Blurb :
Sebuah pernikahan yang hanya di dasari oleh cinta dari salah satu pihak, akankah berjalan mulus??
Jantung Arimbi seakan runtuh ketika pria itu mengatakan 'kita akan tidur terpisah'
Akankah ketulusan Arimbi pada putri semata wayang mampu membuat Bima, seorang TNI AU berpangkat Sersan Mayor membalas cintanya?
______
Arimbi terkejut ketika sosok KH Arifin, datang ke rumahnya bersama Pak Rio dan Bu Rio.
Yang lebih mengagetkannya, kedatangan mereka bertujuan untuk melamar dirinya menjadi istri dari putranya bernama Bima Sena Anggara, pria duda beranak satu.
Sosoknya yang menjadi idaman semenjak menempuh pendidikan di pondok pesantren milik Abi Arifin, membuat Arimbi berjingkrak dengan perjodohan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ 2 ~
Kami tiba di rumah papi sekitar pukul dua belas lewat sepuluh menit. Jarak rumah kami ke rumah papi memang lumayan jauh, sekitar satu jam lebih.
Kami yang sempat mampir ke supermarket untuk membeli oleh-oleh, perjalananpun terasa lebih lama.
"Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumsalam" Kami di sambut oleh papi Rio yang langsung menggendong Lala sesaat setelah Lala mengecup punggung tangan opanya. Detik berikutnya giliran aku dan mas Bima mengecup punggung tangan Papi secara bergantian.
"Sehat pi?" tanyaku. Hampir tiga minggu kami tidak bertemu, sebab mas Bima ada tugas di kepulauan Riau dan baru pulang kemarin sehingga aku dan Lala tak berkunjung kemari. Begitupun sebaliknya, kesibukan papi yang masih bekerja di perusahaan ayah Danu, membuatnya tak ada waktu untuk saling bersilaturrahmi.
"Sehat nak, kalian sendiri gimana?"
"Alhamdulillah sehat juga" Kami sama-sama melangkah masuk.
"Terus cucu opa gimana ini?" Papi bertanya pada Lala sambil menggelitikinya hingga Lala terkekeh karena geli.
"Sehat opa"
Mas Bima dan papi berhenti di ruang keluarga, sementara aku langsung menuju dapur karena mendengar suara dentuman sutil di atas wajan.
"Assalamu'alaikum, mih?"
"Wa'alaikumsalam, sayang" mami menoleh ke belakang sekilas, kemudian kembali fokus dengan tumisannya. "Sudah di sini tah?"
"Sudah" Sahutku Menaruh bingkisan di atas meja, aku melangkah menghampiri mami untuk mengecup punggung tangannya.
Selagi melangkahkan kaki aku bertanya. "Masak apa mih?"
"Ini mami lagi numis pare campur udang"
Bau udangnya begitu terasa, tapi sayangnya mas Bima tak makan udang karena alergi.
"Mami sehat kan?"
"Ya mami sehat, bahkan sangat sehat"
"Sehat terus ya mi, sampai cucu-cucunya dewasa dan menikah"
"Aamiin, insya Allah"
Usai mengecup punggung tangan mami, aku mengambil piring saji untuk menyajikan tumis pare yang sudah matang.
"Kamu sendiri sehat Bi, Syahla, sama Bima?"
"Sehat" Ku pindahkan tumisan pare itu dari wajan ke piring saji, lalu meletakannya di atas meja makan.
"Mbak Zara sama mbak Kanes belum datang mih?"
"Belum, tadi mereka bilang si masih di jalan"
"Ini biar aku yang lanjutin, mami nyapa mas Bima sama Lala aja"
"Okay sayang" Mami menunjuk kepiting yang ada di wadah. Sepertinya sudah siap untuk di masak. "Ini nanti di steam ya Bi"
"Iya mih"
"Mami ke cucu mami dulu"
"Iya" Mami pergi ke ruang keluarga setelah ku iyakan.
