Emily seorang model yang sukses dan terkenal. Namun, kesuksesan itu tidak dia dapatkan dengan gampang dan berjalan mulus. Mimpi buruk terjadi disaat dia menjadi boneka *** pribadi milik presedir di agensi tempat dia bekerja. Mulut terbungkam saat dia ingin berteriak, namun ancaman demi ancaman terlihat jelas di depan matanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeppeudalee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pria Asing Yang Dirindukan - 02
Tepat malam ini, Reymond akhirnya berhasil bertemu dengan Mr. Tano. Mereka memilih salah satu restoran eksklusif di hotel tempat Mr. Tano menginap. Pertemuan ini terjadi di sebuah ruangan VIP yang dijaga privasinya dengan ketat.
-Ruangan VIP -
Suasana temaram, meja bundar dengan lilin kecil di tengahnya. Suara dentingan alat makan dari meja lain hampir tidak terdengar di dalam ruang ini.
Reymond duduk tegak, menatap langsung ke arah Mr. Tano, mencoba menunjukkan keseriusan.
“Saya… tidak akan basa-basi,” ujar Reymond, nada bicaranya tegas, tapi terkontrol.
Mr. Tano mengangkat sebelah alis, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. Sebuah senyum tipis tersungging di wajahnya.
“Ya. Itu lebih baik. Saya juga tidak ingin mendengar hal-hal tidak penting,” balasnya, nada suara tenang tapi penuh wibawa.
Meski sekilas suasana terlihat santai, hawa tegang tetap terasa di antara keduanya.
Reymond mengambil napas dalam, lalu melanjutkan. “Mr. Tano, saya ingin bertanya. Kenapa Anda menarik niat untuk bekerja sama dengan Mvvo Entertainment?”
Tano yang sedari tadi memegang gelas kristalnya, perlahan meletakkannya di atas meja. Dia menatap Reymond, kali ini tanpa senyum.
“Ah, benar. Saya hampir lupa kalau Anda adalah pengacara di Mvvo,” jawabnya, nada suaranya terdengar ringan tapi ada sesuatu yang sulit ditafsirkan di balik tatapannya.
Reymond mengangguk singkat. “Benar.”
Mr. Tano kembali bersandar, menyilangkan tangannya di dada. Kali ini senyumnya kembali muncul, kecil dan tidak sepenuhnya ramah. “Jadi, atasan Anda menyuruh Anda untuk bertemu dengan saya?” tanyanya, meski jelas dia tidak sedang mencari jawaban.
Reymond tetap menjaga ekspresi datarnya. Tidak ingin terlihat terintimidasi. “Saya hanya ingin memahami alasan Anda.”
Namun, Tano mengangkat tangannya, menghentikan Reymond sebelum dia bicara lebih jauh. “Maaf, Pak Reymond, tapi saya tidak ingin melanjutkan kerja sama dengan Mvvo. Dan, tidak ada penjelasan lebih lanjut yang perlu saya sampaikan.”
Reymond sedikit mengernyit, tapi sebelum dia sempat berkata apa pun, Tano melanjutkan. “Anda mungkin seorang pengacara yang baik, tapi sayangnya, ini bukan tentang Anda. Ini keputusan saya, dan saya harap Mvvo dapat menghormatinya.”
Reymond memutuskan untuk tidak memaksakan percakapan lebih jauh. Sebaliknya, dia mengambil waktu sejenak untuk menenangkan pikirannya sebelum memberikan tanggapan.
Makan malam diantara mereka pun terjadi. Terasa hening dan tenang.
Seperti dua orang asing yang tidak terjadi apa-apa diantaranya.
****
Attention!
Khusus bab ini, bab tambahannya sudah tersedia dikaryakarsa; Miralee. Yang berminat baca silahkan cek dikaryakarsa.
Fyi, berbijaklah dalam memilih bacaan yang lebih frontal.
