Arga, lulusan baru akademi kepolisian, penuh semangat untuk membela kebenaran dan memberantas kejahatan. Namun, idealismenya langsung diuji ketika ia mendapati dunia kepolisian tak sebersih bayangannya. Mulai dari senior yang lihai menerima amplop tebal hingga kasus besar yang ditutupi dengan trik licik, Arga mulai mempertanyakan: apakah dia berada di sisi yang benar?
Dalam sebuah penyelidikan kasus pembunuhan yang melibatkan anak pejabat, Arga memergoki skandal besar yang membuatnya muak. Apalagi saat senior yang dia hormati dituduh menerima suap, dan dipecat, dan Arga ditugaskan sebagai polisi lalu lintas, karena kesalahan berkelahi dengan atasannya.
Beruntung, dia bertemu dua sekutu tak terduga: Bagong, mantan preman yang kini bertobat, dan Manda, mantan reporter kriminal yang tajam lidahnya tapi tulus hatinya. Bersama mereka, Arga melawan korupsi, membongkar kejahatan, dan... mencoba tetap hidup sambil menghadapi deretan ancaman dari para "bos besar".
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 : Jungkir Balik Dunia Gunawan
Pengacara Ivan melanjutkan kata-katanya dengan nada penuh keyakinan, tampak seperti seseorang yang sudah terlatih dalam berurusan dengan celah-celah hukum yang bisa dimanfaatkan. “Ivan, jika kamu dinyatakan tidak waras, kamu hanya perlu dirawat di rumah sakit jiwa selama beberapa waktu. Setelah itu, ayahmu bisa dengan mudah mengirim kamu ke luar negeri. Semua ini akan berakhir dengan kamu hidup bebas tanpa menjalani hukuman penjara.”
Ivan mendengarkan dengan seksama, meskipun dalam hatinya ada sedikit keraguan. Pengacara itu kembali menambahkan dengan nada yang sangat meyakinkan, seolah sudah menyiapkan segala cara. “Kita akan membayar dokter untuk memalsukan hasil penilaian kejiwaan kamu. Mereka akan menyatakan bahwa kamu tidak stabil secara mental, jadi tidak ada yang bisa mempersalahkanmu lagi. Lagipula, ini semua demi kepentingan kamu, Ivan.”
Ivan yang semula tampak bingung, kini mulai tergerak dengan tawaran yang terlihat sangat menggiurkan. Di luar sana, ada kehidupan yang menunggu untuk dijalani, dan dia bisa kabur dari segala tanggung jawab. Bahkan setelah semua yang terjadi pada Jessica, cara ini tampak seperti jalan keluar yang mudah—tanpa ada rasa takut di penjara, tanpa harus menghadap ke pengadilan yang bisa memenjarakannya.
Namun, di dalam hatinya, ada suara kecil yang berbisik. Bagaimana dengan Jessica? Apa yang akan terjadi pada dirinya? Tapi, suara itu semakin tertutup dengan janji kebebasan yang ditawarkan oleh pengacara tersebut.
Dengan suara yang lebih rendah, Ivan berkata, “Jadi, kamu yakin ini bisa berhasil? Aku bisa lolos begitu saja?”
Pengacara itu tersenyum tipis, penuh percaya diri. “Tentu saja. Dengan uang dan pengaruh yang dimiliki ayahmu, kita bisa mengatur semuanya. Kamu hanya perlu mengikuti proses ini dengan baik, dan dalam waktu singkat, kamu akan kembali hidup bebas.”
Ivan terdiam, merenung. Satu sisi dirinya merasa terperangkap dalam penyesalan, tetapi di sisi lain, kebebasan itu seperti cahaya yang semakin terang di depannya.
Suasana dalam ruangan itu kini terasa semakin suram. Ivan seolah menghadapi dua pilihan yang saling bertentangan—menanggung akibat dari perbuatannya, atau melarikan diri dari kenyataan dan terus hidup dengan rasa bersalah yang akan terus menghantuinya.
Dan di luar ruangan, dunia terus berjalan. Orang-orang menunggu jawaban, tapi mungkin Ivan sudah memilih jalannya.
...****************...
Sudah dua bulan sejak penyelidikan kasus Jessica dimulai, dan tim Gunawan hampir mencapai titik terang. Semua bukti telah terkumpul, dan berkas kasus kini hampir siap untuk diserahkan ke kejaksaan. Timnya bekerja keras tanpa henti, meski sering kali merasa lelah dan frustrasi. Kasus ini telah menuntut semua tenaga dan perhatian mereka.
