Hati siapa yang tidak tersakiti bila mengetahui dirinya bukan anak kandung orang tua yang membesarkannya. Apalagi ia baru mengetahui, jika orang tua kandungnya menderita oleh keserakahan keluarga yang selama ini dianggap sebagai keluarganya sendiri.
Awalnya Rahayu menerima saja, karena merasa harus berbalas budi. Tetapi mengetahui mereka menyiksa orang tua kandungnya, Rahayu pun bertekad menghancurkan hidup keluarga yang membesarkannya karena sudah membohongi dirinya dan memberikan penderitaan kepada orang tua kandungnya.
Bagaimana kisah selanjutnya?
Yuk, simak ceritanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaQuin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Bab 6
Pov Author
Sudah 2 minggu semenjak kehadiran Arumi di rumah itu, Rahayu kini seperti pembantu yang mengerjakan pekerjaan di rumahnya sendiri. Ia terpaksa mengerjakan itu semua atas perintah Adinata dan Marlina yang sudah membesarkannya selama ini.
Rahayu sendiri sangat kesal melihat Arumi di perlakukan bak tuan putri di rumah itu. Bahkan sejak kedatangan gadis itu, Rahayu tidak pernah sekali pun melihat ke dua orang tuanya menyuruh Arumi untuk melakukan sesuatu.
"Apa ini?" Tanya Rahayu ketika Arumi melempar beberapa pakaian kotornya di dalam baskom yang berisi pakaian bersih yang sudah di cuci oleh Rahayu.
"Ya cuci lah. Tugasmu kan?!"
Rahayu mendadak kesal.
"Maaf, aku sudah selesai mencuci. Kamu tidak lihat di dalam baskom yang ku bawa ini pakaian yang sudah bersih dan tinggal di jemur?!"
"Mana aku tahu?! Itu kan tugasmu yang ahlinya!" Jawab Arumi dengan cuek dan santainya.
Rahayu mengeluarkan pakaian kotor Arumi dari baskom tersebut dan menjatuhkannya ke lantai begitu saja. Tentu pemandangan itu di saksikan juga oleh Arumi sehingga gadis itu naik pitam.
"Apa kamu tidak tahu ini baju mahal?!"
"Maaf, aku tidak terbiasa mencuci pakaian mahal. Bawa ke laundry saja. Uangmu kan banyak sampai bisa membeli perhatian kedua orang tuaku!"
Arumi terkekeh.
"Oh, jadi kamu iri?! Kamu cemburu?! Iya?! Kamu itu tidak pantas punya perasaan seperti itu?!"
Sarkas Arumi sambil menunjuk ke dada Rahayu dengan tatapan tajam dan berwajah berang.
Rahayu pun sama berangnya. Tidak di pungkiri apa yang dikatakan Arumi benar kalau dirinya memang cemburu dan iri. Tetapi bagi Rahayu ia tidak salah merasakan hal demikian. Karena memang benar terbukti, kalau orang tuanya tidak bersikap adil kepadanya sejak kedatangan Arumi.
"Kamu yang tidak pantas berada disini! Kamu telah merusak hubunganku dengan orang tua ku!"
Arumi kembali terkekeh.
"Orang tua?? Hahaha, jangan terlalu berharap jika harapan mu itu hanya akan menyakiti dirimu sendiri!"
Rahayu mencoba mencerna ucapan Arumi. Namun ia bingung, apa maksud dari ucapan gadis itu.
"Loh, kenapa ada baju di lantai?"
Tiba-tiba saja Marlina datang dan berkomentar.
"Ibu.... Rahayu tidak mau mencucikan bajuku Bu, hiks... Katanya aku pemalas, dan telah merebut kalian darinya, hiks..."
Eh, apa-apaan ucapannya itu? Kapan aku mengatakannya pemalas?! Dan wah... kenapa dia juga memanggil Ibuku dengan sebutan Ibu?! Batin Rahayu berang.
Marlina yang melihat anak kandungannya bersedih tentu saja naik pitam. Apalagi ia merasa bersalah telah membagi kasih sayangnya selama ini untuk Rahayu yang bukan anak kandungannya.
"Rahayu! Tega kamu ya?! Ibu kan sudah bilang, Arumi bagian keluarga kita sekarang! Perlakukan dia sebaik-baiknya! Selama ini kami selalu menyayangi mu, apa tidak boleh sekarang kami juga menyayangi Arumi?!"
Marlina tampak marah kepada Rahayu. Bahkan ia pun berkata demikian sambil memeluk Arumi dan mengusap kepala gadis itu untuk menunjukkan bahwa ia sayang pada anak yang baru ia temui selama 18 tahun berpisah.
Hati Rahayu semakin pedih. Jangankan untuk bersikap adil, bahkan sang Ibu tega memperlihatkannya kasih sayang sepihaknya kepada Arumi yang Rahayu tahu hanya seorang sepupu.
Rahayu kehabisan kata-kata. Rasanya ia ingin menangis saat itu juga, namun ia tahan agar tidak terlihat semakin rendah di hadapan Arumi.
"Sudah, ayo kita ke dalam saja. Kalau Rahayu tidak mau mencucikan bajumu, nanti kita bawa ke laundry saja."
Rahayu yang menunduk menggenggam erat baskom yang ada di tangannya. Sakit, dan perih hatinya melihat sang Ibu yang berlalu sambil mendekap hangat gadis yang mengukir rasa benci di hatinya.
