NovelToon NovelToon
TARGET OPERASI

TARGET OPERASI

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Mata-mata/Agen / Keluarga / Persahabatan / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Seraphine E

Arga, lulusan baru akademi kepolisian, penuh semangat untuk membela kebenaran dan memberantas kejahatan. Namun, idealismenya langsung diuji ketika ia mendapati dunia kepolisian tak sebersih bayangannya. Mulai dari senior yang lihai menerima amplop tebal hingga kasus besar yang ditutupi dengan trik licik, Arga mulai mempertanyakan: apakah dia berada di sisi yang benar?

Dalam sebuah penyelidikan kasus pembunuhan yang melibatkan anak pejabat, Arga memergoki skandal besar yang membuatnya muak. Apalagi saat senior yang dia hormati dituduh menerima suap, dan dipecat, dan Arga ditugaskan sebagai polisi lalu lintas, karena kesalahan berkelahi dengan atasannya.
Beruntung, dia bertemu dua sekutu tak terduga: Bagong, mantan preman yang kini bertobat, dan Manda, mantan reporter kriminal yang tajam lidahnya tapi tulus hatinya. Bersama mereka, Arga melawan korupsi, membongkar kejahatan, dan... mencoba tetap hidup sambil menghadapi deretan ancaman dari para "bos besar".

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 33

Di tengah suasana yang penuh ketegangan itu, Chandra menoleh kepada Helen dengan ekspresi serius. "Gimana dengan Rosa? Apa dia baik-baik saja?"

Helen menarik napas panjang, seakan menimbang kata-katanya dengan hati-hati. "Rosa... dia masih belum bisa bicara, Chandra. Kayaknya dia masih trauma gara-gara perampokan setahun yang lalu," jawab Helen, suara yang terdengar berat, penuh kepedihan. "Tapi gue bersyukur, dia masih bisa jalan. Meskipun... kayaknya dia masih jauh dari kata pulih."

Chandra hanya mengangguk, matanya tampak tajam memandang ke bawah, di mana Ivan masih asyik dengan minumannya, tidak sadar akan bahaya yang mengintai.

Helen melanjutkan, "Gue, Rosa, nyokap gue. Kami semua di rumah merasa hancur. Kayak ada bagian dari diri kami yang hilang sejak kejadian itu. Rosa bahkan nggak kayak dirinya sendiri lagi. Tapi setidaknya dia masih bisa gerak, bisa ngerasain, meskipun setiap kali dia ngelihat keramaian, dia kayak menghilang dalam pikirannya sendiri."

Chandra mengepalkan tangan, mencoba menahan emosinya. "Ivan harus membayar semuanya. Semua yang sudah dia lakuin. Kalau dia nggak ngerasain apa yang Rosa dan Jessica rasain, gue yang bakal bikin dia ngerasain semua itu."

Helen hanya mengangguk pelan, menyadari bahwa dendam yang membara di dalam hati Chandra mungkin bisa mengarah pada sesuatu yang jauh lebih gelap.

Keduanya terdiam sejenak. Dari lantai bawah, Ivan tertawa keras, memukul-mukul meja seolah sedang mendengar lelucon paling lucu di dunia. Tawa itu menyebar ke teman-temannya, tapi bagi Chandra dan Helen, suara itu bagai pisau yang merobek-robek hati mereka.

“Kalau Rosa denger suara tawa dia,” Helen berujar dengan tatapan tajam, “aku yakin dia bakal makin gila.”

Chandra mendongak, menguatkan tekad dalam sorot matanya. “Dia nggak akan lolos, Helen. Aku pastiin itu. Demi Jessica. Demi Rosa.”

...****************...

Chandra bersandar di kursinya, matanya menyipit penuh penasaran. "Ngomong-ngomong, kalau Manda gimana sekarang? Reporter yang waktu itu gembar-gembor soal Jessica di media? Lo juga pernah ketemu sama dia kan?"

Helen tersenyum tipis, lalu mengeluarkan ponselnya dari tas kecilnya. "Dia udah pindah haluan. Sekarang dia youtuber. Khusus bahas kasus kriminal." Helen mengetik beberapa kali, lalu membuka aplikasi YouTube dan memperlihatkan sebuah channel bernama Justice Lens.

"Lihat ini," katanya sambil menyerahkan ponsel itu ke Chandra. "Ini channel yang dia kelola bareng temennya, Reza. Dalam waktu enam bulan aja, udah punya puluhan ribu subscriber. Dan kontennya keren-keren. Manda itu... keras kepala, tapi dia tahu caranya bikin orang dengerin dia."