Namun, pada pagi yang seharusnya penuh harapan, situasi tiba-tiba berubah drastis.
Serombongan orang dengan pakaian resmi tiba-tiba menggeledah kantor tim Gunawan. Mereka mengenakan jaket resmi dari Komisi Anti Korupsi dan Provos, dengan ekspresi serius di wajah mereka. Suasana yang semula tenang dan teratur berubah menjadi kacau.
"Kompol Gunawan Suseno, Anda ditangkap atas dugaan penyuapan!" kata salah satu dari mereka dengan suara tegas, sambil menunjukkan surat perintah penangkapan.
Semua anggota tim yang ada di ruangan itu terperangah. Gunawan yang duduk di mejanya, dengan wajah yang penuh keringat dan kelelahan, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. "Apa maksud kalian?" tanya Gunawan, berusaha tetap tenang meskipun jantungnya berdetak kencang.
Lalu, mereka menunjukkan bukti yang mengejutkan—sejumlah uang tunai yang tak diketahui asal-usulnya ditemukan di meja kerja Gunawan. Uang itu seperti muncul begitu saja, seolah dirancang untuk menjebaknya.
Arga yang melihat itu langsung berdiri, wajahnya memerah dengan amarah yang sudah dipendam selama berbulan-bulan. “Apa-apaan ini?!” teriak Arga, suaranya bergetar penuh emosi. “Pak Gunawan nggak mungkin terlibat! Ini pasti jebakan!”
Andika hanya tertawa kecil, dengan gerakan angkuh menyesap kopinya. “Jangan membela sesuatu yang sudah jelas salah, Arga,” katanya santai, penuh dengan nada meremehkan. “Gunawan, beserta kalian semua, sudah mempermalukan institusi ini. Dan sekarang, kalian harus menerima akibatnya.”
Kata-kata itu, seolah pukulan tak terlihat yang menghantam kepala Arga. Kepalan tangannya mulai bergetar, tapi ia tetap mencoba menahan diri. Matanya melirik ke arah Gunawan, yang berdiri diam di sudut ruangan. Gunawan menatapnya dengan pandangan tenang, seperti mencoba mengisyaratkan agar Arga tidak bertindak gegabah.
Namun, batas kesabaran Arga sudah habis. Ia melangkah maju, hanya beberapa langkah memisahkannya dari Andika. “Jangan bicara seolah-olah Anda tahu apa yang sebenarnya terjadi!” teriak Arga.
Andika mendongak, masih dengan senyum licik di wajahnya. “Buktinya ada di sana, Arga. Fakta sudah bicara,” katanya sambil menunjuk ke arah laporan di meja.
Tanpa berpikir panjang, Arga mengayunkan tinjunya, tepat mengenai rahang Andika. Suara pukulan itu bergema di ruangan, membuat semua orang yang ada di sana tertegun. Andika jatuh tersungkur dari kursinya, menatap Arga dengan mata terbelalak, antara kaget dan marah.
Dedi dan Rini ikut maju, berusaha menenangkan Arga, namun dia sudah tidak bisa lagi menahan amarahnya.
“Arga, hentikan!” Gunawan berteriak, maju untuk menarik anak buahnya ke belakang.
Ruangan berubah menjadi kacau. Beberapa petugas buru-buru membantu Andika berdiri, sementara yang lain menahan Arga yang masih bergelut dengan amarahnya. “Dia difitnah! Anda semua tahu ini salah!” teriak Arga, suaranya bergetar oleh emosi.
Andika, yang kini memegang rahangnya yang memar, berdiri dengan goyah. “Kau sudah melewati batas, Arga,” katanya dengan nada dingin. “Aku akan pastikan kau menerima akibatnya, dan Karena hal ini melibatkan kompol Gunawan, maka dengan terpaksa, kami akan menyelidiki ulang kasus Jessica ini dengan tim yang lebih baik!” katanya dengan nada mencemooh.
Kata-kata itu membuat seluruh tim Gunawan terdiam. Semua yang mereka perjuangkan, semua kerja keras mereka, seolah tiba-tiba runtuh begitu saja. Kepercayaan publik terhadap penyelidikan mereka mulai dipertanyakan, dan apa yang semula tampak seperti kemenangan, sekarang berubah menjadi kenyataan pahit.
