Datang sebagai menantu tanpa kekayaan dan kedudukan, Xander hanya dianggap sampah di keluarga istrinya. Hinaan dan perlakuan tidak menyenangkan senantiasa ia dapatkan sepanjang waktu. Selama tiga tahun lamanya ia bertahan di tengah status menantu tidak berguna yang diberikan padanya. Semua itu dilakukan karena Xander sangat mencintai istrinya, Evelyn. Namun, saat Evelyn meminta mengakhiri hubungan pernikahan mereka, ia tidak lagi memiliki alasan untuk tetap tinggal di keluarga Voss. Sebagai seorang pria yang tidak kaya dan juga tidak berkuasa dia terpaksa menuruti perkataan istrinya itu.
Xander dipandang rendah oleh semua orang... Siapa sangka, dia sebenarnya adalah miliarder terselubung...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 Menang
Sorakan penonton meledak ketika Xander dan Dalton berdiri di atas ring, bertelanjang dada, memamerkan tubuh mereka yang dipenuhi otot terlatih. Para wanita di sekitar ring histeris, beberapa bahkan berusaha mendorong maju untuk mendapatkan pandangan lebih dekat. Sorotan lampu temaram menambah intensitas atmosfer, membuat bayangan otot-otot mereka terlihat lebih dramatis.
Di pinggir ring, Parker merangsek maju, berusaha mendekati Xander yang sedang merenggangkan tubuhnya. Dengan susah payah, ia berhasil menarik perhatian Xander tanpa mengganggu konsentrasinya.
“Apa yang kau inginkan?” tanya Xander tanpa menoleh, tetap fokus mempersiapkan dirinya.
“Kau harus menang jika kau tidak ingin aku mati karena taruhan ini,” bisik Parker dengan nada putus asa.
Xander tidak menjawab. Ia hanya menatap Dalton, mengamati pergerakan kecil.
Parker mundur dengan wajah penuh kecemasan, terdesak oleh gelombang penonton yang terus merangsek maju. “Kau jangan sampai kalah, Xander.”
Di sisi lain arena, seorang pria melangkah masuk ke ring. Ia adalah wasit pertandingan, dengan mikrofon di tangan dan senyum sinis di wajahnya. “Apakah kalian sudah memasang taruhan kalian?” teriaknya ke arah kerumunan.
Penonton merespons dengan sorakan menggema, tangan-tangan mereka mengacung tinggi, menggenggam uang taruhan.
“Baiklah,” lanjut pria itu, suaranya semakin penuh semangat. “Sekarang kita akan menyaksikan pertandingan Dalton, sang legenda tak terkalahkan!”
Kerumunan bersorak lebih keras, menggemakan nama Dalton. Namun pria itu hanya melipat tangannya di depan dada, menatap Xander dengan seringai mengejek.
“Dan lawannya adalah penantang baru yang... aku bahkan tidak tahu namanya,” kata sang wasit dengan nada mengejek. Ia mengarahkan mikrofon ke Xander. “Siapa namamu, pecundang?”
“Xander,” jawab Xander dengan suara tenang, singkat namun tegas.
Kerumunan langsung terbagi. Sebagian mulai bersorak mendukungnya, terutama para wanita yang terpikat oleh ketenangannya. Namun, sebagian lain mencemooh dengan penuh ejekan, yakin Dalton akan menghajarnya dengan mudah.
Di sudut ruangan, wanita yang datang bersama Dalton terlihat gelisah. Ia melirik Xander dengan sorot mata tajam, seolah mencoba mengingat sesuatu. Tatapannya semakin fokus ketika nama itu disebut.
“Siapa pria itu?” tanyanya tiba-tiba pada seorang wanita di sampingnya, nadanya mendesak.
“Xander, dia baru saja menyebutkan namanya,” jawab wanita itu dengan malas sambil kembali meneguk minuman.
Namun wanita tadi tidak puas. Ia berdiri dari kursinya, menepis tangan seorang pria yang mencoba mendekat. Tatapannya tetap tertuju pada Xander, mencoba memahami siapa sebenarnya pria itu di tengah cahaya yang remang.
