Bertahan Sakit Berpisah Sulit
Pagi itu matahari memancarkan sinar lembutnya ke jendela apartemen kecil di tengah kota N. Di dalam, Melia Aluna Anderson, seorang wanita berusia 27 tahun, sibuk mempersiapkan sarapan. Tangannya lincah menuangkan jus jeruk ke dalam gelas sambil sesekali melirik ke arah meja makan, memastikan semuanya sempurna. Di sisi lain ruangan, Arvin Avano, pacarnya, baru saja selesai mengenakan dasi. Mereka telah bersama selama lima tahun, tinggal bersama di apartemen sederhana ini.
“Arv, aku bikin pancake favoritmu,” ucap Melia sambil tersenyum kecil. Namun, senyumnya memudar ketika melihat Arvin sibuk dengan ponselnya, seperti tidak mendengar.
“Hm? Oh, iya. Thanks, sayang,” jawab Arvin cepat tanpa menoleh, matanya masih terpaku pada layar ponsel.
Melia mencoba menutupi rasa kecewanya. “Hari ini aku mungkin pulang agak malam, ada meeting sama klien besar,” katanya mencoba memulai percakapan.
“Meeting lagi? Kamu nggak capek, Mel? Harusnya kamu lebih santai aja. Toh, itu perusahaan keluargamu,” balas Arvin dengan nada datar.
Melia mengerutkan kening. Ia selalu berusaha menyembunyikan identitas keluarganya yang kaya raya agar hubungannya dengan Arvin terasa lebih tulus. Tetapi, ucapan seperti itu sering membuatnya merasa tidak dihargai.
“Kerja keras itu penting, Arv. Lagipula, aku suka pekerjaanku,” jawab Melia sambil tersenyum tipis.
Arvin hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Suasana di meja makan terasa dingin.
Di kantor, Melia sibuk memimpin tim desainnya untuk menyelesaikan koleksi terbaru perusahaan fashion milik keluarganya. Sebagai seorang manajer desain, Melia dikenal cerdas, penuh ide, dan selalu bekerja keras. Meskipun perusahaan itu adalah bagian dari kerajaan bisnis keluarganya, ia tetap ingin membuktikan kemampuannya sendiri.
Sementara itu, di kantor Arvin, situasi berbeda terjadi. Arvin adalah seorang manajer di perusahaan besar yang bergerak di bidang teknologi. Pagi itu, ia memperkenalkan sekretaris barunya kepada timnya.
“Ini Keyla Salsabila, sekretaris baru saya. Saya harap kalian semua bisa bekerja sama dengannya,” kata Arvin dengan nada tegas, tetapi ramah.
Keyla, seorang wanita muda dengan wajah manis dan penampilan anggun, menyambut semua orang dengan senyuman. “Senang bertemu dengan kalian semua. Saya harap bisa belajar banyak dari tim ini,” ucapnya sopan.
Di balik sikap lembutnya, Keyla adalah seseorang yang ambisius. Ia memiliki rencana besar untuk mendekatkan dirinya kepada Arvin, pria yang sejak pertama kali ia temui langsung menarik perhatiannya.
Hari pertama Keyla bekerja berjalan lancar. Ia mulai mendekati Arvin dengan berbagai alasan, dari meminta bantuan hingga berbagi cerita pribadi. Arvin, yang awalnya hanya bersikap profesional, perlahan mulai merasa nyaman berbicara dengan Keyla.
Malam itu, Melia pulang lebih awal dari perkiraannya. Ia membawa pulang makanan kesukaan Arvin sebagai kejutan. Namun, ketika ia membuka pintu apartemen, suasana terasa sepi.
“Arv?” panggil Melia. Tidak ada jawaban.
Ia meletakkan makanan di meja dan melihat ponselnya. Tidak ada pesan dari Arvin. Setelah beberapa saat, pintu apartemen terbuka, dan Arvin masuk dengan wajah lelah.
“Kamu dari mana?” tanya Melia sambil tersenyum kecil.
“Tadi ada urusan kantor. Maaf nggak sempat kasih kabar,” jawab Arvin sambil melepas sepatu.
Melia mengangguk, meskipun hatinya sedikit terusik. Dulu, Arvin selalu memberitahu jika ia pulang terlambat. Tetapi akhir-akhir ini, Arvin sering pulang larut tanpa kabar.
