Ketika Regita pindah ke rumah baru, ia tak pernah menyangka akan tertarik pada Aksa, kakak tirinya yang penuh pesona dan memikat dalam caranya sendiri. Namun, Aksa tak hanya sekadar sosok pelindung—dia punya niat tersembunyi yang membuat Regita bertanya-tanya. Di tengah permainan rasa dan batas yang kian kabur, hadir Kevien, teman sekelas yang lembut dan perhatian, menawarkan pelarian dari gejolak hatinya.
Dengan godaan yang tak bisa dihindari dan perasaan yang tak terduga, Regita terjebak dalam pilihan sulit. Ikuti kisah penuh ketegangan ini—saat batas-batas dilewati dan hati dipertaruhkan, mana yang akan ia pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RASA YANG BERKEMBANG
Regita masih terpaku di tempat, hatinya berdentam kencang. Bekas kecupan Aksa di pipinya terasa begitu nyata, dan senyumnya—senyum yang menggoda namun penuh kehangatan itu—terus terbayang di benaknya. Ia menghela napas dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang masih tak beraturan.
Tak lama kemudian, ponselnya bergetar. Ia mengambilnya dan melihat pesan dari Aksa.
"Jangan kelamaan bengong. Nanti malah jadi kebiasaan, haha."
Regita tersenyum kecil membaca pesan itu, merasa geli sekaligus malu. Aksa selalu bisa membuatnya bingung sekaligus merasa nyaman pada saat yang sama. Ia membalas pesan itu.
"Kakak sendiri yang bikin aku bengong. Jadi jangan salahin aku."
Balasan dari Aksa datang dengan cepat.
"Kalau gitu, gue bakal datang lagi buat bikin lo bengong tiap hari, gimana?"
Regita tak bisa menahan senyumnya yang semakin lebar. Ia mengetik balasan sambil menggigit bibirnya.
"Hati-hati nanti aku beneran nunggu tiap hari."
Kali ini balasan Aksa sedikit lebih lama datangnya, dan ketika ponselnya bergetar lagi, pesan yang masuk membuat pipi Regita memerah.
"Percaya sama gue, gue juga nunggu hari-hari itu, Git."
Regita menatap layar ponselnya, merasakan perasaannya semakin tak karuan. Di satu sisi, ia tahu situasi mereka rumit—bahkan mungkin mustahil—tapi di sisi lain, ada sesuatu dalam diri Aksa yang membuatnya sulit berpaling. Seseorang yang selama ini dia anggap sebagai kakak tirinya kini menjadi sosok yang membuatnya berdebar dan ingin mengenalnya lebih dalam.
Ia pun meletakkan ponselnya, mencoba meredam semua perasaan yang berkecamuk di dadanya. Namun, di sudut hatinya, ia tahu bahwa dirinya mulai berharap akan sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan kakak tiri.
Hari-hari berlalu, dan Regita semakin sering mendapati pikirannya dipenuhi oleh Aksa. Tiap kali mereka berpapasan di rumah, bahkan ketika hanya lewat sapaan singkat, ada sensasi yang membuat jantungnya berdebar lebih cepat. Aksa, dengan tatapan yang sering kali dalam dan senyum yang selalu mencuri perhatian, selalu berhasil mengguncang perasaannya.
Suatu sore, saat Regita sedang belajar di ruang tamu, Aksa tiba-tiba datang dan duduk di seberangnya. Suasana menjadi hening, namun Regita berusaha tetap fokus pada bukunya.
"Ada yang bikin lo bingung?" tanya Aksa tiba-tiba, suaranya rendah dan penuh perhatian.
Regita mengangkat wajah, mencoba tersenyum agar tak tampak gugup. "Nggak kok, Kak. Cuma… lagi nyiapin presentasi."
Aksa mengangguk, lalu menarik kursinya lebih dekat, hingga mereka duduk berdampingan. "Boleh gue lihat materinya?"
Regita mengangguk dan menyerahkan buku catatannya, meskipun pikirannya sekarang tak bisa fokus. Aksa duduk begitu dekat, hingga ia bisa merasakan kehangatan dari tubuhnya dan aroma khas yang selalu mengingatkannya pada pria itu.
Ketika Aksa mengembalikan catatannya, ia menatap Regita dengan serius. "Git… Kamu kelihatan capek akhir-akhir ini. Kenapa nggak istirahat sebentar?"
Regita menelan ludah, mencoba tersenyum kecil. "Aku baik-baik aja, Kak. Cuma mungkin sedikit banyak mikirin tugas."
Aksa mengangkat tangan dan menyentuh bahu Regita dengan lembut. "Kalau ada yang bisa gue bantu, bilang aja. Gue di sini buat lo, Git."
Mata mereka saling bertemu, dan untuk beberapa detik yang terasa lama, mereka hanya terdiam. Regita bisa merasakan kehangatan dan ketulusan di balik tatapan Aksa, dan meskipun ada keraguan dalam hatinya, perasaannya semakin sulit untuk dibantah.
Aksa menatap Regita dengan serius, lalu bertanya, “Git, lo udah kepikiran mau lanjut kuliah di mana?”
Regita menghela napas, terlihat ragu. "Sebenarnya… belum pasti sih, Kak. Banyak pilihan, tapi aku belum tahu yang mana yang beneran aku mau.”
Aksa tersenyum tipis dan tanpa ragu langsung berkata, “Di kampus gue aja, gimana? Biar kita bisa bareng terus.”
