"Tlembuk" kisah tentang Lily, seorang perempuan muda yang bekerja di pasar malam Kedung Mulyo. Di tengah kesepian dan kesulitan hidup setelah kehilangan ayah dan merawat ibunya yang sakit, Lily menjalani hari-harinya dengan penuh harapan dan keputusasaan. Dalam pertemuannya dengan Rojali, seorang pelanggan setia, ia berbagi cerita tentang kehidupannya yang sulit, berjuang mencari cahaya di balik lorong gelap kehidupannya. Dengan latar belakang pasar malam yang ramai, "Tlembuk" mengeksplorasi tema perjuangan, harapan, dan pencarian jati diri di tengah tekanan hidup yang menghimpit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33: Harapan di Balik Label
Di sudut kota yang ramai, Lily berdiri menanti di depan kosannya. Di balik senyumnya yang menawan, tersembunyi kenyataan pahit. Meski banyak lelaki yang mengagumi dan menyukainya, Lily hanyalah seorang tlembuk, terjebak dalam rutinitas yang sering kali membuatnya merasa kosong.
Dia mengenakan rok mini dan kaos ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Setiap kali seorang lelaki melintas, dia berusaha menarik perhatian dengan senyuman manis dan gerakan genit. Namun, di dalam hati, Lily merindukan sesuatu yang lebih—sesuatu yang bukan hanya fisik.
“Kenapa ya, aku masih merasa sepi?” pikirnya sambil mengamati kerumunan orang. “Kapan aku bisa merasakan cinta yang tulus?”
Kehidupan sebagai tlembuk memang memberi Lily banyak pengalaman, tetapi itu semua terasa dangkal. Uang yang didapat dari pelanggan sering kali hanya mengisi celah-celah kehidupannya, bukan memberinya kebahagiaan sejati. Ia tahu, di balik semua kemewahan yang terlihat, ada harga yang harus dibayar.
Saat dia menunggu, ponselnya bergetar. Itu pesan dari Afik, yang mengingatkannya tentang rencana mereka untuk bertemu. Jantungnya berdegup kencang. “Semoga kali ini lebih dari sekadar kencan biasa,” batinnya.
Namun, dia juga merasa cemas. Afik memiliki istri, dan meski dia tahu apa yang dia lakukan, dia tidak ingin menyakiti siapapun. “Apakah aku sudah melangkah terlalu jauh?” tanyanya pada diri sendiri.
Ketika Afik akhirnya muncul, wajahnya tampak ceria. “Hai, Lily! Senang bisa bertemu,” sapanya, senyumnya membuat Lily merasa lebih nyaman.
“Hai, Afik! Senang kamu datang,” jawab Lily, berusaha menampilkan senyum terbaiknya. “Kita mau ke mana?”
“Aku sudah reservasi tempat karaoke favorit kita. Mungkin kita bisa bernyanyi dan bersenang-senang malam ini?” tawar Afik.
Malam itu mereka menghabiskan waktu di karaoke, menyanyikan lagu-lagu yang penuh kenangan. Setiap bait yang dinyanyikan membuat Lily merasa hidup, seolah semua beban di pundaknya menghilang untuk sementara. Namun, saat berbalik dan melihat Afik, dia tahu realitasnya akan segera kembali.
“Afik,” Lily memulai, suaranya lembut. “Kamu tahu kan, kita ini hanya bermain-main. Kita tidak bisa berharap lebih, kan?”
Afik menatapnya, seolah mempertimbangkan setiap kata. “Aku tahu, Lily. Tapi kadang aku merasa kita bisa lebih dari ini. Kamu bukan hanya seorang tlembuk bagi aku.”
Kata-kata itu membuat Lily terkejut. Dia ingin percaya, tetapi suara di dalam hatinya berbisik bahwa ini mungkin hanya ilusi. “Afik, aku…”
Sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, Afik meraih tangannya dan menggenggamnya erat. “Kamu berharga, Lily. Jangan biarkan siapa pun membuatmu merasa sebaliknya.”