Di atas ring, wasit melanjutkan tugasnya. “Peraturan pertandingan ini sederhana,” ia memulai, berjalan di antara Xander dan Dalton. “Peraturan pertama, setiap petarung bebas menyerang bagian tubuh mana pun milik lawan. Kedua, tidak boleh ada yang memakai senjata. Ketiga, pertandingan selesai jika salah satu petarung tidak sadarkan diri, menyerah, atau tidak bisa bangun setelah hitungan sepuluh detik. Mengerti?”
Xander dan Dalton mengangguk bersamaan.
“Baiklah!” teriak sang wasit. “Kita mulai!”
Ia buru-buru keluar dari ring, memberi ruang bagi kedua petarung untuk saling mendekat.
Sorakan penonton kembali menggema, memenuhi ruangan seperti gelombang yang tak terbendung. Xander dan Dalton saling mengamati, berjalan perlahan ke tengah ring. Kedua pria itu berdiri hanya beberapa langkah satu sama lain, energi ketegangan yang terpancar di antara mereka begitu nyata hingga dapat dirasakan oleh semua orang di ruangan.
Dalton menyeringai, mengepalkan tangannya yang besar. “Kau akan menyesali keputusanmu untuk naik ke sini,” ucapnya penuh kesombongan.
Namun Xander hanya tersenyum tipis, mengangkat kedua tangannya dalam posisi bertahan. “Kita lihat saja.”
Pertandingan resmi dimulai. Sorakan penonton menggema memenuhi ruangan. Nama Xander dan Dalton diteriakkan bersahutan. Cibiran dan ejekan dilontarkan dari pendukung masing-masing pihak.
Xander dan Dalton berdiri diam beberapa detik, saling menatap tajam, mencoba membaca gerakan lawan. Tubuh mereka bergerak perlahan dalam irama yang seirama, mencari celah untuk serangan pertama.
Dalton menjadi yang pertama melancarkan serangan. Ia melayangkan pukulan keras dengan kepalan tangan yang besar. Namun, Xander dengan cekatan mengangkat lengannya, menahan pukulan itu dengan kepalan tangannya sendiri.
Duk!
Dalton terkejut, menggeram pelan sambil menggoyangkan tangannya yang terasa perih. “Kau cukup kuat, tapi aku belum serius.”
Xander hanya menyeringai kecil tanpa menjawab.
Dalton kembali menyerang, kali ini lebih agresif. Ia melancarkan serangkaian pukulan cepat, mencoba menjebol pertahanan Xander. Namun, Xander bergerak gesit, menghindar dengan langkah ringan, menangkis sebagian serangan, dan mengelak dari sisanya. Dalton tidak berhenti di situ. Ia melanjutkan serangan dengan tendangan kuat ke arah kepala Xander.
Xander menunduk dengan cepat, tendangan itu hanya menggesek rambutnya. Dalton mencoba menargetkan kaki lawannya, tetapi Xander melompat ke samping, membuat Dalton kehilangan keseimbangan sesaat.
“Bagus, Xander! Ayo hajar dia!” seseorang di kerumunan berteriak, diikuti oleh sorakan pendukung lainnya.
Sementara itu, di sudut ruangan, Parker menghela napas lega. Xander masih mampu bertahan dengan baik, bahkan membuat Dalton sedikit kewalahan. Namun, ia tahu ini baru permulaan.
Di antara kerumunan, wanita yang datang bersama Dalton terlihat gusar. Ia melipat tangannya, menghembuskan napas berat sambil menatap sepupunya di atas ring. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa hanya untuk mengalahkan pria itu kau terlihat begitu kesulitan?” gumamnya.
Ia mengalihkan perhatiannya sejenak ke ponsel, tetapi gemuruh sorakan penonton membuatnya kembali mendongak. Matanya menyipit, memperhatikan dengan lebih serius.
Di atas ring, Dalton mulai kehilangan kesabaran. Wajahnya memerah karena emosi, dan gerakannya menjadi lebih liar. Ia melayangkan pukulan brutal yang nyaris mengenai rahang Xander, tetapi Xander mundur dengan langkah terukur, membiarkan pukulan itu hanya mengayun di udara.