Chandra mengambil ponsel itu dan mulai menggulir layar. Thumbnail video di channel itu menampilkan kasus-kasus kriminal yang kontroversial, dengan judul-judul mencolok seperti: "Siapa yang Membunuh Jessica? Bukti yang Tidak Pernah Dibuka di Persidangan" atau "Ivan Sang Pembunuh? Fakta Dibalik Kematian Tragis Jessica". Wajah Chandra memanas melihat salah satu video itu menampilkan Ivan dengan ekspresi angkuhnya.

"Dia yang bikin thread tentang Jessica trending di Twitter waktu itu, kan?" tanya Chandra, mengingat kembali saat dunia maya dikejutkan oleh bukti video kekerasan Ivan terhadap Jessica.

Helen mengangguk, wajahnya berubah serius. "Iya, itu semua Manda. Dia yang pertama kali upload video itu. Cuma dia yang berani. Tapi..." Helen menghela napas panjang, nada bicaranya melemah. "Pada akhirnya, di depan majelis hakim, video itu dianggap hasil nggak relevan, karena video lama saat Jessica dan Ivan baru awal-awal berhubungan."

Chandra meletakkan ponsel itu kembali ke meja dengan sedikit hentakan, frustrasi jelas tergambar di wajahnya. "Sialan. Kalau aja hakimnya nggak tunduk sama tekanan orang kuat, video itu bisa jadi bukti buat tahu kalau Ivan sebusuk itu."

Helen menatap Chandra, matanya penuh semangat. "Lo mungkin inget, dulu gue bilang kalau kemungkinan perampokan Rosa ada hubungannya dengan kasus Jessica, karena mungkin ada bukti tersembunyi di laptop Rosa yang kita nggak tahu. Kita udah cari perampoknya, dan sampai sekarang kita belum juga nemuin dia"

Chandra terdiam sejenak, merenung. Dia memandang Helen dengan pandangan yang mulai penuh tekad. "Lo bener, kita harus nemuin perampok itu dulu. Siapa tahu, kita bisa nemuin petunjuk lain."

Helen tersenyum samar, mengangkat gelas mocktail-nya. "Kita mulai dari mana, Chandra?"

"Mulai dari nemuin orang yang pertama kali bertanggung jawab sama kasus itu" kata Chandra.

Chandra termenung, memandang lampu-lampu neon klub malam yang berkedip-kedip seperti menggoda pikirannya yang penuh penyesalan. Di tengah hingar-bingar musik dan gelak tawa para pengunjung, pikirannya melayang ke masa lalu—ke Jessica, adiknya yang keras kepala tapi penuh impian.

Dia menghela napas panjang. Andai saja aku lebih tegas waktu itu... pikirnya. Kalau saja dia melarang Jessica meninggalkan rumah keluarga mereka demi mengejar mimpinya sebagai model, mungkin Jessica masih hidup. Dia menyesali keputusannya untuk sibuk dengan urusan bisnis keluarga dan dunianya sendiri, hingga tak ada waktu untuk memastikan adiknya tetap aman.

Chandra meneguk minumannya dengan tekad baru di hatinya. “Untuk Jessica,” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar di tengah bisingnya musik. “Dan untuk semua orang yang nggak akan pernah jadi korban Ivan lagi.”

...****************...

Pagi itu, sinar matahari menyengat seperti oven terbuka, namun Bagong melangkah dengan percaya diri di halaman rumah tahanan, meski langkahnya sedikit tersendat. Penyebabnya bukan karena takut, melainkan asam urat yang kambuh sejak semalam. Rupanya, pesta sate kambing bersama tetangganya, yang diiringi obrolan sok filosofis tentang hidup, meninggalkan efek samping yang tak mengenakkan. Tapi siapa Bagong? Seorang mantan bos dunia bawah takkan kalah oleh nyeri sendi!

Di tangannya, Bagong menenteng plastik besar berisi sesuatu yang tidak biasa untuk ukuran kunjungan ke penjara. Satu pak roti tawar, termos kopi, dan—yang membuat sipir penjara memandang curiga—sebuah kaleng kerupuk udang. Sipir itu mengerutkan dahi sambil bertanya, "Ini buat apa, Pak?"

Bagong terkekeh santai. "Bang Gunawan kan doyan ngemil. Masa saya nggak bawain oleh-oleh? Jangan khawatir, Bang, ini kerupuk halal, nggak ada sabu-sabunya," jawabnya dengan wajah polos namun mata penuh kelakar.

Sipir hanya menghela napas panjang sambil memeriksa barang-barang bawaan Bagong. "Ya, sudah. Tapi kerupuknya jangan dilempar ke sel, ya. Saya nggak mau ada yang berpura-pura jadi ninja."

Setelah melewati pemeriksaan, Bagong akhirnya tiba di ruang kunjungan. Matanya langsung tertuju pada sosok bersahaja namun penuh wibawa yang tengah duduk santai di balik jeruji. Pak Gunawan—atau seperti yang Bagong sering panggil, Bang Gunawan—mengenakan pakaian tahanan yang warnanya nyaris sama dengan gorden jendela: pudar dan memelas.