****
📍Apartement
-Ruang Makan-
Baby duduk dikursi makan, memperhatikan Emily dengan pandangan penuh rasa ingin tahu. Emily, yang duduk di seberangnya, tampak resah. Sorot matanya menerawang jauh, sementara tangan mungilnya memainkan sendok tanpa sadar.
“Cece, ada apa?” tanya Baby, memecah keheningan.
Emily tersentak, lalu menoleh cepat. Matanya sedikit membelalak, seolah terkejut dengan pertanyaan itu. “Huh? O-ohh, k-kenapa?” jawabnya gugup.
Baby menyipitkan mata, wajahnya penuh selidik. “Cece mikirin apa, sih?”
Emily menggeleng cepat sambil menundukkan wajahnya. Senyum tipis yang dipaksakan muncul di bibirnya. “Aku gak mikirin apapun.”
Namun, Baby tidak mudah tertipu. Ia tetap menatap Emily, sebelum akhirnya menghela napas pelan. Ia meletakkan makanan yang baru saja ia buat di atas meja, lalu mulai menyantapnya.
Emily mencoba tersenyum lebih lebar, meski rasa bersalah terus menghantui pikirannya. Ia masih memikirkan apa yang terjadi di parkiran basement tadi—pertemuannya dengan Reymond yang begitu mendadak dan mengguncang hatinya.
Setelah makan malam selesai, Emily segera beranjak dari meja, menghindari tatapan Baby yang terus mengawasinya. “Aku ke kamar dulu, ya,” katanya pendek sebelum menghilang di balik pintu.
****
-Di Kamar Emily-
Emily duduk di pinggir tempat tidurnya. Tangan kanannya memegang ponsel, sementara tangan kirinya menopang dagu. Wajahnya diliputi kebimbangan. Sorot matanya penuh kegelisahan, seperti sedang berperang dengan pikirannya sendiri.
“Apa yang harus aku lakukan?” gumamnya pelan, suara hampir bergetar. “Apa aku harus chat dia duluan?”
Jari-jarinya perlahan menyentuh layar ponselnya. Dengan ragu, dia mengetik sebuah pesan. Setelah beberapa detik menatap layar tanpa bergerak, ia akhirnya mengumpulkan keberanian untuk mengirimnya.
•Message•
Emily: Pak Reymond?
Emily: Bisa kita bicara?
Reymond: Kamu ingin bicara?
Emily: Iya.
Emily: Kalau diizinkan.
Reymond: Kebetulan, saya masih diluar.
Reymond: Mau bertemu?
Emily: Boleh.
Reymond: Saya akan menunggu kamu di pantai dekat apartement kamu.
Emily: Baik pak.
Emily menghela napas lega. Balasan Reymond yang cepat membuat dadanya sedikit lebih ringan. Namun, rasa gugup perlahan muncul menggantikan lega itu.
“Pantai…” bisiknya pelan.
Ia segera bangkit dari tempat tidur dan membuka lemari. Tangannya bergerak cepat memilih pakaian, namun pikirannya tetap kacau. Ia menyadari sesuatu—meskipun ini hanya pertemuan biasa, ia ingin tampil sempurna di depan Reymond.
Akhirnya, ia memilih busana kasual yang tetap menonjolkan keanggunannya. Blus putih lembut dan celana jeans fit. Sebuah kalung kecil melingkar di lehernya, sederhana namun elegan. Setelah menyisir rambut panjangnya, Emily memandang cermin dan menarik napas dalam-dalam.
“Ini hanya pertemuan biasa. Tidak lebih,” katanya pada bayangannya di cermin, mencoba menenangkan diri. Namun, detak jantungnya berkata sebaliknya.
****
“Cece mau kemana?” tanya Baby yang melihat Emily beranjak keluar dengan pakaian yang terlihat kasual namun rapi.
“Aku mau keluar sebentar. Kamu istirahat saja lebih awal. Jangan lupa minum obatmu, Baby.” Jawab Emily dengan tenang.
“Ah, iya cece. Hati-hati dijalan.”