Nama panggilanku Arimbi. Karena namaku adalah Dewi Arimbi, dan suamiku Bima Sena, kadang-kadang, ada juga rekan kerjaku yang iseng meledekku sebab namaku sangat cocok di sandingkan dengan nama mas Bima. Seperti tokoh di perwayangan, protagonis di kisah Mahabarata.
Aku sendiri tak menyangka akan berjodoh dengan pria yang kebetulan bernama Bima Sena.
Tunggu...
Hanya namanya saja yang cocok bersanding. Jiwa dan raga kami? entahlah.. Kami bukan sepasang suami istri seperti tokoh wayang itu, hanya aku yang mencintai mas Bima, sementara mas Bima, dia masih menutup pintu hatinya untukku.
***
Selesai makan siang, kami berkumpul di taman samping rumah. Kami bercengkarama membicarakan banyak hal terutama mengenai anak-anak.
Ada mbak Zara, kakak ipar tertua dan mbak Kanes, kakaknya mas Bima yang selisih usianya hanya dua tahun. Serta suami mereka mas Ken dan mas Rangga.
Sembari mengobrol, sepasang netra kami tak lepas dari anak-anak yang sedang bermain dengan omanya. Mbak Cia anak pertama mbak Zara dan mas Ken yang begitu menyayangi adik-adiknya Alfio, Gema serta Lala, putri kecilku.
Pandanganku juga sesekali melirik mas Bima yang begitu asik bermain catur melawan mas Ken. Sementara papi dan mas Rangga menjadi penonton. Ku dengar, papi mendukung mas Ken, sedangkan mas Rangga mendukung mas Bima.
Perkumpulan keluarga yang terasa hangat, andai saja mbak Ayu, bunda dan ayah Danu datang, pasti akan lebih ramai.
"Gimana Bima, Dek?" Mendengar pertanyaan dari mbak Kanes, Otomatis sepasang manik hitamku mencari netra miliknya.
"Gimana apanya, mbak?"
"Dia masih dingin tak tersentuh?"
Aku menganggukkan kepala dengan berat. Aku tahu yang di maksud kakak iparku ini.
Dia sama mbak Za memang mengetahui kondisi rumah tanggaku seperti apa, tapi mereka menyembunyikannya dari papi dan mami sebab aku melarang untuk jangan menceritakan pada mertuaku.
Sulit saat meyakinkan mereka terutama mbak Kanes agar tutup mulut, tapi aku bilang kalau aku bisa mengatasinya sendiri.
Mbak Kanes yang tipikal perempuan ceplas-ceplos, membuatku sedikit khawatir, takut jika dia keceplosan bicara ke mami mengenai kondisiku dan mas Bima, tapi sepertinya dia cukup kooperatif di ajak bekerja sama.
Dua kakak iparku ini cukup memahami posisiku, apalagi jika teringat tentang keakrabanku dengan Lala keponakannya, jelas mereka tidak mau mas Bima bercerai dariku.
Keduanya benar-benar baik dan selalu memberiku dukungan. Mbak Za dan mbak Kanes selalu siap dan akan membelaku jika mas Bima sampai berani mengkhianatiku.
"Kamu yang sabar ya, kami selalu ada buat kamu" Mbak Zara mengatakannya dengan tatapan sendu. "Mbak yakin suatu saat, Bima pasti akan mencintaimu, menghormatimu bahkan mendahulukanmu melebihi apapun"
"Aamiin"
Entah itu kapan terjadi, ku amini saja kalimat mbak Za yang selalu bisa membuatku sedikit kuat.
"Dia sebenarnya baik dan penyayang kok, tapi karena Hana sudah menghancurkan kepercayaannya, dia sedikit berubah menjadi pria introvert"
"Tapi dia kurang ajar enggak si mbak?" Celetuk mbak Kanes. "Gregetan aku sama adik laknat itu, istri baik, cantik, sayang sama anaknya, tapi malah di anggurin"
"Laknat-laknat gitu, kamu sayang sama dia, kalau lama nggak ketemu pasti langsung nemplok kayak koala"
Aku tersenyum menyikapi kalimat mbak Za. Dia memang sangat lembut, dan selalu menenangkan setiap kali mendengar apa yang terucap dari mulutnya.
