Trisya selama ini tinggal di Luar Negri. Dia harus kembali pulang ke Indonesia atas perintah ibunya. Ibunya khawatir dengan perusahaan yang dikuasai ibu tirinya. Hal itu membuat Trisya mau tidak mau harus bergerak cepat untuk mengambil alih Perusahaan.
Tetapi ternyata memasuki Perusahaan tidak mudah bagi Trisya. Trisya harus memulai semua dari nol dan bahkan untuk mendapatkan ahli waris perusahaan mengharuskan dia untuk menikah.
Trisya dihadapkan dengan laki-laki kepercayaan dari kakeknya yang memiliki jabatan cukup tinggi di Perusahaan. Pria yang bernama Devan yang selalu membanggakan atas pencapaian segala usaha kerja keras dari nol.
Siapa sangka mereka berdua dari latar belakang yang berbeda dan sifat yang berbeda disatukan dalam pernikahan. Devan yang percaya diri meni Trisya yang dia anggap hanya gadis biasa.
Bagaimana kehidupan Pernikahan Trisya dan Devan dengan konflik status sosial yang tidak setara? apakah itu berpengaruh dengan pernikahan mereka?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ainuncepenis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 12 Culture shock.
Setelah melakukan perjalanan kurang lebih 4 jam dan akhirnya mereka sampai juga di desa Devan. Mobil Devan yang berhenti tepat di bawah pohon rindang.Trisya melihat di sekelilingnya dan justru tidak ada rumah yang dia. Hanya terlihat perkebunan sawah dengan banyak pondok-pondok.
"Kita sudah sampai?" tanya Trisya yang tampak linglung.
"Iya," jawab Devan.
"Rumah kamu di mana?" tanya Trisya.
"Mobil tidak bisa masuk karena jalanan terlalu kecil. Aku takut mengganggu pengendara motor yang berkendara. Rumahku ada di ujung sana. Jadi kita berdua berjalan saja," jawab Devan.
"Begitu," sahut Trisya.
"Ayo!" ajak Devan yang sudah membuka sabuk pengamannya.
"Trisya hanya mengangguk saja. Mau tidak mau dia keluar dari mobil. Wajah Trisya masih tetap penuh dengan kebingungan yang melihat di sekitarnya. Ada beberapa warga yang berlewatan menggunakan sepeda dengan barang bawaan mereka.
"Memang sangat biasa orang Jakarta kalau datang ke desa pasti terlihat bengong seperti kamu. Kamu tidak perlu merasa aneh. Ayo cepat!" ajak Devan.
Trisya lagi-lagi hanya menganggukkan kepala dan mengikut saja. Dia dan Devan berjalan melewati sawah yang begitu luas. Kaki Trisya benar-benar sudah sakit yang padahal baru saja berjalan dan mungkin karena dia menggunakan heels yang cukup tinggi.
"Astaga! ini kapan sampainya. Aku sudah tidak tahan berjalan. Jika tidak bisa mobil masuk. Apa tidak bisa naik ojek gitu," batin Trisya mengoceh.
Sementara Devan berjalan dengan begitu santai
"Trisya kamu lihat pondok yang di ujung sana!" tunjuk Devan. Trisya menganggukkan kepala dengan tak senyum tipis yang menahan rasa lelah.
"Dan juga di ujung sana!" Trisya juga melihat arah telunjuk itu.
"Itu milik keluargaku," ucap Devan yang ternyata ingin memberitahu Trisya yang menurut Trisya itu sama sekali bukan hal yang penting.
"Sawah kami paling luas dibandingkan warga-warga di sini. Jika diperkirakan sampai 10 hektar lebih," ucap Devan yang harus mempromosikan semua itu.
"Ohhhh," sahut Trisya yang sebenarnya sakit kepala mendengar Devan yang terus saja menceritakan tentang kehidupannya dan sementara kakinya begitu sangat sakit sekali.
"Aku juga punya rencana ingin menambah lagi. Tetapi kadang-kadang takut dibilang warga serakah. Padahal kita beli pakai uang sendiri dan kita juga tidak korupsi atau memakan uang negara," ucap Devan dengan tertawa-tawa sembari geleng-geleng kepala.
"Apa masih lama sampainya?" tanya Trisya yang terlihat sudah begitu lelah dengan menekan suaranya yang mulai kesel.
"Oh. sebentar lagi," jawab Devan
"Apa kamu lelah?" tanya Devan.
"Menurut kamu," sahut Trisya.
"Sabarlah, sebentar lagi kita akan sampai. Mobil memang tidak bisa masuk ke dalam dan semoga tabunganku nanti cukup untuk memperluas jalanan di desa," ucap Devan yang kembali pamer yang seolah dia begitu sangat dermawan.
Bagaimana Trisya tidak semakin kesal yang benar-benar diuji kesabarannya oleh Devan.
"Dia terus aja bercerita dan aku tidak tahu di mana rumahnya. Yang ada kakiku benar-benar tertinggal karena begitu sangat lelah sekali. Astaga apa jangan-jangan aku terjebak dalam perangkap," Trisya sudah mulai protes di dalam hati.
Sampai akhirnya mereka berdua sampai juga di depan sebuah rumah yang terbuat dari bahan kayu yang cukup tua. Rumah itu tradisional tetapi sangat mewah. Nafas Trisya sudah naik turun dengan begitu sangat lelah sekali.