Air mata menggenang di mata Lily. Dia merasa terharu mendengar kata-kata yang tulus dari Afik. Mungkin, ada harapan di balik semua ini. Mungkin, dia bisa merasakan cinta sejati, bukan hanya sekadar transaksi fisik.
“Aku tidak ingin berbohong padamu, Afik. Aku hanya seorang tlembuk. Tapi aku ingin merasakan lebih dari itu,” ungkap Lily, suaranya hampir berbisik.
Afik menarik napas dalam-dalam, berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Kita bisa mencoba, Lily. Kita bisa jalani ini dengan cara yang lebih baik.”
Malam itu berakhir dengan tawa dan cerita. Namun, di dalam hati Lily, ada rasa campur aduk antara harapan dan ketakutan. Apakah hubungan ini akan bertahan? Apakah dia benar-benar bisa melupakan label yang melekat padanya?
Ketika mereka berpisah, Lily mengawasi Afik menjauh, berpikir tentang segala kemungkinan yang ada di depan. Dia tahu, untuk pertama kalinya, dia merasa lebih dari sekadar seorang tlembuk. Dia merasa seperti seorang wanita yang layak dicintai.
Di dalam rumah, Sijum sangat murka karena suaminya, Afik, tak kunjung pulang. Dia telah menunggu dengan cemas, dan setiap detik yang berlalu membuat emosinya semakin meningkat.
“Ke mana sih dia? Sudah larut begini masih saja belum pulang,” keluhnya, sambil memeriksa jam di dinding. Pikiran negatif mulai menggerogoti hatinya. “Jangan-jangan dia pergi bersama wanita lain lagi!”
Setiap kali Afik terlambat pulang, ketidakpercayaan dan rasa cemburu Sijum selalu muncul. Sudah beberapa kali dia melihat pesan-pesan mencurigakan di ponsel suaminya, tetapi dia berusaha menahan diri untuk tidak mengonfrontasi Afik, walaupun rasa curiganya kian menguat.
“Bisa-bisa dia lagi nongkrong sama tlembuk itu,” pikirnya, meremas ponsel di tangannya. Sijum sudah mendengar tentang Lily, seorang tlembuk yang dikenal di kawasan itu. Setiap kali mendengar nama itu, hatinya bergetar tidak nyaman.
Saat dia merenung dalam kemarahan, ponselnya bergetar. Sijum melihat ada pesan masuk dari Afik. Dia membuka pesan tersebut dengan cepat, berharap menemukan penjelasan.
“Dek, maaf aku telat. Ada urusan mendesak,” tulis Afik.
“Urusan mendesak? Urusan apa yang membuatmu pulang larut begini?” balas Sijum dengan nada marah.
Tidak lama kemudian, pesan dari Afik kembali masuk. “Aku akan pulang segera. Tunggu sebentar ya.”
“Sebentar? Berapa lama lagi?!” Sijum merasa hatinya semakin terbakar. Dia tidak bisa menahan amarahnya.
Kemudian dia memutuskan untuk berdiri dan menunggu di pintu. Begitu mendengar suara motor Afik mendekat, jantungnya berdegup kencang. “Ini saatnya aku menuntut penjelasan,” pikirnya dengan tegas.
Begitu Afik memasuki rumah, Sijum langsung menghadangnya. “Mas! Dari mana saja? Kenapa pulang larut banget? Aku di sini khawatir! Mikir!!!”
Afik terkejut melihat wajah marah istrinya. “Dek, maaf. Aku ada kerjaan. Sudah bilang akan segera pulang,” ujarnya, berusaha menenangkan Sijum.
“Kerjaan? Kerja apa yang membuatmu tidak pulang? Kenapa bajumu bau sekali tlembuk?!” Sijum mendesak, semakin marah.
Sijum tidak bisa lagi menahan emosinya. “Jangan-jangan kamu lagi-lagi mengkhianatiku! Apa kamu sudah selingkuh dengan si Lily itu?!”
