Lunara Ayzel Devran Zekai seorang mahasiswi S2 jurusan Guidance Psicology and Conseling Universitas Bogazici Istanbul Turki. Selain sibuk kuliah dia juga di sibukkan kerja magang di sebuah perusahaan Tech Startup platform kesehatan mental berbasis AI.
Ayzel yang tidak pernah merasa di cintai secara ugal-ugalan oleh siapapun, yang selalu mengalami cinta sepihak. Memutuskan untuk memilih Istanbul sebagai tempat pelarian sekaligus melanjutkan pendidikan S2, meninggalkan semua luka, mengunci hatinya dan berfokus mengupgrade dirinya. Hari-hari nya semakin sibuk semenjak bertemu dengan CEO yang membuatnya pusing dengan kelakuannya.
Dia Kaivan Alvaro Jajiero CEO perusahaan Tech Startup platform kesehatan mental berbasis AI. Kelakuannya yang random tidak hanya membuat Ayzel ketar ketir tapi juga penuh kejutan mengisi hari-harinya.
Bagaimana hari-hari Ayzel berikutnya? apakah dia akan menemukan banyak hal baru selepas pertemuannya dengan atasannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Anfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 8. Alvaro tiba-tiba kembali ke korea
Ayzel tidak bisa tidur sampai pagi menjelang setelah kejadian malam tadi. Padahal jam dinding sudah menunjukkan pukul tiga pagi, tapi matanya seolah tak mau terpejam. Entah bagaimana besok saat dia berhadapan dengan Alvaro, ucapan Alvaro masih terngiang di telinganya. Jelas ada rasa takut dalam hati Ayzel, dia takut akan kembali terjebak dalam perasaan berharap yang ternyata hanya semu.
“Ayzel. Besok tidak usah membuatkan pak Alvaro sarapan,” pesan masuk dari pak Kim membuat Ayzel menghela napas.
“Baik pak,” Ayzel megurungkan niatnya untuk bertanya pada pak Kim.
“Kamu punya SIM internasional tidak?” tanya pak Kim tiba-tiba pada Ayzel.
“Ada pak,” entah kenapa pak Kim menanyakan dia punya SIM atau tidak, yang jelas dia saat ini sedang pusing karena tidak bisa tidur.
“Ok,”
Ayzel berusaha untuk memejamkan matanya agar bisa tidur. Namun apa daya, dia tetap kepikiran tentang pesan chat yang di kirimkan asisten Alvaro. Mungkinkan Alvaro marah padanya atas jawaban yang dia berikan padanya.
Flash back on.
“Mari menikah dengan saya,” ucapan Alvaro seketika membuat Ayzel overthingking.
“Pak Alvaro, anda yakin dan serius dengan yang anda ucapkan barusan? Anda belum mengenal sepenuhnya saya pak. Saya dan pak Alvaro berada pada situasi yang berbeda saat ini,” tanya Ayzel pada Alvaro setelah mendengar ucapan Alvaro.
“Berbeda seperti apa maksud kamu?” Alvaro bahkan tidak menjawab pertanyaan pertama Ayzel.
“Pak Alvaro adalah atasan saya, sedangkan saya adalah karyawan magang perusahaan. Seyakin apa pak Alvaro memilih saya dan kenapa harus saya?” Ayzel menanti jawaban Alvaro.
Alvaro bukannya menjawab pertanyaan Ayzel, dia justru mengangkat telepon yang entah dari siapa. Ayzel menunggu sampai Alvaro selesai melakukan panggilan telepon, setelah selesai justru Alvaro pamit pulang.
“Saya pulang dulu Ze. Ada hal sangat mendesak harus saya lakukan,” Alvaro dengan tergesa memakai sepatunya.
“Baiklah. Hati-hati pak,” Alvaro menatap Ayzel sebentar sebelum akhirnya dia menghilang dari balik pintu.
Ayzel sebenarnya ingin mendengarkan jawaban Alvaro, namun Alvaro tiba-tiba pamit untuk pulang. Ayzel menetralkan hati dan pikirannya setelah itu, tidak ingin terlalu ambil pusing. Tidak ingin terbawa perasaan, bagaimanapun Alvaro adalah atasan dan dia adalah karyawan magang. Dia memilih untuk membersihkan diri dan mulai tidur, berharap besok tetap ada hal baik antara mereka berdua.
Flashback off.
Ayzel akhirnya memilih bangun untuk membereskan apartemennya, lagi pula dia juga sudah tidak bisa tidur lagi. Karena hari ini dia tidak perlu membuatkan sarapan untuk atasannya tersebut jadi dia tidak memasak, Ayzel sedang malas untuk sarapan.