Regita terdiam, terkejut dengan ajakan itu. “Serius, Kak? Kamu mau aku kuliah di sana?” tanyanya, berusaha memastikan.
Aksa mengangguk dengan mantap. “Kenapa nggak? Gue bisa bantu lo kenalan sama dosen, lingkungan kampus, dan kalau ada yang perlu dibantu, gue ada di situ. Lo nggak akan sendiri.”
Regita merasa hatinya menghangat mendengar perkataan itu. Meski awalnya ia ragu, ada sesuatu dalam nada suara Aksa yang membuatnya merasa tenang. “Tapi… aku takut ngerepotin kamu, Kak.”
“Git, buat gue, lo nggak akan pernah jadi repot. Lagipula, gue akan merasa lebih tenang kalau lo deket,” kata Aksa sambil menatapnya dalam-dalam.
Regita menggigit bibirnya, berusaha menahan senyum yang terbit. Meski baru sebatas rencana, bayangan bisa menghabiskan waktu di kampus yang sama dengan Aksa membuatnya sedikit lega. “Baiklah, aku pertimbangkan. Tapi kamu janji nggak akan bosan lihat aku tiap hari?”
Aksa tertawa kecil, lalu menjawab dengan tatapan yang membuat pipi Regita kembali memerah. “Bosen? Justru gue yang mungkin nggak akan cukup lihat lo setiap hari.”
Regita tersenyum malu, tak bisa menahan rona merah di pipinya. Mendengar perkataan Aksa barusan membuat hatinya semakin yakin, meski ada keraguan dalam dirinya. Namun, perhatian Aksa dan caranya membuatnya merasa diperhatikan begitu dalam terus menguatkan perasaannya.
Tak lama, Aksa menatapnya sambil menepuk bahunya lembut. "Git, nggak usah terlalu khawatir soal kuliah. Apa pun keputusan lo, gue dukung. Tapi kalau kita bisa bareng, ya itu bonus buat gue."
Regita tersenyum kecil, senang mendengar kata-kata dukungan itu. “Makasih, Kak. Nggak tahu kenapa, rasanya nyaman aja kalau kamu yang bilang kayak gitu.”
Aksa tersenyum hangat, lalu tanpa sadar mengusap puncak kepala Regita. “Ya ampun, lo lucu banget, tahu nggak?” godanya.
Regita tergelak pelan, merasa dirinya kembali seperti anak kecil yang diperlakukan dengan penuh kasih sayang. "Kakak, jangan begitu ah… malu,” ucapnya sambil tertawa malu-malu.
Aksa tertawa, namun tatapannya tetap lembut. "Terserah lo, Git. Gue akan tetap ada buat lo, kapan pun lo butuh.”
Saat mereka saling menatap dalam hening, Aksa tiba-tiba menarik tangan Regita dengan lembut namun tegas, membuat Regita terduduk di pangkuannya. Jantungnya berdegup kencang, dan ia bisa merasakan detak jantung Aksa yang sama cepatnya. Mata mereka bertemu, dan tatapan Aksa tak teralihkan, penuh intensitas yang membuat Regita sulit bernapas.
“A-aks… Kak, kamu…” Regita tergagap, bingung dan sedikit terkejut, namun Aksa hanya tersenyum samar, lalu meletakkan tangannya di pinggang Regita, memastikan dirinya tetap berada di tempatnya.
"Git," bisik Aksa dengan suara rendah, "gue udah bilang, kan? Gue nggak suka kalau lo terlalu dekat sama yang lain."
Regita menelan ludah, masih tertegun dalam tatapan Aksa yang begitu dekat. "Tapi… kenapa, Kak?"
Aksa mendekatkan wajahnya ke telinga Regita, suaranya nyaris seperti bisikan. “Karena gue nggak mau ada yang ngambil perhatian lo selain gue.”
Regita hanya bisa terdiam, tak mampu menjawab, sementara hatinya terombang-ambing antara bingung dan harapan yang berbisik pelan di sudut hatinya.
Aksa masih menatapnya lekat, jarak antara wajah mereka hampir tak tersisa. Regita bisa merasakan panasnya napas Aksa di wajahnya, membuat tubuhnya semakin kaku. Namun, ia tak bisa menahan rasa deg-degan yang memenuhi dadanya.
“Git, gue serius soal ini,” ucap Aksa, suaranya rendah namun tegas. “Gue nggak mau lo dekat sama yang lain.”
Regita menatap Aksa, hatinya dipenuhi oleh perasaan yang campur aduk. “Kenapa, Kak?” tanyanya pelan, penasaran namun juga takut dengan jawabannya.
Aksa mengulurkan tangannya, mengusap pipi Regita dengan lembut, seakan mencoba menenangkan kegelisahan di wajahnya. “Karena, mungkin… gue nggak bisa nahan diri kalau terus lihat lo kayak gini.”
Regita terdiam, tak tahu harus berkata apa. Rasanya seolah-olah dunia di sekitarnya menghilang, hanya ada dia dan Aksa. Matanya tak bisa lepas dari tatapan intens Aksa, hingga perlahan-lahan ia menunduk, mencoba menyembunyikan rona merah yang semakin dalam di wajahnya.
Namun, Aksa mengangkat wajahnya dengan lembut, membuat Regita kembali menatapnya. “Git… lo ngerti kan maksud gue?” ujar Aksa sambil tersenyum tipis.
Regita hanya mengangguk pelan, hatinya penuh gejolak. Ia tahu, perasaan ini sudah berkembang jauh dari sekadar kagum atau suka.