“Lily? Siapa yang kamu maksud?” Afik tampak bingung dan sedikit defensif.
“Jangan pura-pura tidak tahu, Mas! Bau badanmu, aroma yang nempel, semua itu mencurigakan!” Sijum melotot, wajahnya memerah karena emosi yang membara.
Afik berusaha menjelaskan, tetapi Sijum tidak mau mendengar. “Sudah cukup! Aku muak dengan semua kebohongan ini! Kamu bisa saja pergi kapan pun tanpa pamit, tapi aku di sini, di rumah, menunggu dengan hati penuh keraguan!”
Sijum merasa matanya mulai berkaca-kaca, tetapi dia berusaha keras untuk tidak menangis di hadapan Afik. “Kamu harus memilih, Afik. Antara aku atau dia!”
Afik terdiam, merasa terpojok oleh situasi. Dia ingin menjelaskan bahwa tidak ada yang terjadi, bahwa dia masih mencintai Sijum, tetapi lidahnya terasa kelu. Sijum mengambil langkah mundur, matanya berkilau penuh air mata, dan Afik tahu dia harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki keadaan ini.
Afik berdiri tertegun, hatinya bergejolak antara rasa bersalah dan keinginan untuk membela diri. Dia tahu betapa keras kepala Sijum jika sudah emosi.
“Pokoknya jangan sampai cerai,” gerutu Afik dalam hati, berharap Sijum bisa mengerti dan memberi kesempatan untuk menjelaskan.
“Mas, aku tidak mau hidup dalam kebohongan. Aku butuh kepastian!” Sijum bersikeras, suaranya mulai bergetar. “Kalau kamu terus begini, aku tidak tahu sampai kapan aku bisa bertahan.”
Afik merasakan tekanan yang semakin besar. “Dek, dengar aku,” katanya, berusaha menjaga ketenangan. “Aku berjanji, tidak ada yang terjadi antara aku dan Lily. Itu hanya urusan pekerjaan, aku swear! Kamu adalah satu-satunya yang aku cintai.”
Sijum memandang Afik tajam. “Benarkah? Kalau begitu, kenapa aku masih mencium aroma itu di bajumu? Kenapa kamu tidak segera pulang saat tahu aku khawatir?”
Afik terdiam sejenak, menyadari betapa sulitnya meyakinkan Sijum ketika emosinya sudah memuncak. “Aku… aku minta maaf. Aku akan berusaha lebih baik. Tolong, beri aku satu kesempatan lagi.”
Sijum menghela napas, suasana tegang mengisi ruangan. “Aku ingin percaya padamu, Mas, tetapi kamu harus membuktikannya. Tidak ada lagi rahasia, tidak ada lagi kebohongan. Kita harus saling terbuka.”
Afik mengangguk, hatinya penuh harapan. “Aku akan lakukan itu. Mulai dari sekarang, kamu bisa memeriksa ponselku, periksa apapun yang kamu mau. Tidak ada lagi yang perlu disembunyikan.”
“Kalau begitu, janjikan tidak akan pernah berhubungan lagi dengan Lily,” Sijum menatap dalam-dalam.
“Janjiku, Dek. Dia tidak ada artinya dibandingkan kamu,” Afik menjawab dengan tulus.
Sijum menahan napas, masih meragu. “Oke, aku akan memberimu kesempatan. Tapi ingat, ini adalah kesempatan terakhir.”
Afik tersenyum, merasa beban di pundaknya sedikit berkurang. Dia melangkah maju dan memeluk Sijum dengan lembut. “Terima kasih, Dek. Aku akan berusaha untuk tidak mengecewakanmu.”
Mereka berdua berdiri dalam pelukan, mencoba menemukan kembali kehangatan di antara mereka setelah ketegangan yang menguras emosi. Harapan baru mulai tumbuh di antara label-label yang melekat pada diri mereka.
