NovelToon NovelToon
Part Of Heart

Part Of Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cinta setelah menikah / Aliansi Pernikahan / Nikah Kontrak / Cinta Seiring Waktu / Pihak Ketiga
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: Dwiey

"Bagaimana mungkin Yudha, kau memilih Tari daripada aku istri yang sudah bersamamu lebih dulu, kau bilang kau mencintaiku" Riana menatap Yudha dengan mata yang telah bergelinang air mata.

"Jangan membuatku tertawa Riana, Kalau aku bisa, aku ingin mencabut semua ingatan tentangmu di hidupku" Yudha berbalik dan meninggalkan Riana yang terdiam di tempatnya menatap punggung pria itu yang mulai menghilang dari pandangan nya.

Apa yang telah terjadi hingga cinta yang di miliki Yudha untuk Riana menguap tidak berbekas?
Dan, sebenarnya apa yang sudah di perbuat oleh Riana?
Dan apa yang membuat persahabatan Tari dan Riana hancur?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwiey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

The distance that comes and goes

Tari mengeratkan jemarinya di gagang pintu, menatap tajam pada pria di depannya. Ia tidak bisa memahami kenapa Ade selalu saja kembali padanya setelah berkali-kali ia mengusirnya.

"Apa kata-kataku terakhir kali tidak cukup untuk membuatmu pergi menjauh dariku,"

Ade mengangkat paper bag di tangannya, tersenyum kecil dengan air matanya yang mengalir. "Aku membawakan makanan untukmu. Aku tahu kau pasti belum makan—"

"Berhentilah mendekatiku!" bentak Tari tiba-tiba, membuat Ade terdiam. "Sudah berapa kali aku mengusir mu? Sudah berapa kali aku mengatakan kalau aku tidak ingin melihatmu lagi?!"

Kening Ade berkerut, sorot matanya menyiratkan kesedihan. "Aku tidak pernah berniat untuk menyakitimu Tari... Aku hanya—"

"Kau hanya apa?!" Tari mencengkram dadanya, dadanya naik turun karena emosinya yang meluap-luap. "Kau hanya ingin menebus kesalahanmu? Kau ingin menunjukkan kalau kau menyesal?! Kau pikir itu bisa mengembalikan anakku!"

Ade terdiam sepenuhnya, matanya membelalak mendengar ucapan Tari. "Kau sudah tau?,"

Tari mengusap wajahnya kasar, air matanya mulai jatuh. "Apapun alasan yang kau miliki, itu tak menjadi pembenaran untuk perlakuanmu padaku. Setiap kali aku melihatmu, selalu terbayang saat.... Saat." Tari tak mampu menyelesaikan ucapannya, seolah air matanya lah yang menggantikan nya.

Ade menundukkan kepalanya, jemarinya menggenggam erat paper bag yang ia bawa.

"Aku tahu..." bisiknya lirih. "Aku tahu semua yang kulakukan tidak akan pernah cukup untuk menebus dosaku, Tari. Aku hanya... Meminta sedikit saja waktu untuk melihat mu lebih lama lagi."

Tari menggeleng lemah tanpa mengatakan apapun, air matanya terus mengalir. Ia mengangkat kedua tangannya untuk menutupi wajahnya.

Ade mengangkat kepalanya, menatap Tari yang sedang terisak. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi bibirnya seolah terasa kelu.

Akhirnya Ade menurunkan paper bag itu ke lantai di depan Tari. Ia menyeka air matanya dengan punggung tangan, lalu melangkah mundur.

"Aku pergi Tari," Ujarnya lirih.

Ade berbalik, melangkah pergi tanpa menoleh kebelakang. Lalu masuk ke dalam apartemen nya.

Tari menurunkan tangannya, menatap kosong paper bag yang di tinggalkan oleh pria itu. Kenyataan yang baru diketahui nya bahwa Ade meninggalkannya karena merasa bersalah membuat hati kecilnya terluka.

.

.

.

.

Yudha memasukkan kode sandi apartemen Tari dan membuka pintu dengan perlahan. Ia membawa paper bag berisi sarapan berupa bubur untuk Tari yang baru saja dibelinya di jalan pagi ini.

Meletakkan bawaannya di dapur, Yudha berjalan menuju kamar Tari. Pintu kamar itu sedikit terbuka, dan saat ia mendorongnya lebih lebar, matanya langsung menangkap sosok Tari yang duduk di tepi ranjang.