Dalam diamnya air matanya menetes. Namun segera ia tepis karena sudah berapa kali pun ia menangis, tak akan mengubah keadaannya.
Sudah beberapa Rahayu mencoba untuk protes. Namun yang ada Arumi semakin di bela dan kedua orang tuanya semakin menekannya untuk menerima keberadaan Arumi.
Rahayu baru selesai mengerjakan pekerjaan rumahnya ketika menjelang makan siang tiba. Terdengar suara dentingan piring dan sendok bertemu ketika ia hendak memasuki dapur. Belum lagi kekehan kecil suara Ayah dan Ibunya serta Arumi. Rahayu merasa dadanya sesak sehingga ia meremas pakaiannya di depan dada.
"Oh Bu, hari ini aku mau pergi ke rumah teman. Boleh ya? Dan aku sudah kenyang, jadi mau siap-siap dulu."
"Ehem, biar Ayah antar."
"Ya sudah, biar Rahayu yang beresin. Sekalian kamu belum makan kan Yu? Tolong ya..."
Satu persatu pergi dengan berbagai alasan ketika melihat kehadiran Rahayu di dekat mereka. Semakin sakit hati Rahayu, kini orang tuanya pun menyebut diri mereka Ibu dan Ayah kepada Arumi.
Hati Rahayu semakin sedih mana kala melihat lauk yang ada hanya sisa-sisa dari bekas makan mereka, bahkan sayur pun hanya tinggal kuahnya saja.
Rahayu membuang napas kasar. Antara sesak, sedih dan juga berat. Perlahan ia membersihkan dulu meja makan dari piring-piring yang kotor, lalu menyatukan sisa-sisa lauk yang ada, baru lah ia makan dengan perlahan meski tak berselera. Walau enggan, Rahayu butuh tenaga untuk menjalani kehidupannya yang ia rasakan sudah terasa berat.
"Apa sebaiknya aku tinggal di asrama atau kos saja ya? Rasanya semakin hari semakin sesak tinggal di rumah ini." Gumam Rahayu sangat pelan.
Namun setelah memikirkannya sambil makan, Rahayu pun merasa asrama atau kosan mungkin memang lebih baik untuk memfokuskan diri belajar di masa kuliah. Juga menjaga emosi dan perasaannya yang terus bergejolak beberapa waktu belakangan ini.
Setelah makan, Rahayu membersihkan meja makan dan piring-piring kotor. Setelah itu, baru lah ia kembali ke kamar gudangnya.
Rahayu merasa perlu membicarakan keinginan itu kepada Ayah dan Ibunya mumpung mereka ada di rumah dan tidak ada Arumi di antara mereka.
Adinata pulang lagi ke rumah setelah mengantarkan Arumi yang merupakan anak kandungnya. Adinata ingin membuat kenangan bersama anak yang baru mereka temukan dan mengganti kenangannya bersama Rahayu selama ini yang ternyata bukan anak kandungnya.
Jantung Rahayu rasanya berdebar-debar hendak menghadap Adinata dan Marlina. Padahal dulu ia biasa saja dan selalu ceria berada di sisi kedua orang tuanya. Namun setelah kedatangan Arumi berbeda, bahkan ia merasa Adinata dan Marlina seperti bukan orang tua kandungnya saja.
"Ayah, Ibu... Emm.. ada yang ingin aku bicarakan." Ucap Rahayu takut-takut.
"Ck!"
Decak Adinata meskipun pelan namun masih terdengar dan terlihat oleh Rahayu yang melihat mereka bagaimana respon kedua orang tuanya. Hati Rahayu menciut dan semangatnya pun mengecil, namun ia berusaha untuk tetap tidak terlihat kecewa.
"Bicara apa? Apa mau protes lagi?" Tanya Marlina sang Ibu.
"Tidak Bu, bukan itu."
"Lalu apa?"
"Emm... Itu, apa boleh Ayu selama kuliah tinggal di asrama kampus atau kosan dekat sana saja? Jadi Ayu bisa lebih dekat dengan kampus dan cukup berjalan kaki saja ke sana. Karena Ayu juga bakal sering bolak balik perpus."
"Kamu mau mengelak dari tugas rumah mu?!" Marlina tampak tidak senang atas permintaan Rahayu.
"Bukan begitu Bu, Ayu hanya ingin benar-benar fokus kuliah biar cepat lulus dan mencari kerja. Ayu tidak angin terus membebani Ayah dan Ibu."
Kilah Rahayu yang sebetulnya ia memang sedikit menghindari pekerjaan rumah yang terasa berat apalagi harus melayani Arumi yang sangat ia benci.
Namun tetap saja Marlina tidak suka dan tidak terlihat jelas di wajahnya yang masam.
"Boleh-boleh saja kalau kamu mau tinggal di asrama atau kosan..."
"Sayang...!" Sela Marlina tidak setuju atas ucapan suaminya.
"Tetapi, kalau hanya asrama yang gratis. Kalau kosan, kamu harus cari biaya sendiri. Kamu tahu, biaya kuliah saja tidak sedikit."
Ah, rupanya Ayah setuju. Gratis ya... Yah, tentu harus gratis karena Ayah tidak mungkin lagi memenuhi semua kebutuhan ku sejak ada gadis itu. Dan Ibu, hanya mempertahankan aku disini agar meringankan pekerjaan rumahan saja.
Bersambung...
Jangan lupa like dan komen ya, terima kasih 🙏😊