Perempuan di Balik Topeng
menceritakan kisah Amara, seorang gadis desa sederhana yang jatuh cinta pada Radit, seorang pria kaya raya yang sudah memiliki dua istri. Radit, yang dikenal dengan sifatnya yang tegas dan dominan, terpesona oleh kecantikan dan kelembutan Amara. Namun, hubungan mereka menghadapi banyak rintangan, terutama dari Dewi dan Yuni, istri-istri Radit yang merasa terancam.
Dewi dan Yuni berusaha menghalangi hubungan Radit dan Amara dengan berbagai cara. Mereka mengancam Amara, menyebarkan fitnah, dan bahkan mencoba untuk memisahkan mereka dengan berbagai cara licik. Amara, yang polos dan lugu, tidak menyadari kelicikan Dewi dan Yuni, tetapi Radit, meskipun jatuh cinta pada Amara, terjebak dalam situasi sulit.ujian
Radit harus memilih antara kekayaan dan kekuasaannya, atau menuruti hatinya yang telah jatuh cinta pada Amara. Kisah ini menjelajahi tema cinta, kekuasaan,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Idayati Taba atahiu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab19
Dewi dan Yuna duduk berhadapan di meja makan, wajah mereka dipenuhi dengan rencana licik. Keduanya sedang merencanakan cara untuk menghancurkan Amara dan merebut harta kekayaan Mas Radit.
"Ratna pasti punya orang yang bisa kita gunakan," kata Dewi, suaranya dingin. "Dia kan desainer terkenal, pasti banyak kenal orang-orang di dunia hiburan."
"Ya, benar," jawab Yuna, matanya berbinar licik. "Kita bisa memanfaatkan orang itu untuk mempromosikan klub-klub milik Mas Radit. Semakin terkenal klub-klubnya, semakin banyak uang yang dia hasilkan. Dan semakin banyak uang yang dia hasilkan, semakin mudah kita menguasainya."
"Bagus," kata Dewi, senyum licik terukir di bibirnya. "Kita hubungi Ratna sekarang."
Dewi mengambil ponselnya dan menghubungi Ratna. "Halo, Ratna," sapa Dewi, suaranya terdengar manis. "Apa kabar? Lagi sibuk ngapain nih?"
"Eh, Dewi! Kabar baik, lagi sibuk ngurusin koleksi baru," jawab Ratna, suaranya terdengar ramah. "Kamu sendiri gimana? Lagi ngapain?"
"Aku baik-baik aja kok," jawab Dewi, "Lagi ngobrol sama Yuna nih. Eh, sebenarnya aku mau ngobrol sama kamu soal bisnis."
"Oke, apa yang kamu mau?" tanya Ratna, "Bisnis apa nih?"
"Begini, Ratna," kata Dewi, "Kamu kan kenal banyak orang di dunia hiburan. Punya rekomendasi nggak sih buat orang yang bisa bantu mempromosikan klub-klub?"
"Klub? Klub apa?" tanya Ratna, "Kok tiba-tiba ngomongin klub?"
"Klub milik suamiku," jawab Dewi, "Dia punya beberapa klub di Jakarta. Kita lagi cari orang yang bisa bantu promosikan klub-klubnya."
"Oh, begitu," kata Ratna, "Aku punya satu orang yang cocok. Dia anak muda, jago nge-rap, dan punya banyak koneksi di dunia hiburan. Dia pasti bisa bantu kamu."
"Bagus," kata Dewi, "Kapan kita bisa ketemu sama dia?"
"Kapan kamu bisa?" tanya Ratna, "Aku bisa atur pertemuannya."
"Besok siang saja," jawab Dewi, "Kita bisa ketemu di kafe dekat kantor kamu. Gimana?"
"Oke, deal," kata Ratna, "Sampai jumpa besok ya!"
Dewi menutup teleponnya, senyum licik terukir di bibirnya. "Dia punya orang yang bisa kita gunakan," kata Dewi, "Kita bisa memanfaatkan orang itu untuk menghancurkan Amara dan merebut harta kekayaan Mas Radit."
"Ya, benar," jawab Yuna, "Kita akan segera menguasai semuanya."
Dewi dan Yuna saling berpandangan, senyum licik terukir di wajah mereka. Mereka yakin, rencana licik mereka akan berhasil. Mereka akan segera menguasai semuanya. Mereka akan segera mendapatkan apa yang mereka inginkan.
*****
"Dia sudah dapat orangnya," kata Dewi, suaranya berbisik, namun dipenuhi dengan kegembiraan yang terselubung. "Ratna bilang, dia punya orang yang cocok untuk kita gunakan." Dewi mengusap bibirnya dengan jari-jari lentik, matanya berkilat tajam.
"Siapa namanya?" tanya Yuna, matanya berbinar-binar, tangannya mengepal erat di pangkuan. "Apa dia ganteng?"
"Namanya Dimas," jawab Dewi, "Ratna bilang, dia anak muda, jago nge-rap, dan punya banyak koneksi di dunia hiburan. Dia pasti bisa bantu kita." Dewi menyeringai, menunjukkan deretan giginya yang putih dan tajam.
"Bagus," kata Yuna, "Kapan kita bisa ketemu sama dia?" Yuna mencondongkan tubuh ke depan, matanya menyipit penuh harap.
"Ratna sudah kasih nomor teleponnya," jawab Dewi, "Kita bisa hubungi dia langsung." Dewi membuka ponselnya dengan gerakan cepat, jari-jarinya lincah mengetik nomor Dimas. "Kita hubungi dia sekarang," kata Dewi, "Kita harus segera bertemu dengannya dan membahas rencana kita." Dewi menatap Yuna dengan tatapan penuh kemenangan.
