Istri mana yang tak bahagia bila suaminya naik jabatan. Semula hidup pas-pasan, tiba-tiba punya segalanya. Namun, itu semua tak berarti bagi Jihan. Kerja keras Fahmi, yang mengangkat derajat keluarga justru melenyapkan kebahagiaan Jihan. Suami setia akhirnya mendua, ibu mertua penyayang pun berubah kasar dan selalu mencacinya. Lelah dengan keadaan yang tiada henti menusuk hatinya dari berbagai arah, Jihan akhirnya memilih mundur dari pernikahan yang telah ia bangun selama lebih 6 tahun bersama Fahmi.
Menjadi janda beranak satu tak menyurutkan semangat Jihan menjalani hidup, apapun dia lakukan demi membahagiakan putra semata wayangnya. Kehadiran Aidan, seorang dokter anak, kembali menyinari ruang di hati Jihan yang telah lama redup. Namun, saat itu pula wanita masa lalu Aidan hadir bersamaan dengan mantan suami Jihan.
Lantas, apakah tujuan Fahmi hadir kembali dalam kehidupan Jihan? Dan siapakah wanita masa lalu Aidan? Akankah Jihan dapat meraih kembali kebahagiaannya yang hilang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33~ MEMANG SUSAH KALAU SUDAH BUCIN
"Bunda, kita mau ke rumah Om Dokter ya?" tanya Dafa setelah mencium punggung tangan sang bunda, keduanya baru saja selesai melaksanakan sholat Maghrib.
"Iya, sebentar lagi Om Dokter jemput kita." Jihan lalu melipat sajadah kemudian melepaskan mukenah dan menggantungnya di dinding kamar.
"Yuk kita siap-siap."
Dafa dengan antusiasnya mengganti kokoh yang dikenakannya sholat, dengan setelan celana jeans panjang dan kemeja kotak-kotak lengan pendek yang telah disiapkan bundanya.
Sementara Jihan masih bingung memilih pakaian apa yang harus dikenakannya malam ini.
Mengingat pertama kali bertemu orangtuanya Aidan. Di usia yang tak lagi muda, mamanya Aidan tetap terlihat cantik dan anggun, terlebih Aidan memiliki kakak perempuan yang kata Nayra selalu tampil glamor. Tentu ia akan merasa kurang percaya diri untuk berbaur dengan mereka.
"Bunda kok bengong sih?" tanya Dafa, ia telah rapi sementara bundanya belum bersiap-siap dan hanya menatap beberapa pakaian yang diletakkannya di atas kasur.
Jihan menoleh, ia tersenyum melihat putranya yang sudah terlihat tampan. "Sebentar ya, Nak." Ia kembali menatap beberapa pakaiannya. Hingga terdengar nada pesan masuk di ponselnya membuatnya segera beranjak meraih benda pipih itu di atas nakas.
'Sudah siap, kan? Aku sebentar lagi sampai.'
"Duh, gimana ini?" Jihan sedikit panik setelah membaca pesan yang dikirim Aidan. Gelagatnya sudah seperti anak ABG yang ketar ketir penampilannya belum sempurna, sementara pacarnya sebentar lagi datang menjemput.
"Yang ini aja deh," gumamnya seraya mengambil gamis berwarna dusty pink.
"Dafa tunggu di luar ya, Nak. Bunda ganti pakaian dulu."
"Iya, Bunda."
Setelah putranya keluar, Jihan pun gegas bersiap-siap.
Disisi lain, Aidan memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Kurang dari sepuluh menit setelah mengirim pesan pada Jihan, akhirnya ia pun sampai.
Dari dalam mobil, tatapannya langsung tertuju pada Dafa yang duduk di teras, ia mengembangkan senyum melihat calon anak sambungnya itu terlihat sangat tampan malam ini. Anak lelaki itupun segera beranjak menghampiri Aidan yang baru saja turun dari mobil dan langsung mencium punggung tangannya.
"Ganteng banget sih malam ini." Aidan berjongkok di hadapan Dafa lalu mencubit gemas hidungnya. "Siapa nih yang milih pakaiannya, Dafa apa Bunda?" tanyanya.
"Bunda," jawab Dafa.
Aidan tersenyum, dalam benaknya mencoba menerka pakaian apa yang sekarang dikenakan Jihan. "Oh ya, Bunda kamu mana?"
"Di ka... ." Baru saja Dafa akan menjawab, Jihan sudah keluar dengan sedikit tergesa-gesa. Setelah menutup dan mengunci pintu, ia pun menghampiri Dafa dan Aidan.
