Kimberly alias Kimi, seorang perempuan ber-niqab, menjalani hari tak terduga yang tiba-tiba mengharuskannya mengalami "petualangan absurd" dari Kemang ke Bantar Gebang, demi bertanggungjawab membantu seorang CEO, tetangga barunya, mencari sepatu berharga yang ia hilangkan. Habis itu Kimi kembali seraya membawa perubahan-perubahan besar bagi dirinya dan sekelilingnya. Bagaimana kisah selengkapnya? Selamat membaca...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Budiman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berpisah di Kemang
Bajaj yang dikemudikan Adi perlahan berhenti di tepi jalan Kemang, tepat di depan rumah Kimi. Senja semakin merah, menyelimuti langit di atas kendaraan mungil itu. Sementara lampu-lampu rumah mulai dinyalakan. Kimi menghela napas dalam, merasakan kelegaan setelah perjalanan panjang hari ini.
Motor yang mengikuti mereka, yang dikendarai oleh vlogger laki-laki, juga berhenti tepat di belakang bajaj. Ia mematikan mesin motor dan membuka helmnya, sementara Adi, Kimi, dan vlogger perempuan turun dari bajaj.
Di depan pintu gerbang rumah Kimi, mereka saling berhadapan, sejenak membiarkan keheningan mengisi ruang di antara mereka. Wajah Adi masih menyiratkan jejak kesedihan, namun ia mencoba tersenyum, meski samar.
"Terima kasih banyak atas bantuannya hari ini," kata Adi dengan suara sedikit serak, seraya menyerahkan beberapa lembar uang sebagai pembayaran sewa alat-alat kepada vlogger laki-laki. "Ini untuk sewa ponsel, tripod, dan clip-on yang kalian pinjamkan untuk video call rapat tadi. Sangat membantu."
Vlogger laki-laki itu menerima uang tersebut sambil mengangguk. “Iya, Pak, sama-sama. Kami juga senang bisa membantu sekaligus meliput perjalanan kalian,” ucapnya ramah.
Kimi berdiri di samping Adi, menyimak percakapan dengan penuh perhatian. Namun, perhatian Kimi teralihkan ketika si vlogger perempuan tampak malu-malu mendekatinya.
“Mmm Kak… boleh kenalan?” tanya si vlogger perempuan kepada Kimi dengan senyuman hangat dan sedikit canggung. Matanya berbinar, menunjukkan ketertarikan yang tulus.
Kimi tersenyum dari balik niqab-nya. “Tentu saja,” jawabnya lembut. Mereka berdua saling berjabat tangan.
“Nama saya Sarah,” ucap vlogger perempuan itu dengan riang. “Dan itu suami saya, namanya Adit,” tambahnya sambil melirik ke arah suaminya yang masih berdiri di dekat motornya. Adit tersenyum sambil melambai kecil ke arah Kimi dan Adi.
Adi dan Kimi tampak terkejut sesaat sebelum akhirnya Adi berkata, “Oh ya, tidak disangka loh! Kalian berdua sangat kompak!”
Sarah mengangguk. “Iya, kami memang suka kerja bareng...”
Kemudian Adi dan Kimi memperkenalkan diri mereka dengan sopan. Setelah perkenalan singkat, Sarah kembali memandang Kimi, kali ini dengan sorot mata lebih dalam.
“Saya suka sekali dengan cara Kakak berpakaian. Anggun dan sangat menginspirasi,” kata Sarah dengan suara yang sedikit bergetar. “Saya sendiri...” ia menunduk sesaat, kemudian melanjutkan dengan sedikit malu, “saya bahkan belum berjilbab, tapi melihat Kakak... saya merasa… terinspirasi.”
“MasyaAllah…” ucap Kimi merasa tersentuh oleh kejujuran Sarah. Ia mengangguk dengan lembut kemudian berkata, berusaha memberikan dukungan. “InsyaAllah, Sarah, perlahan-lahan akan ada waktunya untuk setiap langkah yang kamu ambil,” jawab Kimi dengan penuh kehangatan.
