Pertemuan tanpa sengaja, membawa keduanya dalam sebuah misi rahasia.
Penyelidikan panjang, menyingkap tabir rahasia komplotan pengedar obat terlarang, bukan itu saja, karena mereka pun dijebak menggunakan barang haram tersebut.
Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Akankah, Kapten Danesh benar-benar menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#33. Sesal•
#33
Danesh berdiri seraya menggebrak meja, tanpa ia sadari kursi yang didudukinya pun ikut roboh ke belakang.
“Dimana lokasinya?”
“ … “
“Baik, aku kesana sekarang.” Danesh pergi meninggalkan ruangan di tengah interogasinya bersama dua tersangka, pasca mendapatkan barang haram di mall. “Letnan, Aku serahkan padamu,” pesan Danesh pada Letnan Hadi.
Letnan Hadi mengangguk, dan mempersilahkan Danesh pergi, untuk urusan yang lain.
Marco keluar dari ruang sebelah, “ada apa, Kapt?” Keduanya berjalan dengan langkah cepat menuju ruangan mereka berada.
“Ada penemuan Jas^ad, dan diduga itu adalah Mr. B, karena itulah, kita diminta datang untuk memastikan.”
Danesh membuka pintu ruangan mereka, namun ia tak menemukan keberadaan Rara atau Bastian. “Dimana mereka?”
Marco mengangkat kedua pundaknya, seraya membuka ponsel untuk menghubungi kedua anggota TIM mereka.
Danesh kembali menutup pintu ruangan tersebut, kini mereka berjalan menuju tempat parkir. “Kalian dimana?”
“Kami di TKP.” Bastian menjawab.
“TKP … ?” tanya Marco, memastikan lokasi Bastian dan Rara.
“Bukan, Kami berada di Kampus Bintang Persada, tempat penemuan korban.”
“Meninggal, atau terluka?” tanya Marco.
“Meninggal,” jawab Bastian singkat.
“Baiklah kalau begitu, kami juga sedang menuju lokasi penemuan korban baru.”
“Lagi?!” tanya Bastian terkejut, bahkan nada suaranya meninggi.
“Hmm, dugaan awalnya, korban adalah Mr. B.”
“What!!!??”
Tak ada lagi percakapan, karena mereka harus fokus pada tugas masing-masing.
Danesh melaju menuju lokasi penemuan korban, dan jas^ad itu masih terbujur kaku di sebuah taman, tepatnya berada di antara gedung G.E.R Foundation, dan gedung lain yang berfungsi sebagai lokasi perkantoran.
Petugas medis sudah membungkus jas^ad korban dengan kantong khusus untuk membungkus Jas^ad sebelum pihak keluarga mengambil alih.
Marco mulai memungut barang yang bisa dijadikan barang bukti, yakni ponsel yang berada tak jauh dari tangan korban.
Kemudian mulai bertanya-tanya pada saksi yang mengaku melihat Baldi sedang menelepon seseorang sebelum ambruk ke tanah karena peluru.
“Anda yakin, Pak?” tanya Marco memastikan kebenaran pernyataan saksi.
Pria itu adalah salah satu pemilik stand pedagang di taman tersebut, dan karena kebetulan Baldi sedang berada di depan stand nya maka ia pun melihat dengan jelas peristiwa itu. “Tentu saja, kedaiku sedang sepi, dan ponsel mati kehabisan daya, jadi aku hanya melihat pria ini berdiri dengan sebatang rokok di tangan kanan, sementara tangan kiri memegang ponsel kala melakukan panggilan.” Pria itu berapi-api ketika memberikan kesaksian.
“Tak lama, hanya sekitar satu menit ia menelepon, tiba-tiba sudah roboh, aku bahkan tak melihat siapapun yang mencurigakan di sekitar taman.”
Danesh membuka resleting kantong jenazah, dan memang wajah Baldi yang ia lihat.
Ia kembali menutup kantong tersebut dan mulai melihat ke sekeliling. Menurut laporan pihak medis, korban meninggal karena dua luka tembak di dada langsung mengenai jantung dan paru-paru korban, jadi wajar jika korban meninggal saat itu juga.
“Apa analisamu?”
“Hanya sniper yang bisa melakukannya,” jawab Marco, “tempat ini cukup ramai, jika pelaku menembak dari jarak dekat, tentu sudah ada saksi yang melihat pelakunya.”
Danesh menatap dua bangunan tinggi yang mengapit taman tersebut, “Berarti dari sisi kanan dan kiri kemungkinannya.” Danesh menggumam.
Jas^ad Baldi segera dibawa ke Rumah Sakit untuk proses identifikasi selanjutnya.
•••
Sementara itu, Rara dan Bastian sudah berada di rumah sakit, dokter forensik sedang melakukan otopsi pada jas^ad Fadly.