"Ya, benar," jawab Yuna, "Kita harus segera bergerak sebelum Amara menyadari apa yang kita rencanakan." Yuna mengangguk setuju, matanya berkilat-kilat penuh ambisi.
Dewi menghubungi Dimas. "Halo, Dimas?" sapa Dewi, suaranya terdengar manis, namun di balik itu tersembunyi ancaman terselubung. "Ini Dewi, teman Ratna. Ratna bilang, kamu bisa bantu kita mempromosikan klub-klub milik suamiku."
"Oh, iya, Dewi," jawab Dimas, "Saya siap membantu. Kapan kita bisa bertemu?"
"Besok siang saja," jawab Dewi, "Kita bisa bertemu di kafe dekat kantor Ratna. Gimana?" Dewi tersenyum penuh arti, seolah-olah sudah mengendalikan situasi.
"Oke, deal," jawab Dimas, "Sampai jumpa besok."
Dewi menutup teleponnya, senyum licik terukir di wajahnya. "Dia sudah setuju," kata Dewi, "Kita akan segera bertemu dengannya dan membahas rencana kita." Dewi berdiri, matanya memancarkan tekad bulat.
"Ya, benar," jawab Yuna, "Kita akan segera menguasai semuanya." Yuna ikut berdiri, tangannya mengepal erat, siap untuk menjalankan rencana mereka.
Dewi dan Yuna saling berpandangan, senyum licik terukir di wajah mereka. Mereka yakin, rencana licik mereka akan berhasil. Mereka akan segera menguasai semuanya. Mereka akan segera mendapatkan apa yang mereka inginkan.
*******
Dewi mencengkeram ponselnya dengan erat, jari-jarinya gemetar saat menekan nomor Dimas. "Halo, Dimas," sapa Dewi, suaranya terdengar manis, namun di balik itu tersembunyi ancaman terselubung. "Ini Dewi, teman Ratna. Kita sudah janjian mau ketemu hari ini, kan?"
"Oh, iya, Bu Dewi," jawab Dimas, suaranya terdengar gugup. "Maaf, saya lagi ada urusan di luar kota. Tapi teman saya, Yoga, bisa mewakili saya. Dia juga jago nge-rap dan punya banyak koneksi. Gimana kalau Yoga yang ketemu Bu Dewi hari ini?"
"Luar kota?" tanya Dewi, suaranya sedikit meninggi, "Kenapa nggak bilang dari awal? Kenapa harus pakai teman?" Dewi berusaha keras untuk menahan amarahnya, namun nada bicaranya sudah mulai terdengar dingin.
"Maaf, Bu Dewi," jawab Dimas, "Saya lupa ngasih tahu. Saya buru-buru banget waktu itu. Yoga bisa bantu kok, Bu. Dia juga bisa ngasih tahu rencana Bu Dewi ke saya nanti."
"Ya sudahlah," kata Dewi, "Mana nomor Yoga?" Dewi berusaha untuk tetap tenang, namun di balik senyum tipisnya, amarah mulai membara.
Dewi menyimpan nomor Yoga dan menghubungi pemuda itu. Mereka sepakat untuk bertemu di restoran yang sama tempat Amara biasa makan siang.
Dewi tiba di restoran dan melihat seorang pemuda tinggi dan kekar duduk di meja yang telah dipesan. Pemuda itu mengenakan kaos oblong dan celana jeans, penampilannya jauh dari kesan "jago nge-rap" yang dijanjikan Ratna.
"Yoga?" tanya Dewi, suaranya terdengar dingin. "Kamu teman Dimas?"
"Iya, Bu Dewi," jawab Yoga, "Saya Yoga. Maaf, Dimas lagi ada urusan di luar kota. Dia titip pesan buat ketemu Bu Dewi hari ini."
"Kenapa Dimas nggak bisa datang sendiri?" tanya Dewi, "Kenapa harus pakai teman?" Dewi berusaha untuk tetap tenang, namun di balik senyum tipisnya, amarah mulai membara.
"Dimas lagi ada urusan mendadak, Bu," jawab Yoga, "Dia titip pesan buat ngasih tahu rencana Bu Dewi. Nanti saya sampaikan ke dia begitu dia pulang."
"Kapan dia pulang?" tanya Dewi, "Kapan dia bisa bantu kita?"
"Besok sore dia baru pulang, Bu," jawab Yoga, "Tapi kita bisa bicarakan rencana Bu Dewi sekarang. Nanti saya sampaikan ke Dimas begitu dia pulang."
"Ya sudahlah," kata Dewi, "Ceritakan saja rencana kita. Semoga Dimas bisa bantu kita." Dewi berusaha untuk tetap ramah, namun di balik senyum tipisnya, amarah mulai membara.
"Oke, Bu Dewi," jawab Yoga, "Silakan ceritakan rencana Bu Dewi."
Dewi pun menceritakan rencana liciknya kepada Yoga. Dia ingin memanfaatkan Dimas untuk mempromosikan klub-klub milik Mas Radit dan menghancurkan Amara.
"Saya mengerti, Bu Dewi," kata Yoga, "Saya akan sampaikan ke Dimas begitu dia pulang."
"Bagus," kata Dewi, "Saya harap Dimas bisa bantu kita." Dewi tersenyum tipis, namun di balik senyumnya, amarah mulai membara.
"Tentu, Bu Dewi," jawab Yoga, "Saya akan berusaha sebaik mungkin."
Yoga pun mendengarkan rencana licik Dewi dengan seksama. Di balik senyum ramahnya, tersembunyi rencana licik yang lebih besar. Yoga bertekad untuk memanfaatkan situasi ini untuk keuntungannya sendiri.