Gunawan yang dibawa pergi dengan tangan diborgol hanya bisa menatap timnya dengan pandangan penuh penyesalan. “Jaga kasus ini, Arga. Jangan biarkan semuanya sia-sia,” katanya lirih sebelum akhirnya diangkut.
Arga, dengan mata yang memerah karena amarah dan kebingungannya, menatap Gunawan yang semakin jauh. “Kita akan selesaikan ini,” bisiknya, meskipun hatinya penuh kekhawatiran tentang masa depan mereka.
...****************...
Di ruang interogasi, suasana semakin menegangkan. Gunawan duduk tegak di kursinya, meskipun dalam hati ia merasakan gelombang kemarahan dan kebingungannya. Selama berhari-hari, ia disodori berbagai pertanyaan dari tim Provos dan KPK yang berusaha memaksanya mengaku. Setiap kali mereka mendesaknya, ia tetap tenang, menyangkal tuduhan yang diberikan. “Saya tidak bersalah,” katanya dengan suara mantap, matanya tajam menatap mereka yang terus berusaha memecahkannya.
Bahkan saat mereka menunjukkan berbagai bukti yang tak masuk akal—uang yang ditemukan di meja kerjanya—Gunawan tetap percaya pada dirinya sendiri. Itu semua hanyalah jebakan yang dibuat oleh Andika. Dia tahu betul bahwa Andika berusaha menjatuhkannya untuk mengalihkan perhatian dari kasus Jessica yang hampir selesai, dan memanfaatkan segala cara untuk mengalahkannya.
“Tolong, percayalah pada saya. Semua ini adalah konspirasi,” kata Gunawan, matanya penuh keteguhan, meskipun tubuhnya mulai lelah setelah berhari-hari diperiksa.
Namun, desakan demi desakan datang tanpa henti. Mereka mencoba segala cara untuk membuat Gunawan goyah, tapi dia tetap diam, seolah batu karang yang tak tergoyahkan oleh ombak. "Jika Anda tidak memberikan jawaban yang memadai, kami akan lebih jauh mengambil tindakan," kata salah satu petugas Provos dengan nada mengancam, namun Gunawan tak bergeming.
Setelah beberapa hari interogasi yang melelahkan dan penuh tekanan, keputusan akhirnya datang. Gunawan diputuskan diberhentikan secara tidak hormat dari kepolisian, sebuah keputusan yang pasti akan mengubah hidupnya selamanya. Dia merasa seperti tersandung, jatuh ke dalam jurang, namun ia tahu bahwa ini bukanlah akhir. Meskipun ia terjatuh, Gunawan tidak akan membiarkan dirinya hancur.
Sementara itu, timnya yang sudah bekerja keras selama ini harus menerima kenyataan pahit. Seiring keputusan itu, mereka diberitahukan bahwa kepemimpinan tim kini diambil alih oleh seorang kompol baru yang tidak dikenal. Para anggota tim Gunawan yang tersisa, termasuk Arga, hanya bisa menerima kenyataan ini dengan hati yang berat.
Arga, yang penuh amarah setelah melihat atasan yang sangat dihormati dan dipercaya dijatuhkan dengan begitu saja, merasa seolah dunia runtuh di sekelilingnya. Tapi hukum harus ditegakkan. Sebagai bentuk disiplin, Arga dijatuhi skorsing selama tiga bulan. Selain itu, ia harus menerima potongan gaji selama enam bulan sebagai bentuk hukuman tambahan. Dan setelah masa skorsing selesai, ia akan dipindahkan ke divisi lalu lintas.
Saat mendengar keputusan itu, Arga tidak bisa menahan emosinya. “Ini tidak adil!” teriaknya. “Kalian sudah menuduh orang yang tidak bersalah”. Semua yang telah mereka perjuangkan, semua kerja keras mereka, kini harus diterima dengan cara yang pahit.
Gunawan yang mendengar kabar ini dari dalam selnya hanya bisa menarik napas dalam-dalam. Bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi? Ia merasa seolah-olah dirinya sedang dihukum tanpa alasan yang jelas. Namun, ia tahu bahwa selama ini ia berjuang untuk keadilan. Bahkan jika sistem kepolisian telah mengkhianatinya, ia masih memiliki keyakinan bahwa kebenaran suatu saat akan terungkap.
Sebagai seorang yang terjatuh, Gunawan hanya bisa berharap bahwa perjuangannya untuk kasus Jessica tidak sia-sia.
...****************...