Sinopsis:
Melia Aluna Anderson, seorang manajer desain yang tangguh dan mandiri, kecewa berat ketika pacarnya, Arvin Avano, mulai mengabaikannya demi sekretaris barunya, Keyla.
Hubungan yang telah dibina selama lima tahun hancur di ulang tahun Melia, saat Arvin justru merayakan ulang tahun Keyla dan memberinya hadiah yang pernah Melia impikan.
Sakit hati, Melia memutuskan untuk mengakhiri segalanya dan menerima perjodohan dengan Gabriel Azkana Smith, CEO sukses sekaligus teman masa kecilnya yang mencintainya sejak dulu.
Tanpa pamit, Melia pergi ke kota kelahirannya dan menikahi Gabriel, yang berjanji membahagiakannya.
Sementara itu, Arvin baru menyadari kesalahannya ketika semuanya telah terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mimpi
Hari itu tidak seperti biasanya. Arvin duduk di ruang kerjanya yang kini sepi. Jabatan manajernya telah dicabut, dan ia hanya diperbolehkan menyelesaikan beberapa pekerjaan administratif sambil menunggu hasil investigasi. Ia merasa terasing di kantor yang dulu menjadi tempatnya bersinar.
Semua orang tampak menjauh darinya. Rekan-rekannya yang dulu sering mengandalkannya kini bersikap dingin. Beberapa bahkan terang-terangan membicarakannya di belakang. Arvin tahu bahwa reputasinya hancur.
Di tengah kekacauan itu, sebuah email dari divisi HR muncul di layar komputernya.
Subjek: Surat Pemutusan Hubungan Kerja Keyla Amanda
Membaca email itu, Arvin merasa campur aduk. Ada sedikit kelegaan karena Keyla akhirnya mendapatkan apa yang pantas untuknya. Namun, rasa bersalah dan penyesalan juga menghantui. Bagaimanapun, ia yang memberi Keyla kepercayaan yang terlalu besar.
Keyla dipanggil ke ruang rapat untuk menerima keputusan pemecatannya. Dengan wajah tegang, ia keluar dari ruangan dengan sebuah amplop di tangannya. Langkahnya cepat, tetapi ketika melewati meja Arvin, ia berhenti.
“Selamat, Pak Arvin. Anda berhasil membuat saya kehilangan segalanya,” kata Keyla dengan suara rendah tetapi penuh kemarahan.
Arvin menatapnya tajam. “Kamu yang menghancurkan dirimu sendiri, Keyla. Jangan menyalahkanku atas keputusan yang kamu buat.”
Keyla mendengus. “Oh, sungguh? Anda pikir semua ini hanya kesalahan saya? Anda juga bersalah. Anda terlalu sibuk mengejar bayang-bayang yang tidak pernah nyata. Anda membiarkan saya melakukan semua ini tanpa pernah benar-benar memperhatikan. Jangan salahkan saya atas kebodohan Anda sendiri.”
Kata-katanya menusuk hati Arvin. Ia ingin membalas, tetapi ia tahu Keyla benar. Selama ini, ia terlalu terlena dengan kenyamanan yang diberikan Keyla, bahkan mengabaikan orang yang seharusnya ia prioritaskan: Melia.
Malam itu, Arvin kembali ke apartemennya yang sunyi. Tempat ini terasa lebih kosong daripada biasanya. Tidak ada suara langkah kaki Melia, tidak ada aroma masakan hangat yang selalu ia tunggu. Yang tersisa hanyalah kesunyian yang menusuk.
Ia berjalan menuju ruang tamu, melihat foto-foto lama yang masih tergantung di dinding. Salah satunya adalah foto perayaan ulang tahun mereka yang keempat tahun lalu. Melia tersenyum cerah, memeluknya dengan penuh cinta.
"Aku menyia-nyiakanmu, Melia," pikir Arvin sambil memejamkan mata.
Ia mencoba memalingkan perhatian dengan menyalakan televisi, tetapi semua program terasa hambar. Akhirnya, ia mengambil botol anggur dari lemari dan menuangkannya ke dalam gelas. Namun, bahkan rasa pahit alkohol tidak mampu menghapus rasa sakit yang menghantui.
Arvin mengingat setiap momen bersama Melia. Bagaimana Melia selalu mendukungnya saat ia menghadapi tekanan di kantor. Bagaimana Melia tersenyum meski ia sering mengabaikan ulang tahun kecil mereka. Bagaimana Melia menunggu hingga larut malam hanya untuk memastikan ia makan malam setelah pulang kerja.
Namun, apa yang ia lakukan sebagai balasan?
Ia mengabaikannya. Ia memilih untuk lebih memperhatikan Keyla, membiarkan wanita itu memasuki hidupnya dan merusak segalanya.
"Kenapa aku begitu bodoh? Kenapa aku tidak bisa melihat siapa yang benar-benar mencintaiku?" pikirnya.
Arvin membuka ponselnya, melihat kontak Melia yang masih ada di daftar favoritnya. Jarinya melayang di atas tombol panggil, tetapi ia tidak berani menekannya.
"Melia pasti membenciku sekarang," batinnya.
Di tengah malam, Arvin tertidur di sofa. Namun, tidurnya tidak membawa ketenangan. Ia bermimpi tentang Melia.
Dalam mimpinya, ia melihat Melia berdiri di taman, mengenakan gaun putih sederhana. Wajahnya tampak bahagia, tetapi bukan karena Arvin. Di sampingnya, berdiri seorang pria lain, Gabriel.
Melia memandang Arvin dengan tatapan penuh kekecewaan. “Aku memberimu segalanya, Arvin, tetapi kau memilih untuk menyia-nyiakannya. Sekarang, aku sudah bahagia tanpamu.”
Arvin terbangun dengan napas tersengal-sengal. Dadanya terasa sesak, seolah-olah mimpi itu nyata. Ia tahu bahwa Melia telah benar-benar pergi dari hidupnya, dan ia tidak bisa menyalahkan siapa pun selain dirinya sendiri.
Hari-hari berlalu, tetapi rasa bersalah Arvin tidak berkurang. Ia semakin terpuruk. Kinerjanya di kantor semakin buruk, dan hubungan sosialnya hancur.
Suatu hari, ia mencoba menghubungi Melia. Namun, nomor itu tidak aktif lagi. Melia telah memutus semua hubungan dengannya.
Arvin merasa seperti berada di jurang kehancuran. Ia kehilangan segalanya, pekerjaan, cinta, dan bahkan harga dirinya.
Namun, di tengah kegelapan itu, ia tahu bahwa ia harus menghadapi kenyataan. Ini adalah akibat dari kesalahan yang ia buat sendiri, dan ia harus menerima konsekuensinya.
To Be Continued...