Devan mengatakan rumahnya tidak jauh dan ternyata rumah dia yang begitu sangat jauh sekali yang membuat Trisya benar-benar lelah dengan keringatan yang tidak pernah seumur hidupnya berjalan sampai sejauh itu.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Devan yang melihat Trisya memegang kedua lututnya.
"Iya. Aku baik-baik saja. Apa ini rumah kamu?" tanya Trisya dengan suara nafas yang terdengar serak.
"Iya, ini rumahku dan yang paling besar di desa ini," jawab. Devan yang lagi-lagi terus saja pamer.
"Bukan aku yang mengatakan seperti itu. Tetapi warga yang membuat kesimpulan sendiri," ucap Devan yang tidak ingin dianggap kamu. Trisya sama sekali tidak menanggapi.
Tiba-tiba pintu rumah terbuka dan keluar seorang wanita paruh baya yang membawa sapu lidi yang mungkin saja dia ingin menyapu halaman.
"Devan!" teriak wanita itu yang tampak kaget.
"Ibu!" sahut Devan.
Wanita itu dan Devan saling berlari untuk menghampiri yang memeluk begitu erat.
"Jadi itu ibunya," batin Trisya yang masih saja mengatur nafas.
"Devan pulang," wanita itu berteriak dengan suaranya yang benar-benar begitu kencang yang mungkin satu kampung akan mendengarnya.
Mata Trisya melotot saat melihat orang berhamburan keluar dari rumah tersebut, dari yang sekitar berusia 30 tahunan ada juga yang tua dan sampai anak bayi yang masih digendong. Trisya seperti melihat orang demo saja dan semua orang-orang di sana langsung mengerumuni Devan.
"Om Devan pulang!"
"Om kangen,"
"Kamu tambah keren Devan!"
Trisya hanya melongo melihat keluarga itu yang benar-benar ricuh dan mungkin Devan dan keluarganya memang sangat dekat.
Di tengah Devan yang disambut keluarganya dengan penuh kebahagiaan dan sambil tertawa-tawa. Tiba-tiba Devan baru teringat sesuatu dan menoleh ke belakang yang melihat Trisya masih tetap berdiri dengan wajah yang bingung dan mata terbuka lebar.
"Astaga aku lupa!" Devan langsung menghampiri calon istrinya itu dan menarik tangan Trisya yang membuat Trisya kaget dan mengikut saja.
"Aku sampai melupakan Trisya. Ibu. Ayah dan semuanya yang ada di sini. Ini perkenalkan Trisya calon istriku. Ini yang aku katakan kemarin," ucap Devan dengan tersenyum dan sangat bangga memperkenalkan istrinya yang sangat cantik.
"Halo aku!"
Semua orang yang ada di sana langsung mengulurkan tangan dengan serentak sembari memperkenalkan nama mereka yang membuat Trisya bingung siapa yang harus dia sambut terlebih dahulu. Belum lagi berisik yang rebutan berbicara.
Mata Trisya yang berkeliling melihat tangan-tangan yang dari keriput sampai tangan yang masih kecil sekali.
"Satu-satu.Tangan Trisya hanya 1," ucap Devan dengan geleng-geleng kepala.
"Trisya. Ini Ibu dan Bapakku," ucap Devan memperkenalkan dan Trisya mengulurkan tangannya dengan sopan.
"Calon menantu kami sangat cantik sekali," puji Ibu Devan.
Devan yang juga memperkenalkan Trisya kepada saudara-saudaranya yang sudah dia katakan sebelumnya di dalam mobil dan juga memperkenalkan pada keponakan-keponakannya.
"Ya. Sudah kita jangan hanya berdiri di sini saja. Ayo kita masuk. Kakak sudah membuatkan makanan yang lezat-lezat untuk kamu dan juga untuk calon istri kamu," sahut Astri kakak pertama Devan.
"Baik kak," sahut Devan.
Keluarga Devan berjalan terlebih dahulu dan kemudian Devan menyusul yang ditahan oleh Trisya.
"Ada apa?" tanya Devan.
"Semua yang kamu katakan di mobil tentang saudara kamu dan juga keponakan kamu. Mereka tinggal di sini atau punya rumah masing-masing?" tanya Trisya.
"Rumah ini terlalu besar hanya untuk ibu dan bapak. Jadi mereka semua tinggal di sini," jawab Devan.
"What!" pekik Trisya yang benar-benar sangat terkejut dan entah apa yang dibayangkan Trisya.
"Ayo cepat masuk!" ajak Devan yang terlebih dahulu berjalan.
"Astaga. Bagaimana mungkin bisa tinggal satu rumah yang seperti ini dengan banyak kepala keluarga. Apa keluarga mereka tidak mempunyai privasi," batin Trisya yang benar-benar begitu lemas.
"Trisya ayo cepat kenapa masih berdiri di sana!" panggil Devan.
"Iya-iya," sahut Trisya.
Bersambung.....
mungkin nenek sudah tenang karena perusahaan itu sudah di pegang oleh Trisya, karena itu dia tenang meninggalkan dunia ini
sama² punya tingkat kepedean yg sangat luar biasa tinggi