Setelah sholat subuh dia merevisi tesisnya sebentar. Ayzel menyempatkan mempelajari kembali salah satu tempat yang akan menjadi tempat untuk praktik klinisnya. Baru setelah itu dia bersiap ke kantor, entah hari ini dia akan berangkat bersama Alvaro atau tidak. Mungkin setelah tadi malam, Alvaro tidak akan lagi menjemputnya. Tapi itu tidak menjadi masalah bagi Ayzel.
“Ayzel silahkan ke bawah, ada supir yang menunggumu di bawah” biasanya Alvaro yang berkata seperti itu, tapi kali ini pak Kim yang mengiriminya pesan.
Ayzel bergegas ke lantai bawah, dia juga sebenarnya sudah siap berangkat. Karena biasanya dia menunggu Alvaro mengabarinya, tapi hari ini sepertinya memang Alvaro tidak menjemputnya. Ayzel merasa tidak enak hati, mungkinkah Alvaro tersinggung sejak semalam tadi.
“Halo pak Kim, ini maksudnya apa?” Ayzel terkejut saat sampai bawah, supir yang di katakan pak Kim tadi bukan untuk menjemput Ayzel. Melainkan mengantarkan mobil untuk Ayzel gunakan ke kantor.
“Mulai hari ini kamu pakai untuk keperluan bekerja. Kedepannya kamu akan lebih sibuk, tidak ada bantahan Ayzel” pak Kim memutuskan sambungan teleponnya.
Ayzel akhirnya menerima kunci mobil beserta dengan kelengkapannya, dia kasihan pada supir yang sudah dari tadi menunggunya. Supir tersebut pergi setelah Ayzel menerima mobil.
“Apakah tidak apa-apa menggunakan mobil ini ke kantor?” Ayzel bermonolog dengan dirinya sendiri.
“Itu fasilitas untukmu sebagai asisten pribadi pak Alvaro, jadi jangan berpikiran macam-macam. Pak Alvaro tidak akan berangkat bersama denganmu lagi mulai hari ini,” pak Kim seolah tahu apa yang sedang Ayzel pikirkan.
“Baik pak, saya akan terima sebagai fasilitas perusahaan. Terimakasih,” Ayzel menghembuskan napasnya kasar. Ayzel masuk ke mobil dan melaju dengan kecepatan aman menuju kantornya, pada dasarnya dia memang bisa menyetir.
“Pagi Shahnaz,” Ayzel menyapa rekan sekantornya saat berpapasan.
“Pagi Ayzel, tumben agak siang?” tanya Shahnaz.
“Bangun kesiangan,” jawab Ayzel sekenanya. Tidak mungkin dia bilang karena menunggu Alvaro yang tidak mengabari bahwa hari ini dia harus berangkat sendiri.
“Oh iya, kamu di tunggu pak Kim di ruangannya.”
“Oke ... selamat bekerja,” Shahnaz kembali ke ruangannya dan Ayzel langsung menuju ruangan pak Kim.
Ayzel memikirkan sesuatu, namun segera dia tepis pemikiran tersebut dari kepalanya. Dia terus berjalan menuju ruangan asisten utama Alvaro.
“Permisi pak Kim,” Ayzel masuk ke dalam ruangan pak Kim.
“Masuk Ayzel, silahkan duduk.” Pak kim meletakkan berkas yang sedang dia baca begitu melihat Ayzel masuk.
“Ayzel ada beberapa tanggung jawab yang harus kamu selesaikan kurang dari dua minggu,” pak Kim memberikan data-data yang harus Ayzel kerjakan. Beberapa MOU untuk beberapa perusahaan harus di buatnya.
“Baik pak,” Ayzel menerima berkas dalam bentuk hard file juga soft file.
“Mulai besok dan beberapa waktu kedepan kamu tidak perlu membuatkan breakfast untuk Alvaro. Dia kembali ke korea semalam,” pak Kim melihat raut terkejut pada Ayzel.
“Baik pak Kim. Kalau begitu saya permisi untuk mengerjakan MOU nya,” Ayzel berusaha menetralkan rasa terkejutnya meskipun tetap terlihat oleh pak Kim. Dia pamit untuk kembali ke ruangannya.
“Setelah selesai kamu bisa kirimkan ke saya,” ucap pak Kim.
Ayzel tiba-tiba kembali dan menaruh kunci mobil yang tadi dia gunakan di meja pak Kim. "Sepertinya saya tidak butuh ini untuk ke kantor pak, lagi pula saya juga tidak lagi harus menyiapkan banyak hal untuk pak Alvaro.”
“Kamu tetap akan membutuhkannya, beberapa waktu ke depan semuanya akan sibuk. Kamu tahu seperti apa Alvaro, dia tidak menerima penolakan” tegas pak Kim.