Sementara sebagian dari ingatanku mengingat saat mbak Kanes baru datang tadi, dia langsung menghamburkan diri di punggung mas Bima.
Mas Bima yang tidak siap agak sedikit terhuyung namun tidak sampai jatuh.
Opo to mbak, tambah abot ae koyok manggul satu kintal beras.
Itu ucapan mas Bima sekitar satu jam yang lalu. Yang di balas dengan gigitan lembut di pundaknya sama mbak Kanes.
Aku dengar dari mbak Za kalau mas Bima itu, dulu adalah santri dugal yang sukanya berantem, telinga juga di pakein anting. Pernah juga mas Bima mukulin temannya sampai giginya rontok dan di bawa ke kantor polisi. Akibat kenakalannya itu, ayah Danu sempat mengira kalau dia menghamili pacarnya gara-gara menemukan tespek mbak Za di kamarnya.
Selain itu, jamannya mondok di ponpes kakek Abi Arifin, dia juga suka bolos karena nggak betah dengan aturan-aturan di ponpes. Puluhan kali pula papi Rio di panggil ke sekolah karena mas Bima ketahuan merokok saat jam pelajaran berlangsung.
Membicarakan kenakalan mas Bima, rasanya nggak akan pernah ada habisnya. Tapi meskipun kelakuan seperti itu, dia adalah tipe cowok yang sayang sama keluarga, apalagi sama mbak Za, mbak Kanes aja cemburu melihat mas Bima sayang-sayang ke kakak tertuanya itu.
Dia juga pengertian, ku akui hatinya seluas samudra, nggak suka basa-basi dan aku percaya kalau saat ini dia sudah berubah. Hanya saja, sikapnya padaku masih stuck di situ, Masih acuh dan cuek.
"Aahh,, sial!" mas Bima berteriak, kekhusyuanku yang tengah melamunkan dirinya seketika buyar. Reflek, aku mbak Za serta mbak Kanes kompak memusatkan perhatian pada segerombolan pria yang asik dengan aktivitasnya.
Mas Ken yang tampak bangga karena bisa mengalahkan mas Bima, membuat mas Bima menyugar rambutnya kasar.
"Nyerah atau gimana ini?" kata mas Ken.
"Puluhan tahun main catur sama mas Ken, menangmu bisa di hitung pakai jari Bim" kata Papi. "Ayo sekarang ganti mas Rangga lawan papi" Tambahnya seraya menempatkan diri di posisi mas Ken.
Ketika mas Bima bangkit untuk menyerahkan tempat duduknya pada mas Rangga, kami sempat bertemu pandang, namun aku langsung menundukkan kepala, aku kikuk, tak sanggup jika harus bersitatap melebihi tiga detik. Jantungku juga mendadak berdetak. Benar-benar detakannya membuatku tak nyaman, sampai aku mengeluarkan keringat dingin saking nervousnya.
"Mau ambil air dingin ya Bim?" mbak Kanes sedikit meninggikan suaranya. "Ambilin sekalian buat embak, ya!"
Saat aku mencuri pandang, ternyata mas Bima langsung masuk setelah bangkit dari duduknya, entah mau kemana, dapur, kamar mandi atau kamar mungkin.
"Ambil sendiri, aku mau ke toilet" Sahut mas Bima tanpa menoleh ke belakang.
"Emang dasar ya, adik jahanam, kalau mbak Za yang suruh, pasti langsung tuh di ambilin"
Pria itu berlenggang begitu saja tanpa menghiraukan protes dari kakaknya.
"Biar aku ambilkan mbak"
"Nggak usah Bi, tunggu Bima aja, nanti kalau dia nggak sekalian ambilin buat mbak, ku getok kepalanya sampai puyeng"
Tak berselang lama usai mbak Kanes mengatakan itu, kami sama-sama mendengar tangisan Lala yang saat aku meliriknya, putriku sudah berada di gendongan mami.