Setelah suasana mereda, Afik merasa dorongan untuk mendekati Sijum semakin kuat. Dia merindukan momen-momen intim yang biasa mereka bagi, saat kedekatan fisik menjadi pengikat cinta di antara mereka. Namun, saat dia mencoba mendekati Sijum, ternyata Sijum masih terjebak dalam perasaannya yang terluka.
“Dek, maukah kamu…” Afik mulai, mencoba menyalakan kembali api kasih sayang di antara mereka.
Sijum menatapnya dengan mata yang masih menyimpan rasa sakit. “Mas, aku… aku masih belum bisa. Hatiku masih terguncang.” Suaranya bergetar, mengungkapkan keraguan dan ketidakpastian.
“Lho, kenapa? Kita sudah berbicara, kan? Aku berjanji akan berubah, dan tidak akan pernah menyakitimu lagi,” Afik berusaha meyakinkan Sijum, mendekat dan mengelus lembut pipinya.
“Janji itu mudah diucapkan, Mas,” Sijum menjawab, menghindari tatapan Afik. “Tapi hati ini tidak bisa begitu saja sembuh. Terlalu banyak luka yang kamu buat.”
Afik merasakan kerinduan yang mendalam. “Tapi kita sudah berusaha untuk membangun hubungan ini, Dek. Aku merindukanmu, merindukan kita yang dulu.”
Sijum menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan emosinya. “Aku juga merindukan kita yang dulu. Tapi saat ini, aku tidak bisa hanya mengandalkan kerinduan itu. Aku butuh waktu.”
“Berapa lama lagi?” tanya Afik putus asa. “Aku ingin kamu tahu betapa berartinya kamu bagiku.”
“Setidaknya sampai aku bisa merasakan kepercayaan lagi,” Sijum menjawab tegas. “Kita butuh waktu untuk menata ulang semua ini. Tidak ada jalan pintas, Mas.”
Afik terdiam, menyadari bahwa dia harus menghormati perasaan Sijum. “Oke, aku akan menunggu. Aku akan sabar, Dek,” katanya lembut, meskipun hatinya terasa berat.
“Terima kasih, Mas. Aku tahu ini tidak mudah,” Sijum menjawab, matanya mulai lembut kembali. “Mari kita perbaiki semuanya bersama-sama, bukan hanya sekadar kembali seperti dulu.”
Afik merasa lega mendengar Sijum bersedia bekerja sama. Meskipun mereka belum bisa kembali ke kedekatan fisik seperti sebelumnya, harapan mulai tumbuh di antara mereka. Mereka mulai berpelukan lagi, menyiratkan keinginan untuk saling mendukung dan memahami satu sama lain.
“Jadi, kita mulai dari mana?” tanya Afik, mencoba menggali lebih dalam.
“Dari komunikasi, Mas. Kita harus bisa terbuka satu sama lain tentang perasaan kita. Dan lebih dari itu, kita harus belajar untuk saling percaya lagi,” Sijum menjawab, dengan nada lebih lembut.
“Baiklah, aku setuju. Kita akan melakukannya bersama,” kata Afik, mengulurkan tangannya untuk meraih tangan Sijum. Mereka saling menggenggam, seolah saling memberi kekuatan untuk menatap masa depan.
Malam itu, meskipun tanpa keintiman yang diinginkan Afik, mereka menemukan harapan baru di balik label-label yang melekat di kehidupan mereka. Mereka berdua tahu bahwa jalan ke depan tidak akan mudah, tetapi mereka bertekad untuk menghadapi semua itu bersama.
Tiba-tiba, telepon Afik bergetar, mengagetkannya dari momen intim bersama Sijum. Dia melihat layar ponselnya dan tertegun. “Lily?” gumamnya, merasakan jantungnya berdegup kencang. Panggilan itu seakan membawa badai baru dalam hidupnya.
“Siapa, Mas?” tanya Sijum, menyadari raut wajah Afik yang berubah. Ada keraguan dan kekhawatiran dalam suaranya.
