9
Pernikahan adalah cita-cita semua orang, termasuk Dokter Zonya. Namun apakah pernikahan masih akan menjadi cita-cita saat pernikahan itu sendiri terjadi karena sebuah permintaan. Ya, Dokter Zonya terpaksa menikah dengan laki-laki yang merupakan mantan Kakak Iparnya atas permintaan keluarganya, hanya agar keponakannya tidak kekurangan kasih sayang seorang Ibu. Alasan lain keluarganya memintanya untuk menggantikan posisi sang Kakak adalah karena tidak ingin cucu mereka diasuh oleh orang asing, selain keluarga.
Lalu bagaimana kehidupan Dokter Zonya selanjutnya. Ia yang sebelumnya belum pernah menikah dan memiliki anak, justru dituntut untuk mengurus seorang bayi yang merupakan keponakannya sendiri. Akankah Dokter Zonya sanggup mengasuh keponakannya tersebut dan hidup bersama mantan Kakak Iparnya yang kini malah berganti status menjadi suaminya? Ikuti kisahnya
Ig : Ratu_Jagad_02
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ratu jagad 02, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
"Hahaha..."
Suara tawa dari kamar Sean masih saja terdengar saat ayah dan anak itu bermain. Ya, tawa mereka saat bangun tidur terputus karena ritual mandi, tapi kini keduanya kembali tertawa keras sembari menunggu Zonya yang tengah bersiap di kamarnya. Zonya membuka pintu kamar Sean, dan melihat Sean yang tengah mengungkung tubuh gembul Naina sembari menggelitik gadis kecil itu, membuat suara tawa Naina bergema tanpa henti.
"Mas..." suara Zonya mulai mengudara, membuat ayah dan anak itu menghentikan aksi mereka "Waktunya sarapan," ajak Zonya.
"Baiklah, ayo."
Sean langsung mengikuti langkah Zonya menuju ruang makan, dengan Naina yang berada dalam gendongannya. Mereka bertiga tampak menikmati sarapan diiringi celotehan-celotehan Naina yang terdengar tiada henti. Begitu selesai sarapan, Zonya langsung mengambil alih Naina.
"Kami berangkat, Mas."
"Baiklah, hati-hati."
*
Seharian bekerja mengurusi berkas-berkas yang terbengkalai, dengan sesekali memantau Naina yang bermain bersama Mbok Ijah di sofa ruangannya. Hingga suara ketukan pintu membuat Zonya langsung menyahut.
"Masuk..."
"Siang Kak," Anggi berdiri di sana dengan tersenyum manis.
"Anggi?"
Anggi berjalan masuk dan memeluk kakaknya, "Oh iya, bagaimana hubungan Kakak dan Mas Sean sekarang?" tanya Anggi.
Saat yang tepat, Zonya memang berniat bertanya mengenai keberadaan Anggi di pesta rekan bisnis Sean saat itu, dan ternyata Anggi justru langsung membawa pembicaraan mereka kearah sana, "Kakak sudah lama berniat menanyakan hal ini," ucap Zonya.
"Oh ya, apa itu?"
"Kenapa kau ada di acara yang sama dengan aku dan Mas Sean saat itu. Memang kau menemani siapa?" tanya Zonya.
"Oh... Aku ke sana bersama pria-ku," jawab Anggi santai.
"Pria-mu? Jangan macam-macam dengan kata pria, Anggi. Kau tahu apa artinya itu?" ucap Zonya dengan tatapan nyalang. Pasalnya, kata pria adalah kata yang biasa ditujukan bagi pasangan yang sudah saling memiliki secara utuh, dalam artian yang sesungguhnya, dan kata itu sedikit sensitif bagi Zonya.
Anggi cengengesan, ia mengangkat kedua tangannya ke udara, "Sorry Kak. Sebenarnya aku ke sana bersama..." Anggi sedikit memutar otak untuk menjawabnya. Pasalnya,antara dirinya dan laki-laki itu tidak memiliki hubungan apapun. Tidak, lebih tepatnya bukan tidak memiliki hubungan, tapi belum memiliki hubungan. Ya, hubungan mereka masih semu.
"Siapa?" tanya Zonya penasaran.
"Mmm tidak penting Kak. Justru sekarang aku ingin bertanya pada Kakak bagaimana rasanya berciuman dengan bibir tebal Mas Sean? Pasti kenyal, lembut dan memabukkan." goda Anggi.
"Jadi yang aku lihat saat kau berada di samping MC, itu benar?"
"Hm..." Anggi mengangguk pasti "Aku juga yang membayar MC-nya agar meminta Kakak dan Mas Sean untuk berciuman. Bagaimana, aku hebat 'kan?"
Anggi tersenyum menggoda dengan kedua alis naik-turun. Sedangkan Zonya, antara malu dan emosi menatap adik satu-satunya itu. Bagaimana tidak, Anggi cukup mengesalkan saat ini dengan wajah menggodanya itu. Namun dibalik itu semua, ia sedikit bersyukur karena gara-gara kejadian malam itu, hubungan antara dirinya dan Sean yang semula dingin, kini mulai berangsur menghangat.
"Kakak belum menjawab tadi. Jadi bagaimana rasanya berciuman?" tanya Anggi.