“Baik kalau begitu untuk sementara akan saya gunakan,” Ayzel keluar dari ruangan pak Kim.
Ayzel sudah ada di ruangannya, ruangan itu sepi karena Alvaro ternyata kembali ke korea. Ayzel berpikir mungkinkah Alvaro kembali ke korea karena kejadian semalam, bahkan tidak ada satupun pesan yang di kirimkan Alvaro padanya.
“Ah ... sudahlah, mungkin ini memang yang terbaik. Lebih baik aku fokus untuk semua jadwalku,” meskipun dia tetap merasa sedikit bersalah dengan kejadian semalam.
Ayzel merasa jika perkataannya mungkin menyinggung Alvaro, tapi apakah sampai harus kembali ke korea. Bahkan dia tidak pamit padanya, Ayzel menarik napas panjang. Merelaksasikan dirinya agar lebih tenang dan nyaman, mungkin akan ada perbedaan setelah ini.
“Mari kembali kerutinitas semula,” ucap Ayzel pada dirinya sendiri yang mulai mengerjakan tugas-tugasnya.
Biar bagaimanapun Ayzel sudah terbiasa dengan segala tingkah random atasannya tersebut. Ayzel bukan tidak peka, tapi dia membentengi dirinya untuk tidak lagi mudah terbawa perasaan terhadap laki-laki.
“Ayzel,” bu Athaya masuk dan mencarinya.
“Iya bu,” dia menghentikan aktivitasnya untuk mendengarkan apa yang akan di katakan Athaya.
“Untuk beberapa waktu kedepan tidak perlu menghubungi pak Alvaro. Segala hal yang berkaitan dengan MOU dan lain-lain bisa langsung di email ke pak Kim,” Athaya memberi Ayzel coklat sambil tersenyum.
“Ada lagi bu?” tanya Ayzel yang sudah mulai jengah seolah Alvaro sedang tantrum, padahal tidak ada wujudnya di sana.
“Tidak ada, semangat! Ayzel,” ucapan Athaya disambut senyum simpul dari Ayzel.
Hari ini Ayzel benar-benar sibuk, beruntung kuliahnya sudah selasai. Revisi tesisnya juga sudah sempurna, dia hanya tinggal menunggu jadwal untuk ujian tesis. Tapi baru kali ini dia lembur, bukan karena di minta. Melainkan karena dia ingin segera menyelesaikan semua tugas yang di bebankan padanya saat ini.
“Kak Ze. Jemput aku besok pagi di bandara,” dia sepupu Ayzel yang bernama Orin Humaira Zekai.
“Hah? Bandara mana maksud kamu, Humey?” Ayzel baru saja selesai mandi saat menerima pesan chat tersebut.
“Bandara Istanbul, sebentar lagi aku meluncur ke sana. jangan terlambat jemput aku,” titah sepupu Ayzel.
“Iya ... iya, aku istirahat dulu. Besok pagi aku jemput,” Ayzel memang sudah sangat lelah hari ini. Dia mengatur alarm sebelum tidur agar tidak terlambat menjemput sepupunya di bandara.
...***...
“Humey. Hari ini aku akan sangat sibuk, jangan jalan jauh-jauh. Kalau ada apa-apa lagsung telelepon kakak, ya?” Ayzel sudah siap berangkat ke kantor, sementara Humey masih bersembunyi dalam selimutnya.
“Hemm ... iya kak, beres” terhitung sudah dua minggu sepupu Ayzel berada di Istanbul. Ayzel merasa bersalah karena tidak punya waktu untuk menemaninya jalan-jalan.
Dua minggu sejak kembalinya Alvaro ke korea, Ayzel benar-benar sibuk. Terlebih jadwal ujian tesisnya sudah keluar, dia juga sudah memilih akan melakukan praktik klinisnya di mana. Minggu ini adalah jadwal ujian tesisnya, bahkan akhir-akhir ini dia mengemudi dengan kecepatan lebih dari 70 km/jam. Ayzel mengejar semua jadwal untuk selesai dengan baik.
“Hallo Shahnaz? Pak Kim sudah ada di kantor?” Ayzel menghubungi rekannya, memastikan bahwa asisten utama Alvaro sudah ada di kantor.
“Sudah. Cepat kalau mau bertemu, sepertinya mau pergi bertemu klien” ujar Shahnaz.
Ayzel mengakhiri panggilan dengan Shahnaz, dia melajukan mobilnya dengan kecepatan diatas 80km/jam saat ini.
“Pak Kim,” Ayzel yang baru sampai langsung menghampiri pak Kim.
“Sudah selesai?” Ayzel yang terengah-engah karena lari dari parkiran menuju loby kantor hanya menjawab pertanyaan pak Kim dengan anggukan.
“Ini pak,” dia menyerahkan semua MOU pada pak Kim.