Wanita itu tampak melamun. Rambut pendeknya berantakan. Ia hanya menatap lantai tanpa ekspresi, tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Yudha mendekat dan berjongkok di depannya. "Tari..." panggilnya lembut.

Tari tersentak kecil, baru menyadari kehadiran Yudha. Tatapan mereka bertemu.

"Kau baru bangun?" tanyanya sambil tersenyum simpul.

Tari mengerjap pelan, baru kembali tersadar sepenuhnya setelah tenggelam dalam pikirannya sendiri. Matanya yang masih sembab dari tangisan semalam menatap Yudha yang berjongkok di depannya.

"Iya, tapi tidurku semalam nggak nyenyak. Nggak tau deh apa aku tidur atau hanya memejamkan mata semalaman," jawabnya pelan sambil tersenyum kecil.

Yudha menghela napas pelan. Ia mengulurkan tangan, menyelipkan beberapa helai rambut Tari yang berantakan ke belakang telinganya dengan lembut. "Aku bawain sarapan," gumamnya.

Tari terdiam, menoleh kesamping untuk menghindari tatapan Yudha. Tapi Yudha tidak membiarkannya. Ia meraih dagu Tari dengan jemarinya, mengarahkan wajah wanita itu hingga mereka kembali bertatapan.

"Kenapa nggak mau menatapku," bisiknya pelan.

Tari hanya diam, belum berniat untuk menatap langsung pada suaminya itu.

"Aku bawa bubur untukmu. Kau harus makan, atau aku yang akan menyuapi mu seperti mama burung,"

Tari mendesah kecil, lalu menggeleng. "Aku lagi males ketawa, lalu aku bisa makan sendiri."

"Benarkah?" Yudha menaikkan satu alisnya, tersenyum geli mendengar ucapan Tari. "Baiklah, tapi kalau kau makan terlalu sedikit, suka atau nggak aku tetap akan menaruh makanan di mulutmu."

Tari tak bisa menahan bibir nya untuk tersenyum geli, tapi sebisa mungkin ia menahan diri untuk tidak tertawa.

Dengan gerakan lembut, Yudha berdiri dan mengulurkan tangannya ke arah Tari. "Ayo, dan berhentilah menahan bibirmu untuk tersenyum, atau aku akan menggigitnya,"

Tari mendelik mendengar nya, lalu menatap tangan Yudha yang terulur di depannya. Ia mengangkat tangannya dan meletakkannya di telapak tangan Yudha.

Yudha menggenggamnya erat, lalu membantunya berdiri. Sesaat, mereka hanya berdiri berhadapan dalam keheningan. Jarak di antara mereka begitu dekat, dan Tari bisa merasakan betapa hangatnya napas Yudha.

Yudha menatap dalam ke matanya, lalu tersenyum lembut. "Aku mencintaimu,"

Tari tidak menjawab, tapi genggaman tangannya di tangan Yudha sedikit mengerat.

Yudha terkekeh pelan melihatnya. Ia sudah mendapatkan jawaban dengan genggaman erat wanita itu.

"Ayo, sebelum buburnya dingin," ajak Yudha sambil menarik lembut tangan Tari menuju dapur.

Tari mengikuti langkahnya tanpa banyak bicara. Saat mereka sampai di meja makan, Yudha menarik kan kursi untuk Tari sebelum duduk di seberangnya. Ia membuka paper bag dan mengeluarkan dua mangkuk bubur.

"Aku nggak tau kau suka topping apa, jadi aku beli dua macam," katanya sambil menyodorkan mangkuk yang berisi bubur dengan ayam suwir dan telur setengah matang.

Tari menatap bubur di hadapannya tanpa ekspresi, lalu menghela napas pelan. "Aku selalu lupa bilang padamu, aku sangat benci dengan bubur," ujarnya akhirnya.

Yudha yang sedang membuka sendok terdiam sejenak, lalu menatap Tari dengan alis terangkat. "Hah? Serius?"

Tari mengangguk. "Aku nggak suka sama teksturnya yang lembek. Rasanya kayak makanan bayi."

"Oh ya? Kalau gitu, aku pesen makanan lain ya."

Tari menggeleng pelan. "Nggak papa, aku nggak suka bukan berarti aku nggak bisa memakannya."