Sementara Rara, duduk di lantai seraya memeluk lututnya sendiri, tak ada yang bisa menggambarkan kesedihan hatinya, ia hanya menyimpan tangis sedihnya seorang diri.
Bastian yang menyadari keanehan Rara, ikut duduk di sebelah gadis itu. “Aku tak tahu siapa pria itu, tapi aku menduga, kamu mengenalnya.”
Rara menoleh, wajahnya sembab, serta kedua matanya merah dan basah karena tangis, “Beberapa hari yang lalu, aku bertemu dengannya, kami bicara sebentar, sebelum aku meninggalkannya seorang diri.”
Bastian terkejut? Jelas saja, ia tak mengenal pria itu, bahkan identitasnya pun tak ditemukan, dari rekaman CCTV ia melihat pria itu datang dengan mobil, namun mobil itu hilang entah kemana. Diduga pelaku berjumlah lebih dari lima orang, mereka merusak kamera CCTV agar polisi tak bisa melihat peristiwa selanjutnya.
Bastian memutar posisi duduknya, kini ia menghadap Rara dari jarak yang dekat. “Serius, Kamu mengenalnya?”
Rara mengangguk, pandangannya kosong menatap lurus kedepan. “Namanya Fadly, dia sudah yatim piatu setelah Ibunya meninggal setahun yang lalu. Kami teman satu kampus, dekat, sangat dekat karena dia adalah mantan kekasihku.”
Klak!
Ponsel dalam genggaman Bastian meluncur begitu saja ke lantai.
“Sumpah, ini gak lucu, Ra,” ucap Bastian datar.
Rara tertawa miris, “Kadang, takdir hidup memang selucu ini.” Rara meluruskan kedua kakinya.
“2 tahun menjelang akhir masa kuliah, kami berpacaran, Dia mahasiswa pintar yang masuk melalui jalur beasiswa. Sulitnya perekonomian membuat dia terpaksa menerima tawaran pekerjaan menjadi TIM IT Mr. B.”
Rara kembali mengusap air matanya, “Kamu tahu, Bas, Dia selalu melacak pergerakanku,”
“Dia tahu ketika kita celaka setelah menyalin data milik Mr. B. Dan Aku tahu dia masih mencintaiku dengan caranya yang tak masuk akal. Tapi aku terlalu marah padanya, hingga menolak semua penjelasannya.”
Bastian meraih Rara ke pelukannya, menghibur dan mengusap punggung Rara tanpa kata, tak ada yang bisa melawan takdir Tuhan, termasuk apa yang dialami Fadly hari ini.
Beberapa saat kemudian ponsel Rara berdering, “Hmm,” jawab Rara tanpa semangat.
“Kalian dimana? Kapten memintaku datang ke tempat otopsi.” Dhera bertanya, suara nafasnya terdengar tak beraturan, karena ia sedang berjalan dengan langkah cepat.
“Kami di depan ruang otopsi.”
“Baiklah, aku kesana sekarang.”
Panggilan Dhera berakhir, Rara menatap layar ponselnya. Kesibukan benar-benar berhasil membuat Rara mengabaikan semua yang ada didalam benda pipih tersebut.
Setelah tadi Rara mengabaikan pesan dari nomor asing, kini ia kembali melihat pesan tersebut sudah menanti untuk dibaca.
📩 Itu, hadiah terakhir dariku, karena aku tak yakin akan bisa menatap mentari esok hari. Setelah kamu mengakhiri hubungan kita, dan Ibu pergi menghadap Tuhan, tak ada lagi hal berharga di dunia ini.
📩 Anggaplah ini penebusan dosa-dosaku, Aku pun ingin melakukan hal baik sebelum nyawa ini lepas dari ragaku.
📩 Untukmu yang tak bisa kuraih lagi, manfaatkan hadiahku, dan jaga dirimu baik-baik.
📩 Selain Ibuku, kamu adalah gadis paling berharga dalam hidupku. Sedalam rasa cintaku, sebesar itu pulalah aku berterima kasih padamu.
📩 Raraku, ingin sekali aku memanggilmu seperti ini, sekali saja, hanya sekali, sayangnya hanya bisa kulakukan melalui pesan singkat.
📩 Selamat tinggal, Ra…
Rara menjatuhkan ponsel di tangannya, raungan tangisnya semakin pilu, hatinya nelangsa, sesalnya semakin membuat sesak seluruh rongga dadanya.
Ia memukul dadanya berulang kali, itulah kenapa Tuhan menganugerahkan akal untuk berpikir, dan hati yang lapang untuk menerima permohonan maaf.
Jika waktu yang telah berlalu, tak akan bisa terulang kembali, dan sesal tak akan berguna lagi.
•••
semoga nanti sore bisa apdet lagi 🫰