“Good job Ayzel. Terimakasih,” pak Kim kemudian pergi dengan beberapa staffnya untuk bertemu klien-klien penting hari ini.
Ayzel masuk lift masih dengan sedikit terengah-engah, hari ini dia harus menyelesaikaan semua pekerjaan sebelum jam dua belas. Dia harus ke kampus untuk mengurus kelengakapan ujian tesisnya lusa.
“Ayzel bisa ke ruangan saya?” Athaya memanggilnya begitu melihat Ayzel keuar dari lift.
“Baik bu,” dia langsung mengikuti Athaya tanpa menaruh tasnya lebih dulu.
“Begini Ayzel. Emm ... itu,” Athaya sedikit ragu mengatakannya.
“Bagaimana bu Athaya?” Ayzel menyamankan duduknya, karena dia tahu Athaya akan berbicara serius.
“Ayzel pak Alvaro memintamu untuk membantu divisi satu dan dua,” ada keraguan dalam ucapan Athaya.
“Deg ...” Ayzel diam sejenak untuk mencerna perkataan Athaya.
“Saya sudah menawarkan orang lain, tapi pak Alvaro tetap meminta harus kamu” raut muka Athaya seolah memohon pada Ayzel.
“Tidak boleh ada penolakan bukan bu?” selama satu bulan menjadi asisten Alvaro tentu dia paham akan hal itu.
“Iya,” Athaya melihat mimik muka Ayzel berubah dari yang santai menjadi sedikit memerah. Bukan karena malu tapi sedikit menahan amarah, bukan pada Athaya melainkan pada Alvaro.
“Pak Alvaro harus memilih. Divisi satu atau dua, karena status saya masih karyawan magang. Salah satu atau tidak sama sekali bu,” kali ini Ayzel merasa seolah di permainkan oleh Alvaro.
“Baiklah, akan saya sampaikan pada pak Alvaro. Saya tahu akhir-akhir ini kamu bekerja keras, tapi kamu juga pasti tahu bagaimana posisi kita” dari awal Ayzel menjadi karyawan magang, Athaya sudah menyukai Ayzel karena ketekunan dan kerja kerasnya.
“Saya paham bu Athaya,” Ayzel tersenyum pada pimpinan HRDnya tersebut.
“Saya hubungi pak Alvaro. Untuk Ayzel tentu harus diusahakan,” Athaya tersenyum dan memberi kode pada Ayzel untuk diam selama dia sedang melakukan panggilan telepon dengan atasannya.
Ayzel masih menahan amarahnya bahkan setelah keluar dari ruangan Athaya, meskipun akhirnya Athaya berhasil membujuk Alvaro. Ayzel akan membantu divisi dua untuk memperkuat konsep aplikasi yang akan perusahaan mereka buat.
“Jadi seperti inikah tantrumnya seorang Alvaro jika tidak berhasil mendapatkan sesuatu? Ngambeknya gak lucu,” Ayzel sangat kesal.
Dia menidurkan kepalanya di meja, sejenak berusaha untuk menenangkan diri. Mengembalikan suasana hatinya, dia adalah calon psikolog yang tahu bagaimana harus bersikap.
Ayzel memutuskan untuk merapikan barang-barangnya, dia memilih untuk kembali pindah ke ruangan divisi dua. Biar bagaimanapun akan lebih mudah baginya untuk berkoordinasi dengan rekan lainnya, perihal pekerjaannya sebagai asisten Alvaro dia bisa mengerjakannya di ruang divisi dua.
“Ze. Bisa kamu angkat telepon saya sebentar?” Ayzel memeriksa ponselnya, memastikan siapa yang mengiriminya pesan.
Alvaro ternyata meneleponnya berkali-kali, Ayzel menyalakan mode senyap. Karena itulah dia tidak tahu ada panggilan telepon dari Alvaro. Namun dia memilih abai pada pesan maupun panggilan Alvaro, dia mematikan ponselnya.
“Shahnaz kemarikan konsepnya,” Shahnaz tentu sangat senang Ayzel kembali bekerja dengan divisi dua.
Pak Kim turun tangan setelah Alvaro mengatakan bahwa panggilan telepon dan pesannya tidak di respon Ayzel, bahkan saat ini ponselnya tidak aktif. Kali ini sekelas pak Kim bahkan tidak mempan meluluhkan Ayzel, Athaya sampai mengirimkan vidio Ayzel yang sangat sibuk pada pak Kim.
Ayzel dia sangat sibuk, bahkan mengabaikan semua hal yang berpotensi merusak jadwal yang sudah dia atur sedemikian rupa. Sekalipun dia harus berhadapan dengan kemarahan Alvaro nantinya, dia tidak perduli selama semua selesai dengan baik.