Sarah mengangguk, tersenyum kecil. “Boleh saya minta nomor ponsel Kakak? Siapa tahu kita bisa ngobrol lagi nanti.”
“Tentu,” jawab Kimi. Mereka pun saling bertukar nomor telepon.
Dari dekat sepeda motornya Adit bicara. “Senang bisa bertemu dan berkenalan dengan kalian berdua, Kak Kimi dan Pak.. Adi.”
“Tidak perlu panggil saya Pak, Dit, panggil Mas aja, cukup,” ucap Adi sambil tersenyum tulus, berharap ke depannya mereka tidak canggung kala bertemu lagi.
“Baik lah Mas Adi, sekali lagi terimakasih.”
“Sama-sama Dit, saya juga berterimakasih sekali.”
Setelah itu Sarah dan Adit berpamitan. “Kalau begitu sampai jumpa lagi, Kak Kimi, Mas Adi,” kata Sarah sambil melambaikan tangan. “Semoga lain kali kita bisa berjumpa dan bisa ngobrol lagi, ya!”
Mereka berdua menaiki motor dan mulai menjauh, melambaikan tangan sekali lagi sebelum motor itu menghilang di kelokan jalan. Kimi dan Adi memandang kepergian mereka dalam diam, merasakan kehangatan baru yang tumbuh dari perkenalan tak terduga itu.
Senja mulai memudar, dan langit semakin redup, menyisakan semburat jingga di cakrawala. Kimi menoleh ke arah Adi, yang tampak lebih tenang sekarang, meski matanya masih menunjukkan sedikit kesedihan yang belum sepenuhnya sirna. Setelah melihat itu, Kimi lekas berpaling.
Giliran Adi melirik ke arah Kimi, kemudian mengucapkan terima kasih, “Terima kasih, Kimi, untuk semuanya. Aku benar-benar… berterima kasih.”
Kimi mengangguk pelan. Dengan suara lembut ia berkata, “Sama-sama, Di. Ini memang sudah kewajibanku... untuk bertanggung jawab atas kehilangan sepatu kamu, meski hasilnya... seperti ini,” ucap Kimi dengan nada penuh sesal.
Adi menghela napas panjang, mencoba menenangkan hatinya. “Ya… mungkin ini semua memang takdir. Sepatu itu... mungkin sudah seharusnya hilang. Aku harus belajar mengikhlaskannya,” kata Adi, suaranya terdengar berusaha tegar.
Tanpa bicara lebih lanjut, Adi bergegas ke bajaj dan membuka tas belanjaan. Ia mengeluarkan gunting kecil dari dalam tas itu dan mulai memotong tali rami yang mengikat kain batik yang menutupi atap bajaj. Dengan cekatan, ia melepaskan kain batik itu, beserta boneka-boneka kecil dan bunga-bunga plastik yang tertempel di atasnya. Semua hiasan absurd itu kini ada di tangannya.
Adi menyerahkan kain batik beserta hiasan-hiasan itu kepada Kimi. Kimi terkejut dan sedikit bingung. “Kamu bisa simpan ini. Lagi pula, sayang kalau dibuang,” ucap Adi, lalu begitu menyadari keterkejutan dan kebingungan Kimi ia pun segera melanjutkan perkataan, “Aku… tak mungkin menaruh boneka-boneka ini di lemari atau tempat tidurku,” kata Adi dengan nada ringan, meski ada sedikit kegetiran di balik senyumnya.
Kimi menerima barang-barang itu dengan ragu, merasakan kecanggungan dalam situasi ini. Namun, ia mengerti, mungkin Adi ingin menyingkirkan kenangan pahit hari ini.
Kimi pun mendekap barang-barang itu seraya memilih untuk tidak berkata apa-apa. Namun kemudian Kimi teringat sesuatu. Ia berusaha merogoh tasnya dan menemukan sisa uang Adi yang masih tersimpan di sana. Dengan segera ia menyerahkannya kepada Adi. “Ini sisa uangmu, Di,” ucapnya.
