Kesempatan kembali ke masa lalu membuat Reina ingin mengubah masa depannya yang menyedihkan.
Banyak hal baru yang berubah, hingga membuatnya merasakan hal tak terduga.
Mampukah Reina lari dari kematiannya lagi atau takdir menyedihkan itu tetap akan terjadi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melepas Kepalsuan
Reina menatap tak percaya pada pemuda yang masih saja memegang kendali atas hatinya.
Dirinya merutuk masih memendam cinta itu pada Edwin. Meski lelaki itu belum melakukan kesalahan di masa ini, tapi mengingat betapa dia diperlakukan seperti sampah oleh lelaki yang kelak akan menjadi suaminya itu amarahnya kembali memuncak dan kembali memperlihatkan ekspresi ketidak sukaannya.
Reina menguatkan hatinya untuk tak tersihir dengan pesona pemuda tampan itu.
"Kalian di sini?" panggilan menyusul dari arah belakang Edwin. Reina sedikit merasa heran karena dari arah keduanya datang adalah ruangan lab yang jarang di lalui oleh para siswa.
Apa mereka berdua habis dari sana?
Melihat pandangan menusuk kekasihnya, Edwin bergegas menyela agar tak membuat kesalahpahaman.
"Aku tadi dari toilet lab, sengaja nunggu kamu," jelasnya buru-buru.
Edwin adalah salah satu alumni yang memang mendapat undangan khusus dari sekolah karena kekasihnya itu pernah menjadi salah satu siswa berprestasi yang mengharumkan nama sekolahnya, jadi tak heran keberadaan pemuda itu di sana karena memang menjadi undangan khusus.
Reina hanya menatap ke gugupan kekasihnya. Kini dia sedikit menyadari, sepertinya benih cinta itu sudah ada sejak mereka sekolah.
Elyana lantas menatap Reina dengan pandangan menusuk.
"Kakak ngga pakai gaun yang aku kasih?" ucapnya sendu.
Perkataan gadis itu bisa membuat orang lain mengira dirinya telah menyakiti gadis itu.
Namun Reina tak peduli. Mengikuti kecurigaannya, dia ingin melihat ke dua sahabat dan kekasihnya akan bersikap bagaimana pada gadis itu.
Seingat Reina, jika ada Elyana di dekat mereka, Vika akan melakukan protes kasar dengan sindiran dan Grace tak memedulikannya.
Edwin pun dulu akan memilih diam dan mengajaknya pergi dari hadapan gadis yang mereka yakini selalu mencari perhatian mereka.
"Kamu membelikan Reina gaun?" pertanyaan itu meluncur dari mulut Edwin.
Kekasihnya itu menatap Reina meminta penjelasan. Adegan ini jelas berubah. Reina harusnya bersiap dengan berbagai kejadian baru yang memang ingin dirubahnya.
"Kamu tahu kan aku ke mana-mana pakai sepeda. Gaunnya kena rantai. Untung ada baju bekas di gudang yang bisa aku pakai," jawab Reina tenang.
Elyana jelas tak puas dengan jawaban Reina. Apalagi dia menyadari kecantikan alami kakak tirinya yang membuat lelaki incaran hatinya itu menatap penuh cinta padanya.
"Tapi pakaian itu ketinggalan jaman," Elyana masih belum puas memojokkan Reina. Gadis itu ingin membuat Reina terhina.
"Sudahlah, tak mungkin akan ada yang memperhatikan juga!" sela Grace lalu menggandeng Reina dan Vika menuju auditorium.
Sesampainya di aula, Reina ingat jika dirinya akan duduk sendiri tanpa sahabat dan kekasihnya.
Ia ingat jika Elyana yang justru bersama mereka. Memprovokasi dirinya seolah menyatakan jika mereka pun bisa ia miliki.
Dulu Reina menatap sedih keadaan itu, tapi entah kenapa kini justru ia bersyukur.
Dia memilih duduk di barisan belakang yang sepi. Hanya ada beberapa siswa yang duduk di sana, salah satunya seorang gadis dari kelasnya yang Reina tahu gadis itu selalu menjadi siswa berprestasi di sekolahnya.
Mereka tidak dekat, karena Reina pernah di ingatkan oleh Grace dan Vika tak perlu berteman dengan gadis itu karena mereka bisa jadi korban bulian siswa lainnya.
Reina memang terselamatkan karena berteman dengan Grace dan Vika. Meski ia merasa sedih dengan nasib gadis itu, tapi tak ada yang bisa ia lakukan.
Hidupnya sudah terlalu menyedihkan di rumah. Tak mungkin dia menambah kemalangan hidupnya di sekolah juga.
Lucunya, bukan hanya anak miskin dan buruk rupa saja yang akan di jauhi oleh sebagian siswa di sini.
Yang terlalu cantik dan juga berprestasi juga mendapatkan bulian yang sama. Meski mereka seringnya hanya di jauhi.
Di sini orang yang mau royal-lah yang akan di dekati, seperti yang di lakukan Elyana. Gadis itu paham betul harus bagaimana cara mencari perhatian teman-temannya.