“Kamu udah makan?” tanya Melia lembut.
“Belum, tapi nggak usah repot. Aku udah nggak terlalu lapar,” jawab Arvin cepat.
Melia menghela napas. Ia ingin bertanya lebih jauh, tetapi memilih untuk diam.
Hari-hari berikutnya, perubahan kecil dalam hubungan Melia dan Arvin mulai terlihat. Arvin menjadi lebih sering menghabiskan waktu di kantor, dengan alasan pekerjaan. Sementara itu, Keyla semakin sering muncul di sekitar Arvin. Dengan caranya yang halus, ia selalu menemukan alasan untuk berbicara atau meminta bantuan dari Arvin.
Suatu siang, Keyla mengajak Arvin makan siang bersama.
“Pak Arvin, saya belum terlalu tahu tempat makan enak di sekitar sini. Apa Anda punya rekomendasi?” tanyanya dengan senyum manis.
“Oh, saya biasanya makan di kafe dekat sini. Kalau mau, saya bisa ajak kamu ke sana,” jawab Arvin tanpa berpikir panjang.
Di kafe, mereka berbincang santai. Keyla dengan cerdik membangun topik pembicaraan yang membuat Arvin merasa nyaman. Ia menceritakan bagaimana ia baru pindah ke kota N dan merasa kesulitan beradaptasi.
“Jujur, saya senang punya atasan seperti Anda. Ramah, dan perhatian,” ucap Keyla dengan nada yang terdengar tulus.
Arvin tersenyum kecil, merasa tersanjung.
Sementara itu, di kantor Melia, Laura, asistennya yang juga sahabatnya, mulai menyadari perubahan pada Melia.
“Mel, kamu kelihatan agak murung akhir-akhir ini. Ada masalah?” tanya Laura sambil menatap Melia dengan khawatir.
“Nggak, kok. Aku baik-baik aja,” jawab Melia sambil tersenyum kecil, meskipun senyumnya tampak dipaksakan.
Laura tidak ingin memaksa, tetapi ia tahu ada sesuatu yang mengganggu sahabatnya.
Malam harinya, Melia memutuskan untuk berbicara dengan Arvin. Ia menunggu Arvin pulang, tetapi seperti biasa, Arvin terlambat. Ketika akhirnya Arvin tiba, Melia mencoba membuka percakapan.
“Arv, kita udah lama banget nggak ngobrol. Aku kangen masa-masa kita dulu,” ucap Melia dengan lembut.
“Mel, aku capek banget hari ini. Bisa kita bahas lain kali?” jawab Arvin sambil masuk ke kamar tanpa menoleh.
Melia hanya bisa menatap punggungnya dengan perasaan sedih. Hubungan yang dulu penuh kehangatan kini terasa dingin.
Beberapa hari kemudian, di kantor Arvin, Keyla mulai menunjukkan sisi manipulatifnya. Ia berpura-pura kelelahan karena pekerjaan dan meminta bantuan dari Arvin untuk menyelesaikan tugasnya.
“Pak Arvin, saya benar-benar minta maaf. Saya nggak biasanya seperti ini, tapi saya terlalu lelah. Bisa bantu saya sedikit?” katanya dengan wajah memelas.
Arvin, yang merasa simpati, setuju untuk membantu. Keyla semakin sering memanfaatkan situasi ini untuk mendekatkan dirinya pada Arvin.
Melia, di sisi lain, mulai merasa ada sesuatu yang salah. Ia tidak memiliki bukti, tetapi intuisi wanitanya mengatakan bahwa Arvin sedang menyembunyikan sesuatu.
Hubungan Melia dan Arvin diperlihatkan semakin renggang. Sementara itu, Keyla semakin berhasil menarik perhatian Arvin. Konflik mulai terbangun, memperlihatkan retakan kecil dalam hubungan yang telah terjalin selama lima tahun.
Melia yang termenung sendirian di apartemen, menatap foto dirinya dan Arvin di dinding. Dengan suara lirih, ia berkata pada dirinya sendiri, “Arv, apa kita masih seperti dulu? Atau aku hanya berusaha mempertahankan sesuatu yang sudah hilang?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments