Sekar Arum (27) ikut andil dalam perjanjian kontrak yang melibatkan ibunya dengan seorang pengusaha muda yang arogan dan penuh daya tarik bernama Panji Raksa Pradipta (30). Demi menyelamatkan restoran peninggalan mendiang suaminya, Ratna, ibu Sekar, terpaksa meminta bantuan Panji. Pemuda itu setuju memberikan bantuan finansial, tetapi dengan beberapa syarat salah satunya adalah Sekar harus menikah dengannya dalam sebuah pernikahan kontrak selama dua tahun.
Sekar awalnya menganggap pernikahan ini sebagai formalitas, tetapi ia mulai merasakan sesuatu yang membingungkan terhadap Panji. Di sisi lain, ia masih dihantui kenangan masa lalunya bersama Damar, mantan kekasih yang meninggalkan perasaan sedih yang mendalam.
Keadaan semakin rumit saat rahasia besar yang disembunyikan Panji dan adik Sekar muncul kepermukaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DENAMZKIN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ES KRIM
Sekar bergerak gelisah, merapatkan jubahnya lebih erat saat Panji mendekat, lalu terkejut ketika dia melewatinya begitu saja. Saat Panji sudah berada di belakangnya, Sekar menghela napas panjang dan menyapu rambutnya dengan tangan, mencoba menenangkan pikirannya. Dia tetap diam, mendengarkan percakapan antara Panji dan pelayan di pintu.
"Ini pesanannya, Tuan Pradipta. Silakan beri tahu kami jika ada hal lain yang Anda butuhkan malam ini."
"Itu saja, terima kasih," balas Panji.
Pintu tertutup dengan bunyi klik, dan Panji berdiri di dekatnya dengan semangkuk es krim di tangannya. Panji memejamkan mata sejenak, menghela nafas panjang. Dia harus tetap tenang. Rasa dingin dari mangkuk di tangannya membuatnya menatap es krim itu, rasa konyol mulai menyelinap di pikirannya. Berbalik, dia berjalan kembali ke tempat Sekar berdiri.
"Ini," katanya sambil menyerahkan mangkuk es krim itu.
"Nikmatilah."
"Apa? Kamu sudah tidak ingin makan es krim lagi?" balas Sekar dengan nada yang lebih marah dari yang dia maksudkan.
"Aku punya pekerjaan yang harus diselesaikan," jawab Panji sambil meraih kacamata baca di meja samping tempat tidur.
"Beberapa dari kita harus benar-benar bekerja untuk hidup."
Sekar melongo mendengar jawabannya, menatapnya saat Panji berjalan melewatinya lagi menuju meja di mana laptopnya berada. Dorongan yang tiba-tiba menguasainya, Sekar melangkah cepat melintasi ruangan dan mendekatinya ketika dia sudah duduk. Tanpa berpikir panjang, dia membalikkan semangkuk es krim itu ke keyboard laptopnya.
Tangannya bergerak menghancurkan dan menyebarkan es krim itu sebanyak mungkin, sebelum membuat aksi terakhir dengan membanting laptop tersebut hingga tertutup rapat.
Panji menatap Sekar dengan tidak percaya.
"Itu tadi… sangat dewasa sekali," ucapnya sinis.
"Persetan denganmu," balas Sekar sambil membanting mangkuk es krim di atas meja di samping laptopnya.
"Percakapan kita belum selesai."
Panji berdiri dari kursinya, amarah yang membara mulai muncul dalam dirinya.
"Kau sudah gila, ya?"
"Tidak, tapi kamu yang gila," balas Sekar, menusukkan jarinya ke dadanya.
"Jawab pertanyaanku!"
"Jawab pertanyaanku dulu," sahut Panji, nadanya meninggi lebih dari yang dia maksudkan.
"Aku berjanji pada ayahku bahwa aku akan menjaga restorannya," kata Sekar sambil mengangkat dagunya.
"Tidak seperti dirimu, aku punya rasa terima kasih kepada orang tuaku dan semua pengorbanan yang telah mereka lakukan untukku. Hal paling kecil yang bisa kulakukan sebagai anak mereka adalah membantu saat mereka membutuhkanku."
Panji terdiam, menatap wanita di depannya ini—bertelanjang kaki, rambutnya berantakan, jubah mandinya menggantung longgar, dan matanya bersinar penuh gairah. Sebuah sisi dari Sekar yang jarang dia lihat dan diam-diam dia harapkan lebih sering muncul.
"Aku tidak mudah percaya pada orang lain," kata Panji dengan nada kering.
"Sejak kecil aku tahu, orang hanya akan bertahan di sisimu jika kamu punya sesuatu yang bisa kamu gunakan untuk mengendalikan mereka."
Sekar menghela napas, bahunya jatuh sedikit saat dia menunduk, menatap kakinya yang telanjang sebelum mengangkat pandangannya lagi.
"Aku sangat menyesal kamu merasa seperti itu, tapi percaya atau tidak, aku dan keluargaku tidak berniat mempermainkanmu."