Adi menatap uang itu sejenak, berpikir sebelum akhirnya berkata, “Mmm... Kamu simpan saja. Aku... sudah banyak merepotkanmu hari ini.”
Kimi segera menolak, “Jangan begitu, Di. Aku tak enak. Lagi pula, sudah kubilang ini kewajibanku. Gara-gara aku, sepatumu hilang. Aku tak bisa menerimanya,” kata Kimi tegas namun lembut.
Adi akhirnya mengerti, ia menerima uang itu dengan anggukan kecil. “Baiklah,” jawabnya singkat, masih dengan senyum tipis di wajahnya. “Oh ya, maafkan aku soal wawancara kerjamu yang gagal hari ini,” lanjut Adi dengan nada penuh penyesalan.
Kimi hanya menggeleng pelan, “Tak apa-apa, Di. Urusanmu lebih penting,” jawabnya sambil memeluk kain batik, boneka, dan bunga-bunga plastik di tangannya. Mereka berdua tampak canggung, tidak tahu harus berkata apa lagi.
Suara adzan maghrib mulai berkumandang, mengingatkan Kimi pada waktu yang sudah petang. “Sudah adzan... aku masuk ke rumah dulu, Di,” kata Kimi akhirnya, mengakhiri kebisuan di antara mereka.
Kimi mulai berjalan menuju rumahnya, namun langkahnya terhenti ketika mendengar Adi seperti akan berbicara lagi. Adi tampak ragu, namun akhirnya berkata juga, “Kimi, aku… akan sholat maghrib.”
Kimi menoleh, senyuman tipis di balik niqab-nya tak terlihat, tapi cukup tersirat dari sorot matanya. Kimi ingin mengucapkan sesuatu, namun setitik ragu menghalangi. Namun akhirnya, ia pun berkata, “Mandi dulu, bau... pakai air hangat.”
Adi hanya tersenyum di samping bajajnya. “Oke...” jawabnya singkat, masih dengan senyum tipis yang hangat.
Kimi mengangguk pelan, kemudian mengucapkan istighfar. Kimi merasa situasinya semakin canggung untuk berbicara lebih jauh.
Tiba-tiba pintu rumah Kimi terbuka, dan ibunya, Rosmalia, muncul di ambang pintu. Kimi segera mengucap salam, menyalami Rosmalia dan cepat-cepat masuk ke dalam rumah. Sementara Adi tersenyum sopan kepada Rosmalia sebelum naik kembali ke dalam bajaj.
Adi memutar kunci kontak bajaj dan perlahan mengendarai kendaraan kecil itu menuju gerbang rumah sebelah, sebuah rumah mewah tingkat tiga yang berdiri kokoh dan megah di samping rumah Kimi.
Sesaat sebelum memasuki gerbang, Adi berhenti sejenak, memandang ke arah rumah Kimi yang kini pintunya telah tertutup. Ia menarik napas dalam.
Kemudian perhatian Adi beralih ke bajaj. Ia teringat bahwa bajaj yang ia kendarai harus dikembalikan. Tapi ia tak tahu pemilik bajaj ada di mana sekarang. Tadi ia tak melihatnya di sekitar penampungan sampah.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya Adi memutuskan untuk membawanya dulu ke pekarangan rumahnya.
"Budiiii... Budiii...!!! Bukaaa...!!!" teriak Adi.
Budi muncul, "Pak Adi, kenapa Bapak bawa bajaj?" tanya Budi, heran.
"Ceritanya panjang, cepat buka dulu gerbangnya!" suruh Adi
Begitu gerbang terbuka Bajaj pun melaju perlahan mau memasuki gerbang. Namun tiba-tiba dihentikan suara seseorang dari arah belakang, “Pak, sudah bajajnya?”
Terima kasih memberikan cerita tentang keteguhan seseorang dalam mempertahankan keyakinannya.
Bravo selamat berkarya, kuharap setiap hari up.