“Bang Gunawan! Apa kabar, Bang? Masih gagah kayak dulu, ya!” seru Bagong dengan senyum lebar sambil menjatuhkan dirinya ke kursi di hadapan Gunawan.

Pak Gunawan, dengan senyuman miring khasnya, menyipitkan mata. “Hah, gagah dari mana? Gue di sini kayak layangan putus. Kurus kering, tinggal nunggu angin gede buat terbang ke alam baka.”

Bagong tertawa terbahak-bahak, sampai bahunya terguncang. "Ah, Bang, jangan gitu dong. Gue ke sini bawa semangat, bukan buat denger lo minta dikafanin.”

Gunawan hanya menggeleng sambil tersenyum kecil, menatap Bagong seperti seseorang yang terlalu sering mendengar lelucon buruk tapi tetap menghargainya. “Jadi, apa alasan lo dateng lagi? Kangen gue, ya?”

Bagong mencondongkan tubuh, menyodorkan plastik berisi kerupuk udang ke meja. “Selain buat kangen-kangenan, gue bawain ini, Bang. Masih ingat dulu gue kan suka makan kerupuk di atas genteng waktu ngumpet dari polisi?”

Pak Gunawan tertawa pendek, nadanya penuh ironi. “Ingat. Bedanya, sekarang gue nggak lagi ngejar lo, tapi lagi ditahan.” Ia membuka plastik kerupuk itu dan mengambil satu, lalu menggigitnya pelan. Suara kres kerupuk itu terdengar nyaring di ruang tunggu yang hampir kosong.

Bagong menghela napas, tatapannya serius. “Bang, lo tahu nggak? Gue masih berutang banyak sama lo. Dulu gue cuma sampah masyarakat, ngelakuin banyak hal kriminal, keluar masuk penjara. Tapi lo? Llo yang ngajarin gue arti kehidupan. Elo bilang, ‘Bagong, kalau mau jadi manusia, ya harus punya prinsip.’ Walaupun prinsip gue dulu salah, setidaknya gue punya arah. Lo guru gue, Bang.”

Gunawan mengangkat alis, lalu tertawa getir. “Guru? Gue? Hengky, kalau gue guru, lo murid yang gagal. Liat tuh, lo sampai sekarang masih aja keliatan sangar.”

"Udah lama bang, gue nggak denger orang manggil nama gue sendiri" kekeh Bagong tersipu.

"Lagian lo juga kenapa pakai nama Bagong, udah bagus Hengky. Malah lo ganti jadi tokoh wayang." ledek Gunawan lagi.

Namun, di balik canda dan sinisme itu, ada kehangatan yang tak bisa disembunyikan. Mereka adalah dua manusia yang pernah terjebak di jalan gelap, kini saling mengingatkan untuk tidak kembali ke sana.

Mereka berbicara panjang lebar, membahas masa lalu yang penuh liku, dan masa depan yang masih samar. Saat waktu kunjungan hampir habis, Gunawan menatap Bagong dengan serius.

“Hengky,” katanya pelan. “Jaga hidup lo baik-baik, ya. Gue di sini udah nggak bisa banyak berbuat. Tapi lo, lo masih punya waktu buat berubah. Jangan sia-siakan.”

Bagong mengangguk, matanya sedikit berkaca-kaca. “Iya, Bang. Gue janji, gue bakal terus jalan lurus. Nggak mau lagi gue jadi Bagong yang dulu.”

Bagong dengan agak sombong melanjutkan, "Tapi serius deh Bang, gue udah ngerasain hidup beneran. Dulu enak jadi preman, punya duit banyak, tapi sekarang?" Dia memandang keliling penjara, "Sekarang, ya gue pikir dua kali deh, lebih baik jualan kacang di pasar ketimbang jadi raja yang bolak - balik masuk penjara terus."

Gunawan yang mendengarkan hanya bisa tersenyum sinis. Namun di balik senyum itu, ada sedikit pengakuan bahwa, mungkin, ada sedikit benarnya dalam kata-kata Bagong. Sebagai mantan bos preman, Gunawan tahu persis betapa gelapnya jalan yang pernah ia tempuh.

Bagong dulu adalah bos preman yang memiliki anak buah cukup banyak, perampokan, pencopetan, penjambretan, hampir semua dia lakuin, mungkin kejahatan yang nggak pernah dia sentuh cuma penculikan, narkoba dan pemerkosaan.

Tapi bagaimanapun juga, itu cukup untuk membuat Bagong beberapa kali masuk penjara dan merasakan panasnya peluru di kakinya.

...****************...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!