberapa jalan sempit, mencoba memastikan apakah pria tadi benar-benar mengikuti mereka.
Setelah beberapa menit, Bagas melihat pria yang sama di kaca spion, berjalan di arah yang sama. Kini ia yakin bahwa pria itu memang sedang mengawasi mereka.
“Dia masih di belakang, Pak,” ucap Siti dengan nada cemas.
Bagas mengemudi lebih cepat, mencoba menjauh, tetapi pria itu terus mengikuti dengan cara yang tak mencolok. Akhirnya, Bagas berhenti di sebuah sudut jalan yang sepi, lalu keluar dari mobil bersama Siti.
Mereka berdua berdiri dengan tenang, menunggu pria itu mendekat. Ketika pria itu berada cukup dekat, Bagas menatapnya tajam. “Apa yang kau inginkan? Kenapa kau mengikuti kami?”
Pria itu tersenyum dingin, matanya memancarkan ancaman. “Pak Bagas, Bu Siti. Saya hanya ingin menyampaikan pesan dari Bayangan: jika kalian terus menggali, kalian mungkin takkan pernah melihat matahari lagi.”
Siti terkejut mendengar ancaman itu, namun Bagas tetap tenang. “Kalau Bayangan ingin kami berhenti, berarti kami semakin dekat pada kebenaran.”
Pria itu hanya tersenyum kecil, lalu berbalik pergi tanpa menambahkan sepatah kata lagi. Mereka berdua tahu bahwa ancaman itu bukan sekadar kata-kata kosong. Bayangan tahu gerakan mereka dan tak akan ragu untuk menghabisi siapa saja yang mencoba mengungkap rahasia mereka.
---
Rencana Baru
Malam itu, di kantor, Bagas dan Siti berdiskusi tentang langkah selanjutnya. Mereka tahu bahwa semakin dalam mereka menyelidiki, semakin besar risiko yang akan mereka hadapi.
“Kita tak bisa berhenti, Pak. Ancaman itu hanya berarti bahwa kita sudah dekat dengan sesuatu yang besar,” ujar Siti dengan tekad yang semakin kuat.
Bagas menatapnya, merasa bangga dengan keteguhan hati asistennya. “Kau benar, Siti. Bayangan telah mengendalikan banyak orang di kota ini, dan tugas kita adalah mengungkap siapa mereka.”
Mereka memutuskan untuk melacak lebih jauh koneksi Bayangan ke dunia bisnis, terutama melalui nama-nama besar di kota yang mungkin telah lama mendukung organisasi ini secara diam-diam. Langkah ini lebih berisiko, tetapi mereka tahu bahwa hanya dengan menyusuri jaringan bisnis yang kuat, mereka bisa menemukan akar dari organisasi Bayangan.
Bagas membuka catatan terakhir yang diberikan Hendra, berisi transaksi-transaksi yang mencurigakan. Setiap transaksi yang mereka telusuri adalah pintu menuju kekuasaan Bayangan, yang kini mulai terlihat sedikit demi sedikit.
Mereka sadar bahwa pertarungan ini tak hanya soal mengungkap kebenaran, tetapi juga soal mempertahankan nyawa mereka.
Semangat.