“Hm,” jawab singkat Emily yang kemudian, beranjak keluar dari apartemen.
****
📍Pantai
Emily duduk di dalam mobilnya, memandangi gelombang kecil yang memantul cahaya bulan. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya, seperti ada beban tak terlihat yang menghimpit. Ia menghela napas, mencoba menenangkan diri.
Sepuluh menit berlalu. Dari kaca spion, ia melihat mobil Reymond akhirnya tiba. Pria itu keluar dari kendaraannya, masih mengenakan jas hitam yang sama seperti sebelumnya. Langkahnya mantap saat berjalan ke arah mobil Emily.
Reymond membuka pintu dan masuk, duduk di kursi penumpang dengan tenang. “Maaf kalau saya lama,” ucapnya singkat.
Emily menoleh sambil tersenyum tipis. “Enggak, aku gak menunggu terlalu lama.”
Sejenak, suasana berubah hening. Hanya suara debur ombak di kejauhan yang menemani mereka. Reymond merapikan dasinya, lalu mencoba memecah keheningan. “Bagaimana dengan Meimei kamu?” tanyanya, suaranya terdengar lembut.
Emily mengangguk pelan, menatap dashboard mobil. “Sejauh ini, dia baik-baik saja.”
Reymond hanya mengangguk, mendengarkan dengan tenang. Namun, tiba-tiba Emily berbicara lagi, suaranya sedikit bergetar. “Terima kasih.”
Reymond menoleh, keningnya berkerut tipis. “Prihal apa?”
Emily menatap ke luar jendela, seolah mencari kekuatan dalam gelapnya malam. “Semuanya. Sejak awal, Pak Reymond sudah banyak membantuku.”
Reymond tersenyum samar. “Itu tugas saya, se—”
“Meminta Bu Amanda menjadikan saya seorang model?” potong Emily cepat.
Reymond terdiam. Wajahnya berubah serius, tapi ia tidak menyangkal.
“Kamu… pria itu, kan?” suara Emily bergetar. “Yang mendengarkanku saat aku menangis di ruang tunggu rumah sakit, waktu Baby masuk rumah sakit? Itu sudah lama sekali…”
Tatapan Reymond melembut. Ia mengangguk tanpa berkata apa-apa.
Air mata mulai menggenang di mata Emily. Ia menatap Reymond dengan sorot penuh emosi. “Kenapa kamu tidak pernah mengatakannya dari awal?”
Reymond menghela napas panjang, pandangannya teralihkan ke dashboard.
“Untuk apa?”
“Karena aku mencarimu. Aku ingin bertemu dengan orang yang telah membantuku hingga aku bisa menjadi seperti sekarang. Aku ingin berterima kasih… karena dia, hidupku berubah.”
Reymond memejamkan mata sejenak. Napasnya terdengar berat. “Berubah, ya…” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Sebelum ia sempat melanjutkan, Emily tiba-tiba bergerak mendekat dan memeluknya erat. Tangisnya pecah di bahu Reymond. “Terima kasih… sudah membantuku sejauh ini. Tanpamu, mungkin aku tidak akan bisa menjadi seperti sekarang.”
Reymond membeku, tangan-tangannya sempat ragu sebelum akhirnya ia balas memeluk Emily perlahan. Tapi di balik pelukan itu, ada perasaan bersalah yang terus menghantuinya.
Matanya menatap ke arah gelapnya pantai di depan mereka, pikirannya dipenuhi bayangan masa lalu. “Kalau saja saya bisa menjaganya lebih baik…” pikir Reymond dan ucap dibatinnya.
Ia tahu, meski ia membantu Emily tumbuh dan berkembang, pada akhirnya, dirinya juga yang membuat Emily menghadapi mimpi buruk setiap kali harus berhadapan dengan Mattheo.
“Maafkan saya…” gumam Reymond pelan, suara yang hampir tidak terdengar. Namun, Emily hanya terus menangis di pelukannya, tanpa menyadari segala hal yang sedang diusahakan Reymond untuk Emily.