Yudha tersenyum, lalu mengambil sendok dan menyendok sedikit bubur dari mangkuknya sendiri. "Kalau aku yang nyuapin, kau mau makan nggak?" tanyanya menggoda.

"Aku bisa makan sendiri."

"Coba aja dulu," balasnya sambil tetap menyodorkan sendok ke arah Tari.

Tari menatap Yudha dengan tatapan setengah kesal, setengah pasrah. Akhirnya, ia mendesah dan membuka mulutnya. Yudha tersenyum puas saat Tari menerima suapan pertamanya.

"Bagaimana? Masih bisa di makan kan,"

Tari mengunyah perlahan, lalu menatap Yudha dengan ekspresi datar. "Aku bukan nggak suka rasanya, tapi teksturnya."

Lalu Tari mengambil sendok dari tangan Yudha dengan cepat. "Aku bisa makan sendiri, kau juga harus makan kan,"

"Baiklah sayang," Balas Yudha tersenyum senang.

.

.

.

Setelah selesai sarapan, Tari berjalan menuju ruang tengah dan menjatuhkan dirinya di sofa. Ia menyalakan televisi menonton acara komedi yang sedang tayang disana.

Sementara itu, Yudha masih berada di dapur, membereskan sisa sarapan mereka. Sesekali, ia melirik ke arah Tari yang tampak kelewat fokus menatap layar televisi. Setelah selesai mencuci mangkuk dan sendok, Yudha mengeringkan tangannya dengan handuk kecil, lalu berjalan mendekati Tari.

Tanpa berkata-kata, ia duduk di samping wanita itu. Salah satu lengannya terentang di sandaran sofa, sementara tubuhnya sedikit berbalik, menatap Tari lekat-lekat.

"Aku sudah bicara dengan pengacaraku," ujar Yudha tiba-tiba.

Tari menoleh dengan ekspresi terkejut, tak mengerti dengan ucapan mendadak itu. "Apa?"

Yudha menarik napas dalam sebelum menjawab, "Tentang perceraianku dengan Riana."

Tari menegang mendengar nama itu disebut.

"Prosesnya sudah mulai berjalan, mungkin butuh beberapa minggu sampai semuanya selesai, tapi keputusan ini sudah mutlak. Aku akan mengakhiri semuanya dengan Riana dan aku sudah membicarakan nya dengan ibu."

"Kau akhirnya memilihku?" tanyanya akhirnya, suaranya terdengar pelan. Wajahnya terlihat sendu.

Yudha tersenyum kecil. "Aku memang tidak pernah berniat untuk meninggalkanmu."

Tari menggigit bibir bawahnya, ia mengalihkan pandangannya ke tv kembali. "Bagaimana respon Riana?,"

"Harusnya kau sudah tau bagaimana respon dia" Yudha menggeser tubuhnya lebih dekat, tangannya menggenggam jemari Tari dengan lembut.

"Yudha..." Tari menarik tangannya pelan dari genggaman pria itu. "Kau yakin dengan keputusanmu?."

Yudha meraih wajah Tari dengan kedua tangannya, mengangkatnya agar mereka bisa saling bertatapan. "Dari semua keputusan yang pernah ku ambil, ini adalah yang paling aku yakini."

Tari terdiam tanpa menjawab ucapan itu, ia menatap lurus pada mata suaminya, mencari apakah ada keraguan yang tertinggal seperti yang ia lihat tadi malam.

"Kalau kau menarik kembali keputusanmu ini, kau ak—" Yudha mencium pelan bibir Tari, sontak menghentikan ucapannya.

Yudha tersenyum saat melepas ciuman itu. "Aku tidak memerlukan ancaman apapun, karena di sini aku lah yang mencintaimu lebih banyak,"

Tari mengangkat tangan nya, memegang lembut pada tangan Yudha yang ada di wajahnya. "Nggak kok, siapa yang bilang?,"

Yudha tersenyum hingga matanya menyipit, lalu mereka kembali berciuman, kali ini tak satupun dari mereka yang berniat melepaskan bibir masing-masing lebih dulu.

1
Martin victoriano Nava villalba
Wah bahasanya keren banget, bikin suasana terasa hidup.
Cô bé mùa đông
Jujur, bikin terharu.
Jenni Alejandro
Makin nggak sabar buat nunggu kelanjutan ceritanya 😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!