Di tengah hujan yang deras, Jane Rydell, melihat seorang pria terkapar, di pinggir jalan penuh dengan luka.
Dengan tanpa ragu, Jane menolong pria itu, karena rasa pedulinya terhadap seseorang yang teraniaya, begitu tinggi.
Hendrik Fernandez, ternyata seorang pria yang dingin dan kaku, yang tidak tahu caranya untuk bersikap ramah.
Membuat Jane, gadis berusia dua puluh tiga tahun itu, dengan sabar menunjukkan perhatiannya, untuk mengajarkan pada pria dingin itu, bagaimana caranya mencintai dan di cintai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KGDan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24.
"Ku katakan sekali lagi, minggir!" kata Hendrik dengan datar, dan penuh tekanan yang dalam, menatap dingin sepupu perempuannya, yang menghalangi langkahnya.
"Kalau aku tidak mau? kenapa?" ujar perempuan itu tajam, dengan tatapan mata mendelik.
Melihat sepupunya itu tidak mau menyingkir, Hendrik melangkah tanpa sungkan lagi, dan menyenggol bahu perempuan itu dengan kasar.
"Sialan kau! tidak punya sopan santun! dasar sampah!!" teriak wanita itu dengan kencang, karena Hendrik dengan berani menabraknya.
"Hendrik! berhenti kau!!" teriak Pamannya dengan kencang, melihat keberanian Hendrik menindas putrinya.
Jane menarik tangannya dari genggaman tangan Hendrik, membuat Hendrik tertegun memandang Jane melepaskan tangannya.
Perasaan Hendrik jadi gelisah, melihat wajah datar Jane yang tidak seperti biasanya, dan ia merasa provokasi keluarga Pamannya, telah membuat Jane tidak menyukainya.
Jane berbalik, dan melangkah dengan cepat menuju sepupu perempuan Hendrik.
Plakk!
Satu tamparan melayang ke wajah wanita itu, sampai oleng ke samping, saking kuatnya tamparan tersebut.
Hendrik membeku di tempatnya, ternyata Jane membalas perlakuan sepupunya itu untuknya.
"Kau yang tidak punya sopan santun! terlalu kasar bicara!" ujar Jane dengan mata melotot pada wanita itu.
"A.. apa yang anda lakukan!" mata sepupu Hendrik terbelalak memandang Jane terkejut.
Sementara Paman, Tante dan sepupu lelaki Hendrik, Wilson, juga ikut terkejut melihat keberanian Jane.
"Kalian sungguh berlidah tajam, memangnya suamiku bukan keluarga kalian, begitu ketusnya kalian menghina dan memprovokasi nya!!" nada suara Jane tinggi, memandang satu per satu keluarga Paman Hendrik tersebut.
Semua membeku di tempatnya memandang Jane, ini baru pertama kali ada seseorang yang membela Hendrik.
Sedari dulu, tidak pernah ada yang perduli, dengan amarah mereka menindas Hendrik di depan siapa saja.
Mereka terdiam di tempatnya masing-masing, karena tidak berani untuk menindas Jane, seperti mereka menindas Hendrik.
Jane adalah property untuk mendapatkan harta warisan, yang ditulis Kakek Hendrik, Tuan Fernandez, dalam surat perjanjian pernikahan, yang tidak di ketahui Jane.
Begitu juga dengan Hendrik, tidak mengetahui akan surat lainnya, yang terpisah dari surat perjanjian pernikahan, yang di sembunyikan keluarga Pamannya tersebut.
Karena itu keluarga Paman Hendrik, berupaya untuk mendapatkan simpati Jane, agar tidak sampai menyukai Hendrik.
Tapi sekarang, mereka sepertinya salah menilai akan sikap Jane, yang tidak menyukai cara mereka menindas Hendrik.
"Keluarga macam apa kalian, sungguh miris! apa kalian tidak melihat, sosok yang kalian tindas sekarang adalah pria dewasa, bukan anak kecil lagi seperti dulu kalian tindas, ia sekarang bisa saja membalas kalian lebih kejam, tapi dia tidak melakukannya! siapa yang sebenarnya sampah di sini, dasar aneh!" kata Jane dengan nada yang begitu kesal, dengan amarah yang menggebu.
Setelah Jane selesai bicara, ia pun berbalik, dan kembali mendekat pada Hendrik, yang berdiri diam memandang nya tidak percaya.
"Ayo!" Jane lalu meraih tangan Hendrik.
Dengan cepat Hendrik menggenggam tangan Jane, dan membawanya pergi dari sana, menuju kamar mereka, meninggalkan keluarga Pamannya, yang masih terdiam di tempatnya.
Perasaan Hendrik campur aduk, ia begitu senang, sekarang ada seseorang yang perduli padanya, ia merasa bermimpi, dan ia tidak ingin bangun dari mimpi ini.
Dengan cepat Hendrik menutup pintu kamar, setelah mereka masuk ke dalam kamar, dan melepaskan tangan Jane dari genggamannya.
"Kenapa kau diam saja ditindas mereka?" tanya Jane pelan, memandang Hendrik yang tengah memandangnya juga.
"Aku sudah terbiasa..!" jawab Hendrik dengan suara berat.
"Sampai kapan?" tanya Jane mengerutkan keningnya.
"Aku tidak tahu" Hendrik menggeleng lemah.
Jane mendekati Hendrik, berdiri tepat di depan Hendrik, meraih tangan Hendrik yang besar.
"Bisakah kau tidak membiarkan mereka menindasmu lagi? aku tidak suka!" Jane menatap Hendrik dengan lekat.
Deg!
Dada Hendrik tiba-tiba berdebar, mendengar perkataan Jane, membuat pendengarannya seperti bermasalah.
Mata Hendrik berkedip menatap mata bening Jane, yang begitu lekat menatapnya, ia tidak bisa berkata-kata.
"Apakah kau dengar?" tanya Jane lembut.
"I.. iya, aku dengar" Hendrik mengangguk.
"Kau tahu, aku juga mengalami penindasan di keluarga Papaku, jadi aku tahu bagaimana rasanya di tindas, dan di hina, sungguh tidak menyenangkan! jadi mari kita bersama-sama, menghadapi orang-orang yang mencoba memprovokasi kita, ya?" Jane semakin erat menggenggam tangan Hendrik.
"I.. iya, kau benar, mari kita saling memperhatikan!" jawab Hendrik pelan, ia merasakan dadanya semakin berdebar.
Jane tersenyum, mendengar jawaban Hendrik yang malu-malu, ia pun menghamburkan tubuhnya ke dalam pelukan Hendrik.
Jane memeluk tubuh kekar Hendrik dengan erat, dan membenamkan wajahnya ke dada bidang Hendrik.
Bersambung.....