"Kamu tidak tahu betapa besar harapanku kalau semua itu benar," kata Panji dengan suara rendah.
"Kamu tidak bisa 'memiliki' diriku," ujar Sekar, mengangkat satu tangannya ke sisi wajah Panji, menyentuhnya dengan lembut, seolah takut.
Sentuhan itu seperti arus listrik langsung ke dalam tubuh Panji. Segalanya di dalam dirinya melunak, dan ada denyutan hangat yang menjalar di hatinya.
"Aku bukan sepenuhnya milikmu, sebagaimana kamu juga bukan sepenuhnya milikku. Jika kamu benar-benar menginginkanku, kamu akan mencoba mengenalku, mencari tahu apa yang kusuka, dan tidak memperlakukanku seperti sebuah proposal bisnis."
Kata-katanya lembut, tapi penuh makna. Dia menatap Panji dengan matanya yang hitam, penuh emosi yang membuat hati Panji mencengkeram erat. Dia menghela napas, menarik Sekar ke pelukannya, merasakan kehangatan tubuhnya yang bergetar melalui kain jubahnya. Ada sesuatu di dalam dirinya yang terasa mengembang, menghangatkannya dari dalam. Perasaan itu unik, campuran antara keinginan untuk melindungi dan hasrat. Dia ingin melindunginya. Dia juga ingin menyatu dengannya.
Saat dia memeluk Sekar, kedua dorongan itu menyatu menjadi sesuatu yang baru dan sangat kuat.
"Jadi begini rasanya mencintai seorang wanita," pikir Panji, kata-kata itu muncul tiba-tiba, mengejutkan dirinya sendiri.
"Tidak," bisiknya, hampir pada dirinya sendiri.
"Tidak?" Sekar mundur sedikit, terkejut dengan jawaban Panji. Tangannya yang masih bertumpu di pinggulnya membuatnya merasa seperti terjebak dalam badai emosi yang tiba-tiba mendingin. Mata coklat Panji, yang sebelumnya penuh gairah, kini seperti air yang membeku. Seperti biasa, emosinya terlihat terkendali, seolah-olah dia bisa menyalakan dan mematikan tombol on off dengan mudah.
Panji melepaskan tangannya dari Sekar dan meraih tangan gadis itu dengan lembut.
"Aku harus pergi," katanya datar.
"Pergi kemana?" Sekar mengulang, bingung, saat dia berjalan melewatinya.
"Panji, ini sudah tengah malam."
"Ya, tapi di rumah, sebentar lagi pagi," jawabnya sambil mengambil celananya.
"Aku harus mencari laptop baru karena milikku sekarang penuh dengan es krim." Setelah mengenakan celana di atas boxer-nya, dia meraih kaus kaki dan sepatunya.
"Semoga saja aku bisa bertahan dengan alat seadanya sampai kita kembali dan tim IT di kantor bisa memperbaiki semuanya."
Sekar terdiam, menatapnya sambil memasang sepatu, merasa semakin terasing dari situasi itu. Sebelum pergi, Panji mendekatinya, memberi ciuman cepat di pipinya, dingin dan tanpa emosi.
"Aku tidak akan lama," gumamnya sebelum menuju pintu.
Saat pintu menutup, Sekar masih berdiri di tempat yang sama, kebingungan dengan apa yang baru saja terjadi. Dia tidak tahu di mana posisi mereka sekarang, atau apa arti "tidak" tadi. Kepalanya mulai berdenyut, dilanda kebingungan dan frustasi.
Panji yang awalnya mengusulkan bulan madu ini—destinasi romantis dan semuanya, di sendiri yang membuatnya kebingungan. Sekar menatap pintu yang kini tertutup rapat, merasa lebih tersesat daripada sebelumnya.
Sementara itu, Panji, yang melangkah masuk ke lift, tiba di lobi hotel yang jauh lebih sunyi. Udara di sini tidak beraroma jeruk. Tidak ada wanita berambut hitam yang bisa menyentuhnya dan membuatnya merasakan hal-hal yang tidak ingin dia akui. Panji menghela napas panjang dan jatuh ke kursi terdekat, tangannya naik ke dadanya, merasakan detak jantungnya di bawah telapak tangan.
Terlalu dekat. Terlalu berbahaya. Panji mengepalkan tinjunya, buku-bukunya memutih saat memegang erat sandaran kursi. Wajah Sekar yang penuh luka dan emosi terus membanjiri pikirannya.
Sialan. Dia tahu lebih baik dari ini. Dia butuh waktu untuk berpikir jernih. Untuk mendapatkan sudut pandangnya. Tapi yang terpenting adalah pekerjaanya di kantor. Itulah yang selalu menjadi prioritasnya, dan itulah yang seharusnya terus menjadi fokusnya. Dia harus kembali ke jalur yang benar sebelum pernikahan ini menghancurkan lebih banyak dari apa yang dia perkirakan.
jangan lupa mampir di novel baru aku
'bertahan luka'