Tanpa pikir panjang, aku segera bangkit dan berlari untuk menghampirinya.
"Kenapa?" tanyaku lembut.
"Jatuh bun" rengeknya di iringi isakan.
Aku melirik bagian lutut Lala yang sedikit luka karena terbentur paving saat jatuh.
"Lukanya kecil kok, kita obatin ya"
"Nggak mau, sakit"
"Nanti di obatin nggak sakit" kataku terus membujuknya, lalu mengulurkan tangan mengambil alih Lala dari gendongan omanya.
Saat melihat mas Bima keluar dari rumah sambil membawa botol minuman dingin pesanan mbak Kanes, Lala langsung melingkarkan lengan ke leherku dan menyembunyikan kepalanya.
"Kenapa?" tanya mas Bima setelah berdiri di depanku yang menggendong Lala.
"Jatuh yah" kata Mami menjawab untuk Lala.
"Makannya jangan lari-larian"
Aku duduk setelah sampai di tempat yang ku duduki tadi dengan memangku Lala, satu tanganku menerima uluran kotak P3K dari tangan mbak Zara.
"Lala duduk sini, biar bunda yang obatin lukanya" mas Bima menepuk-nepuk pahanya. Namun, tak di hiraukan oleh Lala. Aku tahu putriku pasti takut dengan ayahnya yang dia kira akan memarahinya.
"Sama ayah ya nak, kalau begini bunda susah ngobatinnya"
"Sama bunda aja, budhe Zara yang obatin lukanya, nanti ayah marahin Lala, bun" bisiknya yang hanya bisa di dengar olehku
"Jadi mau di obatin sama bu dhe?"
Lala mengangguk sendu.
"Katanya mau di obatin sama budhe Zara, mas" Aku menatap mas Bima selama dua detik.
Mas Bima pun bangkit memberikan tempat duduknya untuk mbak Zara.
Selesai mengobati lukanya, tahu-tahu Lala tertidur, mami yang menyadari mata Lala terpejam, langsung memberitahuku.
"Lalanya bobo Bi"
Aku melirik Lala. "Pantas saja nggak merengek kesakitan, mi"
"Bim, anakmu tidur ini, bawa dan tidurin dia di kamar" teriak mami.
Mas Bima pun langsung melangkah ke arahku.
Saat mas Bima hendak mengambil Alih Lala dari atas pangkuanku, Lala menggeliat dan kembali mengeluarkan rengekan kecil.
"Pelan-pelan Bim" ujar mami lirih.
Lala menangis saat menyadari mas Bima akan menggendongnya.
"Biar aku yang bawa ke kamar mas"
Tak ada jawaban dari priaku itu, dia hanya meresponnya dengan bahasa tubuh.
Usai menidurkan Lala di kamar mas Bima, aku langsung keluar, tapi baru saja langkahku sampai di area ruang tengah, aku berpapasan dengan mas Bima.
Pria itu berdiri tegap dengan satu tangan bersembunyi di saku celana, sementara tangan lainnya memegang kotak P3K.
"Ini akibat kamu terlalu sayang padanya" ucap mas Bima yang membuatku langsung mengangkat kepala mencari sepasang iris tegasnya. "Bagaimana nanti kalau kamu tidak ada di rumah dan dia terus mencarimu?"
Kalimat mas Bima menyiratkan seolah dia akan menceraikanku. Spontan ku telan ludahku sendiri yang agak sedikit tercekat.
"Jangan terlalu membuat dia bergantung padamu, dan jangan terlalu memanjakannya yang nantinya membuat anak tidak bisa belajar tentang konsep dan sikap mandiri serta tanggung jawab. Nggak menutup kemungkinan dia akan menjadi malas, tidak termotivasi, dan juga mudah marah jika keinginannya tidak terpenuhi"
Aku termangu, mencerna baik-baik kalimat yang terlontar dari mulut mas Bima.
Aku sangat tahu, dia memang sedikit keras dalam hal mendidik anak, itu dia lakukan agar Lala menjadi anak yang kuat.
Bersambung
Semangat berkarya