“Uh… itu… teman lama,” Afik berusaha bersikap tenang, meski dalam hati dia sudah merasakan getaran ketegangan.
“Teman lama? Teman perempuan?” Sijum mengerutkan dahi, tatapan tajamnya mengintimidasi Afik.
“Ya, tapi…” Afik tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Akhirnya, dia memutuskan untuk menjawab telepon itu.
“Lily?” Ia menjawab sambil mengangkat telepon. “Ada apa?”
Suara Lily di seberang terasa ceria, tetapi ada nada nakal yang khas. “Afik, hai! Kangen banget, kamu udah lama nggak hubungi aku. Gimana, mau ketemu?”
Afik melihat ke arah Sijum yang tampak tidak senang. “Eh, aku… lagi ada urusan,” katanya, berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Tapi aku udah rindu sama kamu, Mas. Kita kan bisa seru-seruan lagi! Yang kemarin itu, kan menyenangkan,” Lily menggoda.
“Lily, aku—” Afik belum sempat melanjutkan, Sijum tiba-tiba merebut ponselnya dan menempelkan telinga ke speaker.
“Siapa ini?!” Sijum menuntut, suaranya penuh amarah.
“Eh, Sijum! Ini aku, Lily!” suara Lily terdengar ceria, meski Sijum jelas tidak senang.
“Kenapa kamu masih menelpon suamiku?!” Sijum membentak, mengabaikan kepanikan di suara Lily.
Afik merasa terjepit. “Dek, tenang dulu. Ini hanya obrolan biasa…”
“Obrolan biasa? Dari nada suaramu, aku bisa merasakan ada yang tidak biasa, Afik!” Sijum melotot, menggeram penuh emosi.
“Maaf, Sijum. Aku tidak tahu kamu di situ,” kata Lily, masih dengan nada santai. “Tapi, Afik, kapan kita bisa bertemu? Aku benar-benar ingin ketemu.”
“Tidak ada ketemuan! Ini sudah berlebihan!” Sijum berteriak, mengacungkan ponsel seolah-olah siap melemparkannya.
Afik menghela napas berat, “Lily, aku tidak bisa. Ini bukan waktu yang tepat.”
“Kenapa? Kita kan bisa berbicara tentang banyak hal, Mas. Biar Sijum tidak khawatir,” Lily kembali menggoda.
“Gak usah ngomong kayak gitu!” Sijum memotong. “Afik, tutup telepon ini sekarang juga!”
Afik melihat Sijum yang sudah marah besar. “Lily, kita… kita ngomong lain kali ya?” Dia mengakhiri percakapan, menekan tombol untuk mematikan telepon.
“Mas! Kenapa kamu masih berhubungan sama dia?!” Sijum menuntut, marah dan kecewa. “Ini semua gara-gara kamu!”
“Dek, tenang. Aku akan menjelaskan semuanya,” Afik berkata, berusaha menenangkan Sijum yang semakin memuncak emosinya.
“Menjelaskan apa? Bahwa kamu masih berhubungan dengan mantan? Bahwa kamu masih tertarik padanya?!” suara Sijum nyaring dan tajam.
Afik merasa bersalah. “Bukan gitu, Sijum. Aku hanya ingin berusaha menjalin komunikasi yang baik dengan semua orang.”
“Komunikasi? Atau justru mengundang masalah baru?” Sijum menantang, matanya menyala.
Afik tahu dia harus mengambil sikap tegas dan bijak. “Kita butuh bicara, Sijum. Jangan biarkan perasaan ini menguasai kita. Kita bisa menyelesaikan ini bersama,” ujarnya lembut, berharap bisa meredakan suasana.
Sijum terdiam sejenak, meredakan amarahnya, namun wajahnya masih menunjukkan ketidakpuasan. “Baiklah, tapi jika kamu melakukan ini lagi, aku tidak akan segan-segan untuk pergi,” ancamnya.
“Tidak, Dek. Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi,” Afik berjanji, berusaha meraih kepercayaan Sijum kembali.