Kesempatan itu tidak dilewatkan Xander. Dengan gerakan cepat, ia menyerang balik, menghantam perut Dalton dengan pukulan keras yang membuat lawannya terhuyung ke belakang.
Kerumunan meledak. Sorakan pendukung Xander terdengar lebih kencang, sementara beberapa pendukung Dalton mulai mengumpat frustrasi.
Dalton berdiri tegak kembali, menatap Xander dengan tatapan penuh dendam. “Kau akan menyesali ini!” bentaknya sambil maju menyerang lagi.
Sementara itu, para penonton di sekitar ring semakin liar. Beberapa pria bahkan terlibat perkelahian kecil karena saling mengejek jagoan lawan. Namun, perhatian mayoritas tetap tertuju ke ring, tempat ketegangan dan adrenalin memuncak.
Dalton kembali menyerang, tapi kali ini gerakannya terlihat kurang terkontrol, terlalu dipengaruhi emosi. Xander, sebaliknya, tetap tenang, menghindari serangan dengan langkah-langkah lincah. Ia menunggu kesempatan untuk melancarkan serangan balasan yang lebih efektif.
Ketika Dalton kehilangan keseimbangan sejenak akibat terlalu jauh mengayunkan pukulan, Xander segera maju. Ia meluncurkan serangan rendah dengan menghantam sisi lutut Dalton, membuat pria itu oleng. Tanpa memberi waktu bagi lawannya untuk kembali tegak, Xander melayangkan pukulan telak ke sudut bibir Dalton.
Duk!
Tubuh Dalton terjerembap ke lantai dengan keras. Darah segar menetes dari sudut bibirnya, mengotori lantai ring. Matanya berkunang-kunang, telinganya mendengung, dan sesaat ia merasa dunia berputar.
Melihat Xander yang melompat mendekat untuk memberikan serangan susulan, Dalton dengan cepat berguling ke samping, nyaris menghindari hantaman berikutnya. Ia menyeka darah di bibirnya sambil berdiri perlahan, mengambil jarak dari Xander.
Tatapannya tajam, Namun, cemoohan dari penonton semakin menambah panas suasana. Beberapa dari mereka mulai mencibir Dalton, memanggilnya dengan julukan-julukan merendahkan.
“Aku pasti akan menghabisimu, sampah!” teriak Dalton sambil meluncur maju.
Dalton menyerang dengan rentetan pukulan dan tendangan yang membabi buta. Gerakannya cepat dan bertenaga, tetapi penuh dengan celah karena dipicu oleh kemarahan. Xander, dengan ritme yang stabil, terus bergerak ringan, menghindari setiap serangan dengan melompat ke kiri dan kanan.
Dalton tiba-tiba menghentikan serangannya sejenak, matanya menyipit menatap Xander dengan intens. Ada sesuatu yang terasa familier. Wajah Xander mengingatkannya pada seseorang.
Namun, lamunan singkat itu menjadi celah yang dimanfaatkan Xander. Sebuah pukulan telak menghantam perut Dalton, membuat pria itu melipat tubuhnya ke depan. Sebelum Dalton sempat kembali tegak, Xander menyusul dengan tendangan berputar yang mengenai rahangnya.
Duk!
Dalton jatuh terguling ke lantai. Penonton bersorak lebih keras, beberapa terlihat tak percaya bahwa petarung unggulan mereka mulai kehilangan kendali.
Di sisi lain, Parker tersenyum penuh kemenangan. “Ayo, Xander! Kau pasti menang! Hajar dia!” teriaknya sambil melompat-lompat di dekat ring, yakin bahwa keuntungan besar akan segera diraihnya.
Dalton berdiri kembali dengan susah payah, darah kini mengalir dari hidungnya. Tatapannya bercampur frustrasi dan kebingungan. Ia menatap Xander dengan tajam, tetapi pikirannya mulai dipenuhi pertanyaan.
“Siapa sebenarnya pria ini? Wajahnya... mirip sekali dengan...” gumam Dalton, setengah linglung.