Aidan pun berdiri, tatapannya terkunci pada Jihan. Gamis berwarna dusty pink dipadukan pashmina berwarna lavender yang dikenakan calon istrinya itu terlihat sangat pas di kulitnya yang putih. Matanya sampai tak berkedip, apalagi saat tatapannya tertuju pada wajah Jihan yang malam ini memakai riasan tipis, membuatnya semakin terlihat cantik. Selama mengenal Jihan, tak sekalipun ia melihat wanita itu memoles wajahnya. Dan malam ini adalah pertama kalinya.
Jihan sampai gugup ditatap demikian. Ia menunduk demi menghindari tatapan Aidan. "Maaf sudah buat Mas Aidan menunggu lama."
Aidan terkesiap, mengalihkan pandangannya begitu tersadar oleh pesona Jihan. "Enggak kok, aku juga baru sampai." Ia terdiam sejenak, menarik nafas dalam dan menghembuskan perlahan untuk menormalkan debaran jantungnya. Kita berangkat sekarang?"
Jihan hanya mengangguk, ia lalu meraih tangan putranya dan masuk ke mobil setelah Aidan membukakan pintu.
.
.
.
"Wah rumah Om Dokter besar sekali." Dafa tak hentinya berseru kagum setelah sampai di kediaman Aidan.
Jihan langsung bereaksi menyentuh pundak putranya dan langsung mengedipkan kedua matanya begitu Dafa menoleh, sebagai isyarat agar putranya itu menjaga sikap. Sementara ia sendiri semakin merasa gugup setelah melihat betapa megahnya kediaman Aidan.
"Yuk, masuk." Aidan mengulurkan tangannya pada Dafa, namun tatapannya tertuju pada Jihan.
Dafa langsung menyambut uluran tangan Aidan, keduanya melangkah bersama memasuki rumah megah itu dengan saling menggenggam tangan, dan langsung menuju ruang tamu dimana kakak dan kedua orangtuanya sudah menunggu kedatangan mereka bertiga.
Jihan mengekor di belakang dua lelaki berbeda generasi itu, ia semakin merasa gugup begitu sampai di ruang tamu. Memasang senyum yang nampak sekali canggung ketika mamanya Aidan menghampirinya.
"Kamu cantik sekali malam ini." Mama Kiara langsung memeluk Jihan.
"Terima kasih, Tante," ucap Jihan setelah mengurai pelukan.
"Fio, ini Jihan calonnya Adik kamu." Mama Kiara mengenalkan calon menantunya itu pada putri sulungnya.
Fiona hanya mengulas senyum tipis tanpa beranjak dari tempat duduknya, cukup terkejut juga begitu melihat sosok Jihan yang ternyata adalah wanita berhijab. Kesan pertama yang ia lihat, Jihan cantik dan masih muda, dari penampilannya juga anggun dan Sholehah. Tapi, siapa yang tahu hatinya, ia tidak ingin terperdaya begitu saja.
"Hei tampan, ayo kesini." Papa Denis melambaikan tangannya pada Dafa, membuat anak lelaki itu melepas pegangan tangannya dengan Aidan lalu menghampiri papa Denis.
"Sudah makan?" tanya papa Denis.
Dafa menggeleng. "Belum," jawabnya.
"Kalau begitu, sekarang ayo kita makan." Papa Denis langsung menggendong Dafa menuju ruang makan.
Mama Kiara pun menggandeng tangan Jihan menuju ruang makan, sedangkan Fiona langsung berdiri dan menarik tangan adiknya.
"Apa sih, Kak?"
"Kamu sudah pernah ketemu mantan suaminya Jihan?"
Aidan menggeleng. "Memangnya kenapa, Kak?" tanyanya.
"Jihan itu masih muda tapi sudah punya anak sebesar itu, sudah jelas dulunya dia menikah diusia belasan. Cuma penasaran aja gimana rupa mantan suaminya, apakah seusia Jihan atau... ."
"Duh, kirain kenapa?" Potong Aidan. "Mau mantan suaminya Jihan itu brondong, atau kakek-kakek sekalipun aku gak peduli." Ia langsung meninggalkan kakaknya setelah itu.
Fiona mendengus sebal, memutar bola matanya malas lalu menyusul adiknya. "Memang susah kalau sudah bucin, suara nyamuk pun kedengarannya merdu."
Aidan mengulum senyum sambil geleng-geleng mendengar gerutuan kakaknya itu.
Papa Denis mendudukkan Dafa di pangkuannya, Jihan hendak memindahkan putranya tapi papa Denis mencegahnya.
"Gak apa-apa, biar Dafa disini saja."
Jihan pun duduk disamping mama Kiara, karena terus memperhatikan putranya ia sampai tak menyadari Aidan telah duduk di sebelahnya.
"Kamu mau makan apa? Biar aku ambilin." tanya Aidan seraya membalik piring dihadapan Jihan.
Jihan tersentak kaget, ia refleks mengelus dada, membuat papa Denis dan mama Kiara terkekeh.
"Biar aku ambil sendiri saja, Mas."