Mereka berdua saling menatap, mencoba menemukan kembali harapan di balik label yang melekat, meskipun badai emosional masih mengintai di antara mereka.
Gawat, kini hubungan antara Afik dan Sijum di ujung tanduk perceraian. Suasana di rumah semakin tegang, setiap kali mereka saling berpapasan, udara terasa berat. Afik berusaha menjelaskan, namun Sijum tampak tidak ingin mendengarkan.
“Afik, aku sudah bilang, aku tidak mau berurusan dengan wanita seperti Lily!” Sijum menegaskan, suaranya dipenuhi amarah. “Kamu seharusnya tahu betapa aku membenci segala hal yang berhubungan dengan dia!”
“Dek, ini bukan hanya tentang dia. Ini tentang kita,” Afik menjawab, berusaha menahan nada suaranya agar tidak terdengar putus asa. “Aku tidak ingin kehilangan kamu.”
Sijum menggelengkan kepala, “Tapi kamu yang tidak bisa menjauh darinya! Setiap kali aku melihatmu dengan ponsel, aku merasa ada yang tidak beres.”
Afik merasakan betapa hati istrinya terluka. Dia tahu Sijum adalah wanita yang kuat, namun di balik ketegasan itu, ada rasa cemas dan takut kehilangan. “Coba ingat kembali, semua kenangan indah kita. Kita sudah melalui banyak hal bersama,” ujarnya, berharap bisa menyentuh hatinya.
“Tapi kamu tidak menghargai aku!” Sijum terisak, air matanya menetes. “Satu hal yang kuminta, dan kamu malah kembali terjebak dalam lingkaran itu.”
Afik merasa remuk mendengar kata-kata Sijum. “Aku berjanji, tidak akan ada lagi hal seperti ini. Aku akan berusaha lebih baik,” dia meyakinkan dengan tulus. “Ayo kita mulai dari awal, coba untuk saling percaya.”
“Bagaimana aku bisa percaya jika kamu terus menjalin hubungan dengan wanita seperti dia?” Sijum masih skeptis, namun nada suaranya mulai melunak.
“Aku tidak mau terus seperti ini. Kita bisa mencari solusi, Sijum,” Afik berkata, perlahan mendekatinya. “Aku mencintaimu, lebih dari siapapun. Kamu adalah segalanya bagiku.”
Sijum menatap suaminya dalam-dalam, ada keraguan di matanya, tetapi juga ada harapan. “Afik… jika kamu benar-benar mencintaiku, buktikan. Berhentilah berhubungan dengan Lily, dan jadikan aku satu-satunya wanita dalam hidupmu.”
Afik mengangguk dengan tegas. “Baiklah, aku berjanji. Tidak ada lagi Lily, hanya ada kamu. Mari kita buktikan pada diri kita sendiri bahwa kita bisa melalui ini.”
“Aku berharap kamu tidak mengingkari janjimu lagi,” Sijum berbisik, mencoba menahan air matanya.
Afik menarik Sijum ke dalam pelukannya, memberikan kehangatan yang sangat dibutuhkan. Momen itu seolah mengingatkan mereka pada perasaan cinta yang pernah menyatukan hati mereka. “Kita akan melewati ini bersama. Tidak ada yang bisa memisahkan kita,” Afik berjanji, dan Sijum merasakan sedikit kelegaan di hatinya.
Meskipun jalan mereka masih berliku, harapan di balik label pernikahan mulai terlihat lagi. Keduanya sadar bahwa hubungan yang baik membutuhkan komitmen dan saling pengertian. Dengan tekad yang baru, mereka berusaha membangun kembali fondasi cinta yang sempat goyah.
Sementara itu, di luar sana, hidup terus berjalan. Lily yang penuh pesona tetap ada, namun bagi Afik, pilihan sudah dibuat. Dia harus memilih cinta yang nyata dan berjuang untuk masa depan yang lebih baik bersama Sijum, meski tantangan masih menghadang di depan.