Namun, ia tidak sempat menyelesaikan pemikirannya. Sebuah pukulan lagi dari Xander menghantam hidungnya dengan keras, membuat lebih banyak darah bercucuran. Sebelum Dalton sempat membalas, tendangan kuat mendarat di perutnya, membuatnya terhuyung mundur.
Xander tidak memberikan jeda. Ia bergerak maju dengan tendangan beruntun yang semakin memojokkan Dalton ke sisi ring. Setiap serangan Xander tepat sasaran, membuat Dalton semakin kehilangan keseimbangan.
“Sialan!” teriak Dalton dengan suara serak, tubuhnya jatuh berlutut di lantai ring. Ia memegang perutnya yang terasa nyeri, sementara bibirnya berdarah.
Dalton mendengkus keras, kesal bukan hanya pada Xander, tetapi juga pada dirinya sendiri. “Sampah itu benar-benar mempermainkanku!”
Wanita yang datang bersama Dalton merasa semakin frustrasi. Sorakan riuh para penonton dan panasnya suasana tidak menyurutkan niatnya untuk mendekat ke ring. Ia mulai mendorong orang-orang yang menghalanginya dengan kasar, tak peduli pada umpatan atau tatapan kesal mereka.
"Apa yang sebenarnya kau pikirkan, Dalton!" geram wanita itu dengan suara tajam, meski ditelan keributan di sekitarnya.
"Kau bilang akan membawaku ke tempat menarik dan menyenangkan, tapi lihat apa yang kau lakukan sekarang!" lanjutnya, suaranya terdengar bergetar karena emosi. "Bagaimana mungkin kau bisa kalah dari... dari sampah seperti ini..."
Namun, ucapannya terhenti ketika pandangannya jatuh pada Xander. Tubuhnya mendadak membeku. Tatapannya berubah, bukan lagi penuh kemarahan, tetapi dipenuhi keterkejutan yang nyaris mustahil disembunyikan.
Wanita itu mengamati Xander dengan seksama, dari kepala hingga kaki. Kerumunan penonton yang terus mendorongnya dari belakang atau samping tidak lagi ia pedulikan. Suara gemuruh di sekitarnya menghilang dari fokusnya.
"Dia... dia mirip sekali dengan sosok itu..." gumamnya dengan suara hampir tidak terdengar. "Tidak mungkin. Ini tidak mungkin. Dia sudah mati dan juga tidak memiliki siapa pun lagi selain adiknya. Tapi, wajah itu... bagaimana mungkin?"
Di atas ring, Xander secara tak sengaja melirik ke arah wanita itu. Pandangannya bertemu dengan tatapan intensnya. Seketika, alis Xander berkerut. Ada sesuatu yang familier pada wanita tersebut, meski ia tidak ingat betul apa.
"Kuharap aku salah, tapi bukankah wanita itu adalah yang aku lihat saat keluar dari gedung Phoenix Vanguard tempo hari?"
Gangguan kecil itu menjadi peluang besar bagi Dalton. Dengan cepat, Dalton melayangkan pukulan telak ke sudut bibir Xander, membuat darah segar mengucur. Tubuh Xander terhuyung ke belakang.
"Xander! Apa yang kau lakukan!" teriak Parker dari luar ring dengan wajah panik.
Xander mengusap darah di bibirnya, Ia segera kembali ke posisi bertahan, menangkis serangan-serangan Dalton sambil mencari celah untuk menyerang balik.
Dalton, meski masih diselimuti emosi, tidak mengendurkan serangannya. Kedua pria itu kembali terlibat dalam adu pukul yang panas. Pukulan dan tendangan saling dilayangkan tanpa henti, memenuhi ring dengan dentuman keras dan gerakan agresif.
Tubuh mereka mulai basah oleh keringat, yang memantulkan cahaya lampu temaram di atas ring. Penonton semakin larut dalam pertandingan ini, meneriakkan nama jagoan mereka, menyoraki setiap serangan telak, dan mencibir setiap kegagalan.
Pertarungan sengit itu akhirnya mencapai puncaknya. Xander melayangkan tendangan keras tepat ke wajah lawannya. Dalton terlempar ke belakang, tubuhnya ambruk di atas ring dengan bunyi dentuman keras.