"Sudahlah, jangan bahas hal yang tidak berguna. Sekarang katakan apa tujuanmu ke sini?" putus Zonya.
"Aku ingin mulai belajar mengurus rumah sakit, bukankah Kakak yang mengatakan padaku untuk segera lulus dan membantu Kakak mengurus rumah sakit?"
"Bukan membantu, tapi menggantikan."
"Haish... Kak, aku tidak bisa menangani ini sendiri. Waktuku akan habis di rumah sakit dan aku tidak ada waktu lagi untuk kekasihku. Lalu bagaimana aku akan menikah dan memiliki rumah tangga bahagia jika aku tidak memiliki waktu luang?" cecar Anggi, tanpa sadar bahwa ucapannya membuat Zonya menjadi murung.
"Tolong periksa pasien di ruang mawar, dia baru masuk pagi ini," ucap Zonya akhirnya, dengan mata yang kembali fokus pada berkas-berkas di depannya.
Anggi yang menyadari sudah salah bicara tampak gelagapan. Ia langsung meraih tangan kakaknya dan menggenggamnya dengan perasaan menyesal, "Kak, maaf..."
"Tidak apa-apa. Langsung periksa saja pasien di kamar mawar sekarang," perintah Zonya
"Tapi Kak..."
"Sebagai kepala rumah sakit, kau tidak berhak menolak perintahku!"
Anggi mengangguk lemah saat mendengar suara tegas sang kakak. Jujur ia menyesal sudah berkata begitu tadi. Ia tidak sadar dan mengeluarkan kalimat-kalimat yang menyinggung perasaan kakaknya. Bagaimana bisa ia menolak mengurus rumah sakit dengan alasan takut tidak memiliki waktu luang, tanpa memikirkan perasaan kakaknya yang sejak dulu tidak memiliki waktu luang hanya untuk sekedar menyegarkan pikiran.
*
Zonya menutup berkasnya dan langsung mengalihkan tatapan pada Mbok Ijah yang duduk di sofa, menunggu Naina yang terlelap. Ini sudah jam makan siang, tapi melihat Mbok Ijah yang cukup lelah, ia jadi tidak tega untuk mengajak wanita itu ke kantin.
"Mbok... aku ke kantin sebentar membeli makan. Mbok tunggu Nai saja di sini," ucap Zonya.
"Apa tidak merepotkan, Nya?"
"Tidak, aku pergi sebentar, Mbok."
Zonya langsung melangkah menuju kantin rumah sakit, tiba di sana ia langsung memesan dan meminta pelayan kantin untuk mengantar pesanannya ke rungannya seperti biasa. Setelah memesan, ia langsung kembali menuju ruangan.
"Zoe..."
Zonya menghentikan langkah saat mendengar namanya terpanggil, rupanya Amir 'lah yang memanggilnya. "Amir?"
"Kau tidak makan siang?" tanya Amir.
"Aku akan makan sing di ruangan saja. Kau sendiri?"
"Aku baru akan makan siang" Amir melirik kearah kantin "Tapi sepertinya masih cukup ramai, aku akan menunggu dulu saja."
Zonya membenarkan. Karena memang suasana kantin masih cukup ramai sekarang. Baik dari para pegawai rumah sakit maupun keluarga pasien tampak mengantri untuk makan siang, hingga membuat kantin benar-benar penuh.
"Kalau begitu aku duluan, takut anakku menangis." ucap Zonya.
"Oh iya, silahkan."
Zonya mengangguk sekilas sebagai bentuk hormatnya. Setelahnya ia langsung melanjutkan langkah untuk kembali ke ruangannya. Namun entah karena kurang hati-hati atau memang karena lantai yang licin, heels Zonya terpeleset, membuat tubuhnya limbung. Untung Amir dengan sigap menahan tubuh Zonya, hingga kini posisi mereka tampak saling berpelukan, karena tangan Amir memeluk pinggang Zonya sebagai bentuk pertolongan. Sedangkan kedua tangan Zonya memeluk leher Amir secara refleks sebagai bentuk perlindungan.
"Terima kasih" Zonya menegakkan tubuhnya canggung, sedangkan Amir justru terlihat biasa saja.
"Sama-sama. Hati-hati, lantainya memang sedikit licin," ucap Amir.
"Iya, mari..." Zonya kembali melanjutkan langkahnya. Namun baru satu langkah ia berjalan, ia melihat keberadaan Sean yang berdiri tidak jauh dari tempatnya sekarang "Mas..."
"Hai..." Sean tersenyum kearah Zonya. Namun tatapannya justru terlihat tajam menatap pada Amir yang berada didekat Zonya.
"Mas kenapa di sini?"
"Aku ingin mengajakmu makan siang, tapi kata Mbok, kau ada di kantin."
"Oh... iya, tadi aku memesan makanan di kantin," jawab Zonya seadanya.
"Baiklah, memesan makanan rupanya."
Zonya mengernyit saat mendengar suara Sean yang datar, tapi tatapan laki-laki itu justru terlihat semakin tajam menatap belakang tubuhnya. Ia membalik tubuhnya perlahan, dan matanya langsung bersitatap dengan Amir yang juga menatapnya. Sejenak, ia merasa menjadi wanita tercantik di dunia karena berada diantara dua laki-laki tampan ini yng saling menatap tajam seakan memperebutkan dirinya