Reina sebenarnya muak berada di sekolah yang menurutnya aneh ini, seolah-olah mereka semua harus setara.
Namun ia tak punya pilihan, ayahnya sudah memasukkannya ke sana dan mereka memang tak ada yang tahu dengan latar belakang keluarganya.
"Hei, boleh aku duduk di sini?" sapa Reina pada gadis yang sejak tadi terlihat melamun.
Benar saja gadis bergaun hitam itu tersentak kaget. Setelah menyadari ada yang bicara dengannya, dia tersenyum kikuk.
"Kamu ngga duduk dengan teman-temanmu?" tanya Maira sembari menatap kursi yang berada di beberapa barisan di depannya.
"Penuh." Singkat Reina memberi jawaban.
Gadis bernama Maira itu lantas menggeser duduknya memberi ruang pada Reina agar bisa duduk bersama.
Kini Reina benar-benar memperhatikan penampilan gadis itu.
Dulu memang ia tak tahu berapa mahal sebuah pakaian dan aksesoris yang melekat di tubuh seseorang. Namun setelah kembali dari masa depan, Reina jelas tahu jika gaun yang di kenakan Maira bukanlah gaun murahan yang bisa di beli di toko.
Gaun itu jelas sentuhan ahli desainer meski terlihat sederhana. Jika gadis itu bertemu dengan para sosialita, mereka akan tahu yang melekat pada gadis itu bukanlah pakaian sembarangan.
Siapa Maira sebenarnya? Apa dia benar-benar orang kaya?
Menilik dari ingatan masa lalunya, Reina tak terlalu ingat dengan gadis itu, sebab tak benyak interaksinya dengan Maira.
Reina hanya ingat, jika gadis itu pintar dan penampilannya juga sederhana. Mungkin gadis itu bisa masuk ke sekolah bergengsi ini karena beasiswa.
Siswa penerima beasiswa juga menjadi siswa yang paling di benci di sekolahnya ini, karena di anggap siswa miskin yang mencemari nama sekolah mereka yang elit.
"Kamu akan meneruskan kuliah di mana?" tanya Reina memecah keheningan di antara mereka.
Lagi-lagi Maira tersentak dengan ucapan Reina. Reina bahkan merekahkan senyumnya yang geli melihat keheranan pada tatapan Maira.
Ia sadar, mungkin dirinya juga sama menyebalkan dengan para siswa di sekolah mereka menurut Maira.
"Ah, aku akan kuliah di universitas Mahakarya," jawabnya singkat.
"Senangnya. Aku yakin mereka akan senang menerima gadis cerdas sepertimu."
Mata Maira menyipit, "kamu salah minum obat?" tanyanya sarkas.
Tawa Reina pecah, gadis itu benar-benar tak menutupi keheranannya.
Karena sikapnya itu dirinya menjadi bahan tontonan para siswa. Terlebih lagi kedua sahabat serta kekasihnya yang menatapnya heran.
"Astaga kau ini suka sekali menjadi pusat perhatian!" maki Maira lagi.
Grace dan Elyana masih menatapnya. Sorot mata mereka terlihat tak suka dengan sikap Reina. Kini ia tahu cara membalas sahabatnya.
Reina mengabaikan mereka dan kembali menatap Maira.
"Andai aku bisa kuliah juga—" lirihnya.
"Kau tidak kuliah? Lalu mau apa?" tanya Maira penasaran.
Meski sikapnya masih terlihat waspada, tapi Reina senang gadis itu mau menimpali ucapannya.
Toh mereka akan lulus, jadi tak akan mungkin dirinya menjadi bahan bulian di luar sekolah kan?
"Entah, bekerja mungkin. Tapi aku tak tahu akan berkerja di mana," lirihnya.
"Kau mau bekerja?"
Reina mengangguk antusias, ini salah satu hal yang ia pikirkan, seingatnya setelah pesta kelulusan ini dirinya di paksa untuk menikah dengan Edwin.
"Kamu tahu ada pekerjaan untukku?"
Kini giliran Maira yang tergelak, meski tak sekeras dirinya dan membuat mereka jadi tontonan, Reina tahu tatapan gadis itu tengah mencibirnya.
Reina hanya terdiam. Tawa Maira akhirnya terhenti karena melihat kesungguhan gadis di sebelahnya.
"Kau serius?"
"Tentu saja!" balas Reina tegas.
Maira mengalihkan pandangannya dan terlihat menghembuskan napas berat. Tak lama gadis itu mengeluarkan sesuatu dari tas yang seketika itu juga membuat mata Reina terbelalak.
Tas itu mungkin belum menjadi tren di masa ini, tapi yakinlah, tas itu akan menjadi brand mewah incaran para kaum sosialita di masa depan.
Maira justru telah memiliki tas yang ia tak tahu berapa harganya di jaman ini.
"Datanglah ke sini, aku bekerja di sana juga, yang aku tahu bosku sedang mencari karyawan, siapa tahu kamu keterima."
Mata Reina berbinar, masa depannya akan berubah, pikirnya senang.
.
.
.
Lanjut