Namun, kemenangan itu tidak tanpa harga. Xander terkena pukulan balasan di perutnya, membuatnya meringis kesakitan dan penglihatannya mengabur sesaat.
“Segera selesaikan sekarang, Bung!” Parker berteriak dari luar ring.
Xander menahan rasa sakit, berlari ke arah Dalton yang mencoba bangkit. Dengan sigap, ia memutar tubuh Dalton hingga tengkurap, lalu menarik kedua tangan pria itu ke belakang punggungnya dan menekannya ke bawah dengan kekuatan penuh.
Dalton menggeliat, berusaha keras untuk meloloskan diri. “Lepaskan aku, sampah!”
Pria yang bertindak sebagai wasit naik ke atas ring dan mulai menghitung dengan suara lantang.
“Sepuluh… sembilan… delapan…”
Dalton terus meronta, tetapi usahanya sia-sia. Kuncian Xander terlalu kuat. Penonton yang mendukung Dalton mulai cemas, sementara pendukung Xander semakin bersemangat, berteriak histeris.
“Tiga… dua… satu!”
Wasit mengangkat tangannya, memberikan tanda berakhirnya pertandingan. “Kita memiliki pemenang baru sekarang! Dalton yang tidak terkalahkan berhasil dikalahkan oleh petarung baru bernama Xander!”
Xander perlahan melepas cengkeramannya, bangkit dengan napas terengah-engah. Ia menatap Dalton dengan tajam. “Aku menang. Kau harus menepati janjimu untuk meminta maaf.”
Dalton mendelik, wajahnya penuh amarah dan rasa malu. “Diamlah, sampah! Itu hanya ada dalam mimpimu!” bentaknya sebelum berdiri, menyeka darah di bibirnya, dan turun dari ring.
Penonton yang kecewa karena kalah taruhan melontarkan berbagai makian, tetapi Dalton mengabaikannya. Ia berjalan cepat meninggalkan arena, membanting pintu dengan keras hingga suara gaduh itu menggema.
Wanita yang datang bersama Dalton, Ruby, segera menyusulnya. Ia berjalan cepat untuk menyejajarkan langkah dengan sepupunya, menatapnya dengan tatapan penuh kekesalan.
“Bagaimana mungkin kau bisa kalah dari sampah seperti itu, Dalton?” tanyanya dengan nada mencibir.
“Diamlah, Ruby!” bentak Dalton tanpa menoleh. “Jangan membuatku semakin kesal!”
Mereka keluar dari gedung, melintasi gang sempit, hingga akhirnya memasuki sebuah mobil mewah yang diparkir di ujung jalan. Dalton duduk di kursi pengemudi, masih berusaha menenangkan dirinya.
“Hei,” Ruby memecah keheningan, suaranya terdengar lebih serius. “Apa kau memiliki pikiran yang sama denganku mengenai pria bernama Xander itu?”
Dalton menatapnya sekilas, lalu mengangguk kecil. “Sepertinya begitu. Aku kehilangan fokus ketika menyadari jika dia memiliki kemiripan dengan seseorang… seseorang yang masih menjadi bagian dari keluarga kita.”
“Dari sudut manapun, dia terlihat mirip.” Ruby mengeluarkan ponselnya, memperlihatkan sebuah foto Xander yang diambilnya saat pertarungan berlangsung. "Apa kita harus melaporkan hal ini pada anggota keluarga Ashcroft yang lain?"
Dalton memperhatikan foto itu dengan cermat, lalu mengalihkan pandangan ke jalan raya yang dipenuhi kendaraan. “Ini masih terlalu cepat untuk bertindak. Kita perlu memastikan siapa dia sebenarnya. Kirim beberapa orang untuk mencari tahu tentang dia sebelum melibatkan keluarga.”
Ruby mengangguk pelan, menyandarkan tubuh ke kursi. Matanya tetap tertuju pada layar ponsel, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan.
“Sampah seperti dia,” gumam Ruby dengan suara lirih, “bisa saja menjadi ancaman besar.”